Kampung Pendiam

Dari jauh sudah terlihat pasar kampung Waringin ramai seperti biasanya. Sekitar jam enam pagi, hiruk pikuk penjual dengan senyum ramah yang dipaksakan, menawarkan dagangannya dengan gegap gempita. Termasuk Kang Jumadi, penjual jamu yang selalu membawa kabar baik buat orang-orang yang sedang kurang sehat.

Mungkin sedang kena asam urat, lutut linu-linu, pinggang kena encok bahkan sedang sakit lambung, tapi masih juga ke pasar untuk bekerja. Penyakit orang kampung selalu ada saja. Namun Kang Jumadi tetap optimis bahwa jualannya selalu ramai dalam situasi apapun. Tapi beberapa bulan terakhir, dagangannya terus menurun.

Pembelinya hanya beberapa orang dari kampung lain yang putus asa dengan kondisinya yang sudah berkali-kali ke dokter tapi tak kunjung ada perubahan kesehatan lebih baik.

“Ayo Bapak Ibu, yang sedang linu, kepala pusing, vertigo, segera minum jamu ini! Dijamin pasti lenyap seketika sakit-sakit Anda. Jangan tunda lagi, murah meriah. Daripada berobat ke dokter yang mahal dan antrinya naudzubillah!” celoteh Kang Jumadi bersemangat.

Semua mata memandang sinis dengan raut wajah meremehkan. Tapi mereka cepat-cepat berlalu dari lapaknya tanpa komentar, tanpa ada suara-suara protes. Mereka semua diam. Padahal mereka bisa saja protes bahwa tidak semua dokter mahal. Toh pergi ke Puskesmas juga gratis.

Peluh di wajah lelaki kekar itu terus berleleran karena panas mencengkeram pasar siang itu. Hanya ada tenda kecil yang menaunginya, membuat wajahnya mengkilap. Seharian hanya ada seorang ibu yang membeli jamu sari rapet.

“Biar suaminya senang ya, Bu?” goda lelaki itu sambil tersenyum dengan tatapan tajam. Perempuan itu hanya mengangguk malu-malu tanpa suara, dan segera berlalu setelah membayarnya.

“Sarmun! Lama-lama aku stress sama kampung ini. Kalau pendapatan kita terus menurun, kita tak bisa makan, tak bisa bayar kontrakan,” bisik Kang Jumadi kepada Sarmun asistennya yang berperawakan tinggi kurus itu. Matanya melotot menatap wajah Sarmun yang kebingungan.

“Lha mau bagaimana lagi, Kang? Kampung ini sepertinya sudah jarang orang sakit. Apa kita harus pindah dan cari pasar lain?” jawab Sarmun dengan wajah serius. Peluhnya juga menitik satu-satu di dahi, lalu turun ke sebelah pipinya.

- Iklan -

“Pindah gundulmu! Wong kontrakan masih belum dibayar lunas!” Lelaki kurus yang dipanggil Sarmun itu melengos, berpikir keras apa yang menyebabkan kampung Waringin ini menjadi adem ayem tanpa basa basi. Benar-benar memuakkan menurut mereka.

Sampai siang ini, ada satu lagi seorang ibu yang berusia sekitar 50 tahun yang membeli jamu masuk angin. Aneh, padahal musim kemarau seperti saat ini biasanya banyak pelanggan mencari Kang Jumadi untuk mencari obat-obatan.

Ada yang sakit batuk, koreng, gatal-gatal karena nyamuk yang merajalela akibat sungai-sungai yang kering dan air yang tak mengalir, juga berbagai penyakit “orang tua” lainnya. Tapi kenapa musim kali ini sangat sepi orang-orang mencari jamu kepadanya? Benar-benar membuat Kang Jumadi kalang kabut kliyengan.

Akhirnya mereka membereskan lapaknya, menuju ke sebuah warung nasi di sudut pasar, yang bersebelahan dengan gundukan sampah dan banyak lalat. Entah mengapa semua orang yang masuk ke warung itu seolah tak menghiraukan bau sampah yang menusuk indera penciuman mereka. Entah mungkin hidung mereka sudah baal.

