Pertama, akademisi perlu pandai dalam memilih jurnal dan penerbit. Banyak penerbit yang menyediakan secara gratis.
Ada juga kegiatan hibah penelitian yang memberi dana untuk melakukan penulisan jurnal, dan mengikuti konferensi internasional.
Peluang-peluang ini tersedia luas dan bisa dengan mudah ditemui di internet. Walaupun demikian, memang perlu ketekunan dan ketelitian dalam mengumpulkan informasi tersebut.
“Beberapa publikasi gratis terindeks SCOPUS, bisa kita coba. Diantaranya seperti International Journal of Technology dari Universitas Indonesia (UI), International Journal on Electrical Engineering and Informatic dari Institut Teknologi Bandung (ITB), serta beberapa penerbit jurnal internasional Elsevier, Taylor and Francis, Sage, dan lainnya.
Kesempatan itu sangat banyak, tapi tidak jarang karena terlalu banyak informasi, kita menjadi bingung,” kata Arif yang sudah menulis 44 artikel jurnal internasional.
Kedua, belajar dari penolakan. Mirip dengan menerbitkan opini di media massa, penerbitan jurnal juga bisa ditolak.
Arif menjelaskan bahwa penolakan sangat wajar. Setelah ditolak, akademisi harus bangkit dan refleksi diri. Anda harus belajar dari kenapa jurnal Anda ditolak.
“Biasanya terdapat beberapa alasan kenapa jurnal sering ditolak. Misalnya saja seperti naskah di luar area jurnal, unsur naskah kurang lengkap, tata bahasa yang digunakan tidak layak, hingga pembahasan tersebut terlalu dangkal.
Itu kita jadikan pelajaran dan perbaikan,” jelas Arif yang di Kementerian Pendidikan (Kemendikbudristek) juga dipercaya sebagai reviewer (penyeleksi) hibah penelitian.