“Banyu semilir mlayu nang etan,” (air selalu mengalir ke arah timur) yang memiliki makna, bahwa timur adalah tempat dimana semua dikumpulkan menjadi satu, antara yang buruk dan yang paling buruk, dan kini, Widya harus tinggal di hutan paling timur
Cerita tentang Nur dan Widya tentang suara gamelan di sepanjang perjalanan tadi, masih awalnya saja, ibarat sebuah kopi masih sampai di rasa yang paling manis, belum sampai di rasa yang paling pahit.
Widya memang percaya terhadap hal-hal yang ghaib, itu ada di dalam ajaran agamanya, namun baru kali ini ia merasakan langsung pengalaman itu, meski hanya sekedar suara, berbeda dengan Nur, temanya, ia mengaku melihat yang tidak seharusnya ia lihat.
Mungkin Nur lebih sensitif.
Memang, sejak awal, Nur yang paling berbeda di antara yang lain, hanya dia seorang yang mengenakan jilbab, dibandingkan dengan Ayu dan dirinya sendiri, Nur yang paling religius, karena setahu Widya sendiri, Nur jebolan pondok pesantren ternama di kota “J”.
Terlepas dari itu semua, pengalaman KKN ini, tidak akan pernah dilupakan oleh semua rombongan ini.
“Nur,” kata Widya masih menenangkan “Nur bisa ndak, cerita ini ojok sampe nyebar yo gok arek2, kan gak enak, nek sampe kerungu ambi warga deso, opo maneh kita disini iku tamu, insyaallah, kabeh lancar, nggih”
(Nur, bisa gak cerita ini jangan sampai menyebar ke teman-teman)
(Kan jadi gak enak, kalau sampai warga desa dengar, apalagi kita disini itu sebagai tamu, insyaallah, semua akan baik-baik saja. ya)
Nur mengangguk, meski enggan menjawab kalimat Widya, dan malam itu, tanpa terasa dilewati begitu saja.
Keesokan harinya, rombongan sudah berkumpul, sesuai janji pak Prabu, hari ini, akan keliling desa, melihat semua proker yang sudah diajukan oleh Ayu tempo hari, sekaligus, meminta saran untuk Proker individu yang harus dikerjakan oleh satu anak sendiri-sendiri.
“Ngene iki, walaupun saya tinggal nang kene, aku yo pernah kuliah loh dek, sarjana lagi” kata pak Prabu, bahasanya medok, campur-campur antara bahasa jawa dan bahasa indonesia,
Mendengar itu, Wahyu menimpali. “iku lo, rungokno bapak’e, walaupun wong deso, gak lali kuliah”
(Itu loh, dengarkan bapaknya, walaupun rumahnya di desa, tidak lupa kuliah)
Wahyu melanjutkan. “bapake ambil apa dulu? perhutanan ya?”
“Bukan” kata beliau santai. “pertanian”
“Lah ra onok sawah nang kene, piye toh pak” (lah, disini gak ada sawah, gimana sih pak?)
“Ya, memangnya sampeyan pikir hanya karena ambil pertanian harus terjun ke sawah”
Jawaban pak Prabu sontak membuat tawa pecah, Widya melirik Nur, dia sudah bisa ceria lagi, melupakan sejenak kejadian semalam.
Sampailah, mereka di pemberhentian pertama. sebuah pemakaman desa.
Aneh.
Itu yang pertama kali dipikirkan Widya, atau mungkin serombongan orang. di setiap Nisan, di tutup oleh kain hitam.