Aliansi Remaja Independen Sulawesi Selatan
Makassar, FAJARPENDIDIKAN.co.id – Berawal dari pertemuan nasional AIDS pada tahun 2012 di Yogyakarta, yang diadakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan dan Komisi Perlindungan Anak (KPA) Nasional. Pada saat itu, Andhika Wirawan dan Muhammad Reysa yang terpilih mewakili remaja Makassar untuk mengikuti pertemuan tersebut.
Lalu di sanalah mereka bertemu dengan pengurus Aliansi Remaja Independen (ARI) Jakarta. Dari pertemuan itu, muncul ide untuk membawa ARI ke Makassar. “Peresmian pertama ARI di Makassar, ditandai dengan diadakannya pelatihan daerah. Jadi, setelah mereka balik dari Jogja, mereka kemudian merekrut orang yang ada di sekitar mereka, itu dulu kebanyakan dari FKM Unhas,” cerita Fajar Waksi, Local Coordinator ARI Sulsel.
Pelatihan daerah itu, sambungnya, dihadiri juga oleh perwakilan ARI Jakarta untuk memberikan materi. Pelatihan itu diadakan di Gedung Iptek Unhas. “Jadi pelatihannya itu berupa pembahasan isu seputar HIV/AIDS, kesehatan alat reproduksi. Karena pada dasarnya, isu di ARI itu seputar kesehatan seksual dan alat reproduksi,” papar Fajar.
Kata Fajar, tujuan utama lahirnya ARI adalah bagaimana pengetahuan seputar seksualitas itu masuk di dalam kurikulum nasional. “Untuk mencapai tujuan itu, kita punya banyak-banyak program,” katanya.
“Kita juga fokusnya ke advokasi, perubahan kebijakan. Jadi untuk mencapai tujuan tadi, perlu adanya perubahan kebijakan. Tapi di samping itu, kami juga berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat itu sendiri. Karena percuma saja jika peraturan telah direvisi sementara masyarakat sebagai objeknya belum sadar,” jelasnya.
Misi sosial itu kemudian dituangkan ke dalam beberapa item kegiatan seperti seminar, workshop, roadshow, dan juga kampaye Tentang isu kekerasan seksual, kekerasan anak, dan juga kekerasan dalam bentuk bullying.
“Untuk kegiatan yang nyata, kami pernah juga advokasi tentang perubahan kebijakan pernikahan anak sampai ke mahkamah konstitusi di tahun 2016,” ungkapnya.
Perubahan kebijakan pernikahan anak yang dimaksud yaitu, Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang memperbolehkan perempuan nikah di umur 16 tahun dan laki-laki di umur 19 tahun. Tentu ini menjadi kendala besar bagi ARI yang selama ini gencar mengampanyekan isu pernikahan dini dan dampaknya.
“Nah, kalau kita tarik mundur lagi, kalau umur 16 tahun itu, masih kelas 3 SMP dan negara sudah melegalkan untuk menikah. itu menjadi kendala bagi kita sekarang,” keluhnya.
Beberapa dampak yang ditimbulkan akibat pernikahan dini yang dijelaskan Fajar kepada FAJAR PENDIDIKAN yaitu, risiko kematian ibu dan anak sangat tinggi dan juga kekerasan dalam rumah tangga lantaran secara mental belum siap menghadapi biduk rumah tangga.
Fajar menjelaskan, ada beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya pernikahan di bawah umur. Mulai dari faktor budaya, pendidikan, hingga faktor finansial.
“Kalau di daerah nih, banyak orang tua yang ingin menikahkan anaknya di bawah umur karena mereka kurang mementingkan pendidikan. Tak jarang ada juga yang beranggapan ketika anaknya dinikahkan dini, akan memperbaiki kondisi keuangan keluarga. Padahal anggapan tersebut belum sepenuhnya benar,” terangnya.
Sulsel Zona Merah
Selain itu, Fajar yang dihubungi via WhatsApp, juga mengungkapkan fakta berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan UNICEF; Provinsi Sulawesi Selatan berada diangka 26 persen pernikahan anak di bawah umur 18 tahun. Dengan kata lain, Sulsel ada dalam zona merah.
“Jadi mengapa ARI angkat isu perkawinan anak, yah karena data itu. Kami juga melakukan riset terhadap remaja yang pernah menikah untuk mengetahui dampak-dampak dari kesehatan reproduksi yang dialami oleh remaja yang menikah di bawah umur 18 tahun. Selain itu, kita juga adakan roadshow ke sekolah-sekolah. Melalui roadshow itu, kami mensosialisasikan langkah-langkah prefentif melalui edukasi,” jelasnya.
“Rasanya garing yah kalau misalnya, kami datang ke sekolah-sekolah dan kemudian katakan seperti ini: ‘jang miki menikah. karena nikah kayak gini dan gitu’. Jadi roadshow yang kami buat, diupayakan semenarik mungkin untuk menarik perhatian siswa-siswa. Bagaimana menyampaikan ke mereka tentang dampak pernikahan di bawah umur dan tentunya memberikan solusi kepada mereka. Melalui youth manual, kami membantu adik-adik menyusun rencana masa depannya. Youth manual adalah sebuah platfon perencanaan kuliah untuk anak SMA,” paparnya.
Seperti yang dijelaskan Fajar, dua tahun terakhir, yakni 2015 hingga 2017, yang menjadi fokus utama ARI Sulsel adalah isu perkawinan anak. Dan menjadi target sasaran adalah remaja umur 15-24 tahun. “Nah, diisu perkawinan anak ini, banyak item kegiatannya ada: riset, seminar, meeting bersama pemerintah, meeting bersama organisasi anak muda dan juga training,” katanya.
Di ujung wawancara, Fajar menitipkan harapannya kepeda pemangku kepentingan untuk isu perkawinan anak. “Bagaimana negera lebih memerhatikan nasib-nasib anak-anak untuk meraih masa depan mereka. Maksudnya, negara juga memikirkan undang-undang perkawinan direvisi kembali. Karena negara sudah melegalkan anak usia 16 tahun untuk menikah. Tidak cuma itu, saya juga berharap akan kesadaran masyarakat. Bagaimana mereka lebih sadar untuk memerhatikan pendidikan anak-anak untuk masa depannya,” tutupnya. (FP)