Catatan: Ilham Bintang
Di balik kemasyhurannya sebagai salah satu tujuan wisata populer dunia, Bangkok masih mewariskan persoalan lama. Istilah anak milenial: sebelas duabelas dengan Jakarta dalam urusan kemacetan. Dua kota itu pernah masuk daftar 20 kota termacet di dunia. Kala itu, masalah kemacetan di Bangkok hampir sama dengan di Jakarta.
Penelitian menyebut faktor utama penyebab kemacetan di kota ini karens kurangnya ruas jalan yang tersedia, yakni sekitar 8 persen dari luas kawasan. Angka itu berbeda jauh jika dibandingkan dengan rata-rata 20-30 persen di negara barat.
Padahal, ibaratnya Bangkok belum lama sudah “diruwat”. Diberi nama baru: Kota Malaikat. Ya, Bangkok sekarang punya nama baru: Krung Thep Maha Nakhon. Artinya: Kota Malaikat/Bidadari.
Walaupun secara internasional tetap namanya Bangkok. Nama kota itu terpanjang di dunia. Ini masih mendingan dibandingkan awal sejarah. Ya, ampun panjangnya: “Krung Thep Mahanakhon Amon Rattanakosin Mahinthara Ayuthaya Mahadilok Phop Noppharat Ratchathani Burirom Udomratchaniwet Mahasathan Amon Piman Awatan Sathit Sakkathattiya Witsanukam Prasit.” 188 huruf!
Sampai kiamat pun sulit orang menghafalnya. Bagaimana pula menulisnya di pasport atau kartu embarkasi.
Saya sudah memasuki hari ketiga di Bangkok ketika ini ditulis. Dua hari yang terlewat siang malam saya menyaksikan kemacetan lalu lintasnya luar biasa parah. Mongonfirmasi gelarnya sebagai salah satu kota termacet dunia.
Untuk menuju satu tempat berjarak hanya 4-5 km, misalnya, memerlukan waktu tempuh sekitar 1-2 jam. Kenapa tidak berjalan kaki saja? Tunggu dulu. Bangkok seperti Jakarta, nasibnya juga sama dalam urusan polusi udara.
Menurut data, 1,3 juta penduduk Bangkok menderita sakit dengan 200 ribu di antaranya dirawat di RS dan 700 meninggal dunia pada puncak polusi udara akhir Januari dan awal Februari. Waktu itu, otoritas kota sampai mendesak orang untuk bekerja dari rumah.
Sekarang pun, juru bicara dari Kantor Gubernur Bangkok mengatakan mereka tidak akan ragu untuk sewaktu-waktu mengeluarkan perintah serupa jika situasinya memburuk.
Kementerian kesehatan setempat mengatakan sebanyak 50 distrik di Bangkok mencatat tingkat yang tidak aman dari partikel PM2.5 yang paling berbahaya. Partikel ini sangat kecil sehingga dapat memasuki aliran darah.
Dua hari yang lewat berturut-turut pas saya di Bangkok, Alhamdulillah statusnya aman menurut Index Kualitas Udara. ( AQI). Tetapi AQI mengingatkan juga hari ketiga dan seterusnya status Bangkok kembali tidak aman.
Selama di Bangkok, siang malam saya sengaja memperhatikan jalanan dari depan hotel tempat saya menginap di pusat kota. Hingga pukul 10 semalam, kemacetan belum reda. Arus lalulintas semakin bertambah menjadi -jadi parahnya karena turun hujan. Beberapa ruas jalan tergenang banjir.
Puluhan “Tuk Tuk” berhias lampu berwarna-warni mirip es campur tetiba menyerbu masuk halaman hotel. Seperti rombongan festival, disertai iringan musik yang disetel dengan volume keras.
“Tuk Tuk ” lalu menumpahkan penumpang turis, kebanyakan dari Afrika. Ditimpali aksi tepuk tangan dan sorak sorai panjang dan suara cekikikan. Mungkin mau menggambarkan pembebasan penderitaan mereka disiksa kemacetan berjam-jam di jalan.
Oh, iya: Tuk Tuk adalah kendaraan umum tiga roda seperti Bajaj di Jakarta. Di Bangkok kendaraan ini sangat populer, menjadi elemen penting pariwisata. Penampakannya memang menarik dihiaso lampu warna diselujur bodinya sehingga mirip gelas berisi es campur berjalan di malam hari.
Luas Kota Bangkok 1.565 km persegi, jauh lebih besar dibandingkan Jakarta yang hanya 650 km persegi. Penduduknya pun sekitar 9 juta, lebih sedikit dari Jakarta yang sekitar 11 juta jiwa.
Mestinya Bangkok lebih longgar apalagi dengan infrastruktur angkutan umum lebih baik, lebih lengkap. Kenapa Bangkok lebih parah? Mungkin karena jumlah turisnya 20 juta jiwa/tahun atau rata – rata 2 juta jiwa perbulan. Sesuatu yang mustahil untuk dielakkan.
Otoritas Pariwisata di kota ini bahkan mau menggenjot angka turis hingga 30 juta selepas Pandemi Covid-19 tahun ini. Jumlah turis itu setara dengan pendapatan USD 50 M. Kalau saja terealisasi, maka Thailand lebih pantas punya Ibu Kota baru dibandingkan IKN Indonesia, karena riel punya uang banyak dari kocek dan penghasilan sendiri.
Catatan ini sangat boleh jadi dipengaruhi perasaan galau saya yang masih berkabung saat tiba di Bangkok, Selasa (22/8) sore itu. Kakak Ipar saya, Sigit Winsu Tantomo (72) di Yogyakarta meninggal dunia jelang saya boarding di pesawat.
Maka seakan tawar saja satu dua hari ini berada di Kota Malaikat itu. Makan saja pun belum saya temukan yang enak. Padahal, dunia mengakui Bangkok surga wisata kuliner. Saya masih terkenang kakak ipar yang meninggal dunia di Yogyakarta di hari dan jam penerbangan saya ke Bangkok. Semoga Mas Sigit yang dimakamkan esoknya diterima di sisi Allah SWT. Memperoleh tempat lapang, nyaman, dan indah di sisiNya.
Di Bangkok, saya terus meng-update berita tentang almarhum hingga upacara pemakamannya. Perasaan baru sedikit lega melihat begitu banyak yang datang melayat, mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir dia.
Dua adik, Faidal Yuri dan istri, Nining, Fadlan, Ikhwan Azis, kemenakan Ade Festiany bersama anaknya, Gading, berada di sana. Saya menonton video suasana pemakamannya, yang mengharu biru. Boggart (Boga) putra sulung almarhum mengadzankan saat jenasah ayahnya di liang lahat. Tidak terasa air mata jatuh menetes menggarisi pipi.
Saya menelpon lagi kakak saya, Yunita Bintang, istri almarhum. Tapi tidak bisa lama. Saya tidak tahan karena dia masih terguncang, masih terus menangis sesenggukan. Saya hanya titip pesan pendek. Supaya dia berusaha keras mengikhlaskan mendiang.
Begitulah takdir kematian atas manusia terjadi. Tidak seorang pun tahu kapan waktunya tiba. Dan tak siapapun juga juga mencegahnya apalagi menundanya. Innalillahi Wainnailaihi Rojiun.
Mengapa saya ke Bangkok, sudah saya ceritakan dua hari lalu dalam tulisan (Baca: “Dapat Tugas Mengawal Cucu yang Ikut Lomba Debat di Bangkok”, Selasa 22 Agustus).