“Lha ini dia Kang Jumadi! Piye Kang, pendapatmu sama film yang akan tayang itu? Yang tidak sesuai dengan norma agama. Kan nggak bener itu! Harus di boikot! Tidak boleh tayang!” Tiba-tiba Joni yang sedang duduk di warung itu langsung nyerocos menyambut kedatangan Kang Jumadi dan Sarmun. Lelaki yang badannya bau keringat itu lalu duduk di samping Joni, laki-laki tinggi besar beralis tebal.

Kang Jumadi mengerutkan dahinya sedikit bingung. Lalu akhirnya mengangguk-angguk diikuti Sarmun, setelah mendengar judul film yang dimaksud Joni, seorang aktivis yang wara wiri di beberapa kantor pemerintah.

Kadang ke kantor Kecamatan, kantor Dinas, kantor partai. Entah ada saja yang diurusnya, termasuk surat-menyurat yang harus diantarkan. Profesid Joni adalah semacam kurir dari kantor ke kantor. Paling sering dia menganggap dirinya sendiri sebagai penyambung lidah rakyat. Kadang juga sebagai makelar surat-surat penting di kampungnya, semacam Akta kelahiran, Kartu Keluarga atau membayar PBB dan lainnya.

“Harus kita boikot Kang Jumadi!” Joni mengulangi lagi kata-katanya.

“Iya harus dilarang! Merusak moral masyarakat!” tambah Kang Jumadi sambil makan gorengan di piring saji yang sudah dingin itu. Sayang makan siang kali ini tak ditemani segelas kopi panas karena keuangannya menipis.

Hanya air putih segelas. Sarmun hanya kebagian makanan menu sederhana, sepiring nasi sayur asem dengan lauk tempe goreng dan rempeyek kacang saja. Mereka bertiga ramai membicarakan film yang mereka anggap tak pantas itu.

“Bu Lasinah! Piye kalau menurut sampeyan?” tanya Joni bertanya kepada pemilik warung itu. Perempuan setengah baya itu hanya tersenyum tipis.

“Lha kok senyum-senyum saja. Gimana menurut sampeyan? Harusnya dilarang toh?” Dia menoleh ke perempuan itu sambil menyalakan korek apinya untuk merokok.

Lha wong saya ndak tahu filmnya, kok ditanya.” Jawab Bu Lasinah sambil tersenyum menoleh ke anaknya. “Tanya ke Bagas saja!”

Bagas, anaknya Bu Lasinah yang masih libur kuliah itu, terlihat sedang membantu membuat es the sama sekali tidak menoleh pada mereka pengunjung warung. Dia hanya tersenyum.

“Piye, Gas? Ayo kita ramai-ramai memboikot film itu!”

Bagas masih tersenyum tak menanggapi suara bersemangat Joni, membuatnya sedikit jengkel karena tak ada komentar sama sekali.

“Kamu kok diam saja? Ini lama-lama jadi kampung bisu!” seru Joni agak emosi.

Keningnya yang mengkilap karena keringat, tambah mengerut seperti kulit jeruk.

“Ya nggak apa-apa, yang penting bukan kampung ribut!” jawab Bagas enteng.

“Kamu kok begitu? Tidak ada kepedulian sama sekali ke masyarakat, sama negara kita! Kamu itu beneran mahasiswa, kan? Mahasiswa kok adem ayem begitu, tak ada protes-protesnya sama pemerintah!”

“Protes itu ya harus cerdas, Kang. Harus tahu apa yang mau di protes. Bukan protes sembarangan!” jawab Bagas tegas, lalu melengos pergi ke ruang belakang entah mengambil apa. Tak menghiraukan lagi celoteh Joni.

“Ya begini ini orang kurang update. Cuek dengan situasi dan kondisi yang sedang ramai dibicarakan orang.” Joni masih bergumam sambil menikmati asap rokoknya lalu menyeruput kopi hitamnya. Kang Jumadi dan Sarmun masih mengangguk-angguk, entah apa yang mereka pikirkan.

