Inggris dilanda krisis. Kondisi mulai melanda negeri mendiang Ratu Elizabeth II ini, sejak gonjang-ganjing kasus yang mendera mantan Perdana Menteri Inggris, Boris Johson dan kini semakin parah.
Peliknya, sebab di tengah perang antara Ukraina dan Rusia, dimana Ukraina diback-up Nato dan Inggris negara andalannya, yang memperkuat posisi Nato dalam perang tersebut.
Raja Charles III, diawal kepempinannya sebagai Raja Inggris menggantikan ibu kandungnya, Ratu Elizabeth II, yang langsung menghadapi kondisi buruk tersebut. Mampukah mantan suami Putri Diana itu mengasi krisis negaranya yang dinilai sudah sangat dalam?
Krisis yang menyerang negeri yang memiliki alat tukar paling tinggi di dunia, poundsterling itu, sudah multidimensi. Inflasi dan kemiskinan yang semakin meluas, kisruh di pasar obligasi yang diprediksi menyebabkan kriris keuangannya.
Seperti dilansir dari CNN, Ekonom memprediksi krisis dipicu dengan keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa, saat Perdana Menteri Inggris, Boris Johson masih berkuasa, pada 1 Januari 2020. Menyebabkan terjadinya kelangkaan barang dan energi.
Kondisi Riil yang Dialami
Naiknya harga bahan bakar akibat langkanya pasokan, karena embargo Rusia. Kenaikan harga energi mendorong barang lain naik. Ini juga termasuk makanan. Di Agustus 2022, inflasi Inggris berada di level 9,9 persen secara year-on-year (yoy). Hal ini terjadi saat harga pangan di negara itu naik karena krisis biaya hidup terus berlanjut.
Untuk inflasi inti, yang tidak termasuk energi yang mudah menguap, makanan, alkohol dan tembakau. Ini naik 0,8 persen secara bulan ke bulan dan 6,3 persen secara tahunan. Hingga, santer masyarakat mengunyah karet. Warga semakin banyak menjerumuskan diri ke jurang prostitusi.
Mahalnya energi dan inflasi tinggi kemudian telah membuat warga mulai kesulitan dalam mendapatkan pangan. Sebuah laporan terbaru di satu sekolah di Lewisham, London Tenggara, memberitahu badan amal Chefs in Schools tentang seorang anak yang ‘berpura-pura membawa kotak makan yang kosong’.
“Kami mendengar tentang anak-anak yang sangat lapar sehingga mereka mengunyah karet di sekolah. Anak-anak datang karena belum makan apapun sejak makan siang sehari sebelumnya. Pemerintah harus melakukan sesuatu,” kata Kepala Eksekutif Chefs in Schools, Naomi Duncan, kepada Guardians.
Selain itu, kenaikan biaya hidup ini menjadi faktor pendorong lebih banyak perempuan menjadi PSK. Di awal musim panas negara itu saja, dimulai Juni dan berakhir September, ada tambahan 1/3 perempuan menjadi PSK.
Data terbaru English Collective of Prostitution, yang dikutip akhir bulan lalu, mengatakan banyak warga yang menjadi PSK ini merupakan orang tua tunggal. Di Inggris, prostitusi indoor diizinkan pemerintah.
“Krisis biaya hidup sekarang mendorong wanita menjadi pekerja seks dengan berbagai cara. Apakah itu di jalan, di tempat atau online,” kata Juru Bicara Niki Adams, dimuat Sky News.
Sementara itu, mengutip Survey Resolution Foundation, dalam kurun waktu itu sampai dengan pandemi 2020, rata-rata pendapatan kelas pekerja hanya naik 0,7 persen per tahun. Ini jauh dari rekaman dekade sebelumnya sebesar 2,3 persen (antara 1961-2005).
Di tengah krisis, bank sentral Bank Of England (BoE) telah menaikkan suku bunga 50 basis poin menjadi 2,25 persen. Kenaikan suku bunga ini menjadi yang ketujuh secara berturut-turut.
Bank sentral ini bahkan juga berencana untuk memberikan kenaikan suku bunga ‘signifikan’ ketika pertemuan berikutnya pada bulan November. Ini dilakukan untuk mengendalikan inflasi hingga di level 2 persen.
Kebijakan PM Baru
Sementara itu, di tengah krisis Perdana Menteri (PM) Liz Truss yang baru terpilih, mengeluarkan kebijakan yang kontroversial. Ia memberi paket stimulus ekonomi, yakni pemotongan pajak senilai US$48 miliar, tanpa pengurangan belanja negara.
BoE mengeritik keras kebijakan itu. Bahkan disebut bahwa pemerintah tengah menakut-nakuti investor. Bank sentral menyebut runtuhnya kepercayaan dalam ekonomi bisa menimbulkan “risiko material bagi stabilitas keuangan Inggris”.
IMF juga beranggapan serupa, di mana lembaga itu meminta negara anggota G-7 untuk mendorong PM Truss meninggalkan rencana paket stimulus pajak dan mencari pinjaman untuk menutupi biaya belanja.
Pertentangan BoE dan pemerintah membuat nilai mata uang pound ambruk. Senin kemarin, nilainya bahkan ambruk hingga 4,37 persen ke US$ 1.0382/GBP. Ini adalah rekor terlemah poundsterling. Sebelumnya mata uang itu pernah berada di US$ 1,0520/GBP yang tercatat pada 26 Februari 1985.
Menurut hitungan S&P Global Ratings, Inggris saat ini sudah masuk resesi setahun penuh. S&P menduga resesi ini sudah dimulai pada kuartal kedua tahun ini.
Itu diakibatkan oleh rumah tangga yang menghadapi inflasi hingga 9,9 persen. Angka tersebut juga diproyeksikan akan naik akibat musim dingin yang akan datang sehingga konsumen akan mengurangi belanjanya.
Beberapa indikasi krisis di Inggris menunjukkan kemiripan dengan tsunami finansial yang pernah terjadi di Amerika Serikat (AS) pada 2008. Kala itu, ia kemudian menjadi krisis ekonomi domestik hingga global.
Peristiwa-peristiwa di AS menjelang ledakan krisis adalah banyak orang hidup dalam tenda-tenda darurat dimana-mana. Termasuk di trotoar, lapangan dan taman-taman.
Warga AS tidak hanya jatuh miskin dan tak bisa makan. Tetapi juga menjadi gelandangan akibat tak kuat membayar cicilan kredit kepemilikan rumah yang naik akibat suku bunga bank meroket. Bagaimana dengan Indonesia? (ana)