Pemakamannya sendiri, dikelilingi pohon beringin, dan di setiap pohon beringin, ada batu besar di sampingnya, disana, ada lengkap, sesajen di depannya.
Nur yang tadi ikut tertawa, tiba-tiba menjadi diam. ia menundukkan kepalanya, seolah tidak mau melihat sesuatu. pagi, itu tiba-tiba terasa gelap di dalam pikiran Widya.
“Ngapunten pak, niki nopo nggih kok” (mohon maaf pak, ini kenapa ya kok)
Belum selesai Widya bicara, pak Prabu memotongnya
“Saya tau, apa yang adik mau katakan, pasti mau tanya, kok patek (nisan) nya, di tutup pakai kain, gitu to?”
Widya mengangguk. rombongan menatap serius pak Prabu, terkecuali Wahyu dan Anton, terdengar mereka sayup tertawa kecil.
“Ini itu namanya, Sangkarso. kepercayaan orang sini. jadi biar tahu, kalau ini loh pemakaman” terang pak Prabu, yang jawabanya sama sekali tidak membuat serombongan anak puas, sampai-sampai Wahyu dan Anton walaupun pelan sengaja menyindir. namun pak Prabu bisa mendengarnya.
“Wong pekok yo isok mbedakno kuburan karo lapangan pak” (orang bodoh juga bisa membedakan kuburan dan lapangan bola pak)
Pak Prabu yang awalnya tersenyum penuh dengan candaan, tiba-tiba diam, raut wajahnya berubah dan tak tertebak.
“Semoga saja, kalain tahu yang di omongkan ya”
Kalimat pak Prabu seperti penekanan yang mengancam, setidaknya itu yang Widya rasakan, sontak, Bima langsung merespon dengan meminta maaf, namun Wahyu dan Anton memilih diam setelah mendengar respon pak Prabu.
“Mongo pak, bisa lanjut ke tempat selanjutnya”
Tempat berikutnya adalah Sinden (Kolam, tempat air keluar dari tanah) pak Prabu mengatakan bahwa Sinden ini bisa dijadikan Proker paling menjanjikan, tidak jauh dari sana ada sungai, inginnya pak Prabu, Sinden dan sungai bisa dihubungkan, jadi semacam jalan air.
Tanpa terasa, hari sudah siang.
Ayu dan Widya sudah memetakan semua yang pak Prabu tunjukkan, memberinya sampel warna merah sampai biru, dari yang paling diutamakan sampai yang paling akhir di kerjakan.
Namun, tetap saja. selama perjalanan, Widya banyak menemukan keganjilan.
Keganjilan yang paling mencolok adalah, tidak satu atau dua kali, namun berkali-kali, ia melihat banyak sesajen yang di letakkan di atas tempeh, lengkap dengan bunga dan makanan yang di letakkan disana, di tambah bau kemenyan, membuat Widya tidak tenang.
Setiap kali mau bertanya, hati kecilnya selalu mengatakan bahwa itu bukan hal yang bagus.
Nur, setelah dari Sinden, ia ijin kembali ke rumah, karena badanya tidak enak, dengan sukarela Bima yang mengantarnya, jadi, observasi hanya dilakukan oleh 4 orang saja.
Kemudian, sampailah di titik paling menakutkan.
“Tipak talas” kalau kata pak Prabu. sebuah batas dimana rombongan anak-anak di larang keras melintasi sebuah setapak jalan yang dibuat serampangan, di kiri kanan, ada kain merah lengkap diikat oleh janur kuning layaknya pernikahan
“Kenapa tidak boleh pak?” tanya Ayu penasaran.