Sementara Bu Lasinah tetap tak bersuara. Padahal Bu Lasinah hanya pura-pura tak tahu tentang film yang dimaksud Joni.

Bu Lasinah masuk ke dalam dengan bersungut-sungut menemui Bagas. “Sst, dikira aku tak paham berita. Padahal aku malas membahas.” Suaranya pelan berbisik ke telinga Bagas dengan nada mencemooh kepada tiga orang lelaki itu.

Bu Lasinah kembali muncul ke depan warung.

“Tapi kampung ini kok semakin sehat ya, Jon? Sudah jarang orang sakit disini.” Kang Jumadi mulai curhat dengan tatapan heran kepada Joni.

“Masa?” tanyanya tak percaya.

“Buktinya, semakin lama jamuku semakin tak laku. Sepi.” Jelas Jumadi.

Tapi ternyata Joni sedang malas membahas jamu, malah kembali membahas boikot film. “Bu, Bagas ndak ikut demo toh?” tanya Joni pada perempuan pemilik warung itu. “Hari ini kan masih ramai mahasiswa demo di depan gedung Dewan?”

“Saya tidak tahu. Mungkin yang kuliah jurusan Sosial Politik saja yang ikut demo.” jawab Bu Lasinah singkat.

“Wah, padahal ini perjuangan lho. Mahasiswa membuktikan kalau demo itu membela rakyat kecil. Bagas jurusan apa kuliahnya?”

“Seni rupa, Kang!”

“Lha itu dia! Harusnya kan dia paham masalah seni, masalah film-film yang harus di boikot itu! Jangan diam saja, rakyat harus tahu mana film yang pantas, mana yang tidak pantas toh? Masa anak muda cuma diam saja? Cuek saja? Harus bergerak, dong!” Joni masih nyerocos tanpa jeda. Sementara kepala Sarmun mulai berdenyut-denyut mendengarkan celoteh Joni tanpa henti. Membuat irama jantungnya ikut berdetak lebih cepat dan tak beraturan padahal sudah selesai makan siang. Peluh di dahinya mulai bermunculan lagi.

Sudah sekitar satu jam mereka nongkrong di warung itu. Kang Jumadi mulai menggaruk- garuk kepalanya yang tidak gatal, dan Sarmun mulai menggaruk punggungnya yang mulai berkeringat. Hawa panas yang ganas memasuki warung yang tanpa kipas angin itu. Sebenarnya, Bagas yang berada di ruang tengah, hatinya ikut membara mendengar omongan Joni yang pedas dan tanpa etika, tapi dia menahan hatinya untuk tak emosi.

Jam di tangan Bagas sudah menunjuk pukul dua siang. “Mas Jon, Kang Jumadi, kalau mau memboikot film, boleh saja, memangnya sudah nonton filmnya di bioskop? Lha wong filmnya saja masih akan di putar dua bulan lagi. Nonton dulu, baru protes. Kalau filmnya memang jelek, baru pantas protes. Sudah, saya mau ke mushola dulu. Mau Ashar.” Jelas Bagas panjang lebar. Dia malas menggubris lelaki itu dan melenggang santai menuju Mushola dekat warung. Mereka tak tahu bahwa anak seni rupa mengekspresikan protesnya dengan cara berkarya, melukis misalnya.

Tiga lelaki itu saling pandang. Wajah mereka merah padam bercampur malu. Seketika mereka sadar, bahwa mereka terlalu banyak bicara. Bertolak belakang dengan kampung ini yang pendiam. Bu Lasinah menahan senyum.

Tiba-tiba Kang Jumadi tahu alasan mengapa kampung ini menjadi lebih sehat dan jarang sekali orang membeli jamunya. Dia langsung mengusap wajah dengan dua telapak tangannya. Mulutnya mengguman tak jelas, tapi kemudian kepalanya mengangguk-angguk. Sesaat kemudian kepalanya berdenyut parah, dia langsung mencari-cari obat sakit kepala.

Penulis : Aulia Manaf

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU