Ini Penjelasan Kemdikbud Kenapa Sekolah Perlu Kurikulum Prototipe

Kurikulum prototipe adalah opsi kebijakan kurikulum lanjutan dari Kurikulum Masa Khusus Pandemi Covid-19 atau Kurikulum Darurat untuk pemulihan pembelajaran.

kurikulum prototipe. Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Anindito Aditomo mengatakan bahwa indikasi kehilangan kemajuan belajar terlihat dalam riset BSKAP Kemendikbudristek yang menunjukkan learning loss literasi dan numerasi secara signifikan.

“Untuk literasi, learning loss setara dengan enam bulan belajar. Sementara untuk numerasi, learning loss tersebut setara dengan lima bulan belajar,” katanya dikutip dari laman resmi kemdikbud.

Berikut tiga hal yang perlu diperhatikan terkait opsi kurikulum prototipe bagi sekolah:

A. Indonesia mengalami krisis belajar

Dalam instagram BSKAP Kemendikbudristek dijelaskan, berbagai studi nasional maupun internasional menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami krisis pembelajaran (learning crisis). Krisis tersebut semakin parah akibat merebaknya pandemi Covid-19.

Banyak dari anak-anak Indonesia yang tidak mampu memahami bacaan sederhana atau menerapkan konsep matematika dasar.

Selain itu, beragam studi tersebut juga memperlihatkan kesenjangan pendidikan yang curam di antar wilayah dan kelompok sosial di Indonesia.

B. Langkah mengatasi krisis belajar

Isu kesenjangan pendidikan antar wilayah tersebut menambah daftar panjang tantangan pendidikan yang harus Indonesia tanggulangi.

“Untuk mengatasi krisis dan berbagai tantangan tersebut diperlukan perubahan yang sistemik. Kualitas guru dan kepala sekolah tentu menjadi faktor kunci dalam transformasi pembelajaran. Tapi, ada perangkat lain yang tidak kalah penting, yakni kurikulum,” ungkap Anindito dikutip dari @litbangdikbud.

Baca Juga:  FTBI Tanah Papua 2024, Ciptakan Generasi Muda Penjaga Bahasa Ibu

Kurikulum yang dimaksudkan nantiknya akan menentukan materi yang diajarkan di kelas. Kurikulum tersebut juga mempengaruhi kecepatan dan metode mengajar yang digunakan guru.

“Betul bahwa guru yang hebat akan bisa menerapkan pembelajaran yang baik, apa pun kurikulumnya. Tapi kurikulum yang baik bisa mendorong sebagian besar guru untuk berfokus pada tumbuh kembang karakter dan kompetensi murid. Kurikulum yang baik tidak memaksa guru untuk ‘kejar tayang materi’, melainkan mendorong guru untuk lebih memperhatikan kemajuan belajar muridnya,” paparnya.

- Iklan -

“Untuk itulah Kemendikbudristek mengembangkan kurikulum prototipe sebagai bagian penting upaya memulihkan pembelajaran dari krisis yang sudah lama kita alami,” ujarnya lebih lanjut.

C. Tujuan kurikulum prototipe menjadi opsi bagi sekolah

Meskipun menurut Kemdikbud diperlukan, namun kurikulum prototipe ini merupakan kurikulum opsi bagi sekolah. Artinya tidak semua sekolah harus langsung menerapkannya.

Ada dua tujuan yang melandasi kurikulum tersebut dijadikan opsi. Pertama, menegaskan bahwa sekolah memiliki kewenangan dan tanggung jawab mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan dan konteksnya. Kedua, agar proses perubahan kurikulum nasional terjadi secara lancar dan bertahap.

Baca Juga:  Eks Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun Diperiksa Polisi

“Kita bahas yang pertama. Terkait kurikulum, sebenarnya tugas pemerintah adalah menetapkan kerangkanya. Bukan menetapkan kurikulum yang sudah operasional, yang siap digunakan begitu saja oleh sekolah. Menyusun kurikulum yang operasional adalah tugas sekolah. Jadi kurikulum antar sekolah bisa dan seharusnya berbeda, sesuai dengan karakteristik murid dan kondisi sekolah. Tentu asalkan mengacu pada kerangka yang sama,” terang Anindito.

Penyusunan kurikulum operasional ini merupakan bagian dari otonomi profesi guru. Sebagai pekerja profesional, guru memiliki kewenangan untuk bekerja secara otonom, berlandaskan ilmu pendidikan.

Sayangnya, ekosistem pendidikan Indonesia sudah lama dianggap sebagai pelaksana kebijakan pusat. Dalam hal pembelajaran pun demikian. Mindset-nya kepatuhan pada aturan, bukan rasa berdaya sebagai pekerja profesional.

Akibatnya regulasi kurikulum dari pusat kerap dianggap sebagai resep atau instruksi. Sampai format dokumen pun banyak yang merasa perlu diseragamkan dari pusat.

“Ini yang sedang kami coba ubah, salah satunya melalui kebijakan opsi kurikulum. Kami ingin menegaskan bahwa sekolah bertanggungjawab untuk merefleksikan kerangka kurikulum mana yang cocok untuk mereka. Dan bahwa sekolah boleh dan seharusnya menyusun sendiri kurikulum operasional yang kontekstual, sesuai dengan kebutuhan murid dan kondisi sekolah,” pungkasnya.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU