Janganlah takut miskin. Justru takutlah jika kaya. Allah berfirman: dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia, cinta terhadap apa yang diinginkan.
Berupa perempuan – perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk, dalam bentuk emas dan perak. Kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan bagi Allah Subhanahu Wataalah tempat kembali yang baik.
Katakanlah, “Maukah aku kabarkan kepadamu, apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Bagi orang orang yang bertakwa, tersedia bagi mereka surga – surga, yang mengalir di bawahnya sungai – sungai.
Mereka kekal di dalamnya. Dan pasangan pasangan yang suci, serta Ridha Allah SWT. Dan Allah Maha Melihat hamba -, hambaNya”. (QS Ali Imran :14 – 15).
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Harta yang baik, adalah milik seseorang yang saleh”. Artinya, harta yang halal, yang digunakan, yang dibelanjakan oleh seorang muslim, pada jalan yang diridhai oleh Allah Taala.
Dan ditujukan memenuhi hak – hak Allah, adalah nikmat yang agung yang ia anugerahkan kepada hambaNya yang mukmin. Bahwa fitnah dan malapetaka yang tidak bersumber secara mutlak dari kekayaan. Semuanya kembali pada sikap kita terhadap nikmat dari miskin.
Mari kita meneladani sikap ulama ulama terdahulu dalam menghadapi kekayaan maupun kemiskinan. Mereka sadar tentang potensi positif dan potensi negatif di balik kekayaan dan kemiskinan. Dan mereka memilih jalan yang maslahat, di antara keduanya.
Diriwayatkan dari sahabat Amr bin Auf al Anshari Radhyallahu Anhu, bahwa Rasulullah SAW, mengutus sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah Radhyallahu Anhu ke negeri Bahrain untuk mengambil harta jizyah. Yaitu hak atas harta yang diberikan Allah kepada kaum muslimin dari orang kafir. Sebagai tanda, tunduknys mereka kepada Islam.
Lalu, Abu Ubaidah kembali ke Madinah dengan membawa harta dari negeri Bahrain. Kedatangan Abu Ubaidah ini, didengar oleh kaum Anshar, bertepatan dengan salat subuh bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Usai salat beliau, segera pergi. Namun orang – orang berkerumun menghampirinya. Rasulullah tersenyum melihat mereka, seraya berkata, “Aku kira kalian, telah mendengar bahwa, Abu Ubaidah, telah tiba dengan membawa sesuatu”. Mereka berkata, “Benar wahai Rasulullah”.
Beliau lantas bersabda, “Bergembiralah dan bersuka citalah, dengan apa yang membuat kalian berbahagia”. Beliau melanjutkam sabdanya, “Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan dari kalian. Akan tetapi yang aku khawatirkan atas kalian adalah bila kalian telah dilapangkan harta dunia, sebagaimana telah dilapangkan oleh orang-orang sebelum kalian.
Lalu kalian bersaing, sebagaimana mereka bersaing memperebutkan, sehingga harta dunia itu, membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka” (HR al Bukhari dan Muslim)
Pada umumnya, seorang ayah di akhir hayatnya, akan sangat mengkhawatirkan pada anak anaknya. Tetapi, tidak dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Ibarat ayah bagi umatnya. Beliau sama sekali tidak mengkhawatirkan kemiskinanan dan kefakiran pada umatnya.
Padahal beliau sangat mencintai ummatnya. Yang beliau khawatirkan, justru sebaliknya. Rasulullah mengkhawatirkan kekayaan dan kelapangan harta pada umatnya. Al – Hafiz Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fath al -Bari, menjelaskan bahwa hal itu, disebabkan mudarat kefakiran, lebih ringan dari pada mudhorot kekayaan.
Bahaya yang ditimbulkan kefakiran pada umumnya, berkaitan dengan keduniaan. Sedangkan, bahaya yang diakibatkan kekayaan, biasanya berkaitan dengan agama. Mudharat dalam agama, jelas lebih berat dari pada mudarat keduniaan.
Harta adalah, sesuatu yang menggiurkan pada banyak orang. Lebih lebih bagi pemiliknya. Dengan sebab harta yang melimpah, seseorang kemungkinan besar akan tergoda untuk melakukan berbagai hal yang disenangi hawa nafsunya. (Berlanjut/ana)