Juang

Aku masih ingat keributan yang terjadi beberapa detik setelah lonceng peringatan bergema. Bagiku itu bukan hanya sekedar lonceng biasa, namun mimpi buruk yang menjadi kenyataan.

Mimpi buruk yang membuat para rakyat berhamburan ketakutan di sepanjang jalanan, mencari perlindungan dari para pejuang. Satu-satunya hal yang dipikirkan para manusia saat itu, hanyalah berlari dan berlari. Bunyi pesawat tempur membuat bagaskara seolah tak berarti karena yang terukir di mata kami saat itu, hanyalah bumantara yang temaram.

“DUUAAAAARRR….DUUAAARRRRR…DUUAAARRRR”

Ledakan demi ledakan terus bergulir dan membuat telinga ini mendengung. Para penjajah mulai menyerang, merasa bahwa mereka yang paling berkuasa, merasa bahwa merekalah yang paling kuat, padahal perjuangan yang berat dan penuh tantangan dihadapi bangsa ini dengan berani. Tiada kata menyerah, sampai kemerdekaan itu menjadi milik kita.

Di setiap sudut tempat hanya ada darah, darah dan darah, diikuti oleh tulang-tulang yang berhamburan dan semua itu dilakukan demi kebebasan yang kami ingin dapatkan secara mati- matian. Sakit dalam perjuangan itu hanya sementara. Namun jika menyerah, rasa sakit itu akan terasa selamanya.

Yang lengah akan tertinggal namun sebaliknya, melarikan diri tidak akan menentukan keselamatan kalian. Karena derap langkah pasukan itu akan terus terdengar, dimanapun kalian berada. Yang tertangkap akan mendapat siksaan neraka dunia entah di jemur dibawah terik sinar matahari sampai terbakar hidup-hidup mereka bahkan tidak segan untuk menyiksa seorang anak yang bahkan belum mahir berbicara dengan menguliti tubuhnya yang suci.

Para pasukan itu berpostur tegak dan memiliki kulit pucat, berwajah dingin dan kosong layaknya hantu. Namun, sepertinya perbuatan yang mereka lakukan, 2 kali lipat lebih menyeramkan dari para hantu yang ada, karena mereka akan menyiksa siapapun yang berada di hadapan mereka. Apalagi, yang mencoba membantah perintah mereka.

Kala itu, aku dan ibu berhasil melarikan diri masuk ke dalam sebuah jenggala yang tidak jauh dari perkampungan. Di sana, kami disambut oleh suasana yang begitu sunyi. Suara yang terdengar saat itu hanyalah suara dersik ilalang yang diiringi oleh derik jangkrik, bayangan rembulan yang terbentuk di genangan air malam itu sangat elok untuk dipandang, sekalipun keindahan itu tidak akan bisa mengobati kegundahan hatiku.

Dor! dor! dor! Seorang tentara, melepaskan tembakan secara masal. Rasa panik yang kami rasakan tentu bukan main. Awalnya, kami mencoba bersembunyi di balik pohon besar, namun semakin lama, suara tank tempur mulai terdengar, membuat kami terpaksa melanjuti perjalanan, mengikuti gemintang yang menghiasi langit redum malam itu secara sumarah.

- Iklan -

Berjalan cepat tanpa menghasilkan suara langkahan tentu membuat kami letih. Namun, rasa gulana yang kami rasakan, seolah-olah terbayarkan setelah kami melihat siluet sebuah pilau terambang yang terlihat di tepi pantai. Pilau tersebut tak berpenghuni, maupun dimiliki dan hal itu tentu menumbuhkan sepotong harapan kecil untuk melarikan diri dari kota yang sudah tidak layak ditinggali. Dengan cepat kami berlari menuju pilau tersebut, walaupun begitu usaha kami gagal.

DOR!

Sebuah tembakan mengenai ulu hati ibu. Di momen itu, dunia seolah berhenti, sesaat setelah diriku menyadari bahwa sosok malaikat tanpa sayapku, telah pergi untuk selama-lamanya.

“Ibu! Bangun bu! Ibu harus kuat,” ucapku memohon-mohon. Air mataku, mulai turun membasahi pipi, masih belum bisa menerima kenyataan bahwa peluang ibu untuk hidup sangatlah kecil. Dan dugaanku benar,

“Tidak nak, kamu yang harus kuat. Perjuangkan negeri ini, sampai merdeka,” itulah pesan terakhir beliau, sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Ibu, asal kau tidak tahu. Pergimu tak sendiri, karena saat matamu tertutup damai, engkau membawa hati serta jiwaku bersamamu. Meninggalkanku dengan sejuta perasaan, yang bahkan belum sempat aku ucapkan. Murni, teduh, dan lembut. Itulah hati terbaik yang pernah diciptakan Tuhan dan itu semua adalah hatimu bu. Sekarang aku tahu mengapa engkau selalu memintaku untuk menjadi anak yang kuat, karena engkau sudah tahu, bahwa aku harus mempunyai kekuatan, serta keikhlasan diriku untuk menanggung kepergianmu. Terimakasih Tuhan telah menitipkanku terhadap malaikatmu yang kusebut dengan panggilan “ibu”. Kini giliranku untuk mewujudkan harapan terbesarnya, yaitu melihat hari dimana Indonesia berhasil meraih kemerdekaan.

Aku belum hidup dalam sinar bulan purnama, aku masih hidup di masa pancaroba. Nyawa ibu bukan direnggut oleh Tuhan, melainkan diambil secara paksa oleh para tentara itu. Kesedihan, rasa marah, serta kecewa menggumpal menjadi satu, membuat semangat perjuanganku berkobar setelah sekian lamanya, terkubur di balik pelukan ibu.

Aku tidak berlari menghampiri pilau itu, aku malah berputar balik dengan sebuah bambu runcing yang kupungut di tanah. Semangatku begitu berapi-api dan tentu saja berstrategi. Tekadku sudah bulat, entah seburuk apa takdir yang akan menanti, aku sudah tidak mempedulikannya lagi. Aku akan melakukannya demi kemerdekaan. Jika aku tidak dapat melawan kematian, aku harus meyakinkan diriku bahwa aku dapat melawan para penjajah itu.

Perlahan-lahan aku mengendap-endap, memasuki salah satu tenda yang didirikan oleh tentara-tentara itu. Seketika, suasana menjadi begitu mencekam, wajar saja tindakan yang diriku lakukan akan mengarahkan antara hidup dan mati.

Kematian adalah hal yang menyakitkan, namun bukankah jauh lebih menyakitkan untuk melihat masa depan negeriku tercinta terus tersiksa. Aku bisa melihat beberapa wajah tentara yang sedang berjaga. Melihat mereka, sejenak aku teringat ibu. Semakin membara emosiku

Heb je het gehoord? is dat niet het geluid van iemands voetstappen?”

“Apakah kamu mendengarnya? bukankah itu suara langkah kaki seseorang?” tanya salah satu dari tentara tersebut. Tidak mendengar hal yang sama, temannya hanya menatapnya bingung lalu pergi meninggalkannya begitu saja.

“Inilah saatnya!” Merasa ada celah, dengan cepat diriku langsung menancapkan bambu runcing tersebut tepat di ulu hatinya, membalas perbuatan yang ia lakukan terhadap ibuku. Nyawa dibayar dengan nyawa, itulah yang selalu mereka katakan bukan?

Berhasil! aku membatin gembira. Memang benar kata orang, kita terkadang suka lupa dengan Tuhan di saat hasrat mengelilingi kita. Alih-alih berterimakasih kepadaNya, aku malah mengejek tentara yang jelas-jelas sudah tak bernyawa dan tanpa kusadari sebuah tembakan mengenai kaki kananku.

Dengan perasaan panik, aku memaksa kakiku untuk berlari, membawa tubuhku menjauh dari markas tersebut. Aku tak lagi memikirkan kakiku yang pincang ini. Darah yang terus mencuat dan meninggalkan jejak mengikuti kemana aku berlari. Isi kepalaku hanya tentang berlari, lari dan lari.

Walaupun pada akhirnya, lagi-lagi aku tidak menyadari bahwa besi panas berhasil menembus dadaku. Tuhan memutuskan untuk mengakhiri perjuanganku di hari itu. Tuhan lebih ingin diriku tenang, daripada merasakan dendam yang terus berlanjut. Tuhan lebih tahu, mana yang terbaik bagiku, bagi para pejuang tanah air lainnya, juga bagi ibu.

 

Sebuah karya cerpen berjudul ‘Juang’ oleh Raisa Khalisa yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU