Proses hukum kasus pelecehan seksual yang dialami Tahanan Perempuan di DIT TAHTI POLDA SULSEL yang dilakukan oleh Briptu S, jalan di tempat. Agenda Sidang etik profesi terhadap Briptu S belum ditentukan.
Berdasarkan SP2HP2 Nomor: B/PAM-406/IX/2023/Bid Propam, yang diterima oleh Tim Penasehat Hukum Korban pada September 2023, menjelaskan bahwa sesuai hasil penyelidikan oleh Bid.Propam Polda Sulsel ditemukan adanya Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri Briptu S. Meski demikian tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait kapan pelaksanaan sidang etik dilakukan.
Selanjutnya, pada SP2HP2 kedua dengan Nomor: B/500/X/HUK.12/2023/ Bid Propam, pada Oktober 2023, dijelaskan saat ini laporan terhadap Briptu S masih dalam proses pemberkasan.
Tidak jauh berbeda dengan Laporan di Propam Polda, laporan pidana terhadap Briptu S yang ditangani oleh DITRESKRIMUM POLDA SULSEL juga belum menemui keadilan. 15 orang Saksi telah diperiksa termasuk Terlapor. Namun, hingga hari ini belum ada yang ditetapkan sebagai Tersangka. Sehingga, pembatasan gerak pelaku untuk mencegah keberulangan kekerasan terhadap korban tidak dapat dilakukan.
Jika mengacu pada Perkapolri Nomor No.7 Tahun 2022 dan UU No. 12 Tahun 2022, perbuatan pelaku merupakan tindak pidana pelecehan seksual fisik masuk dalam kategori pelanggaran etika kepolisian, dengan ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun.
Lambatnya proses hukum di Polda Sulsel karena adanya benturan kepentingan, hal ini berangkat dari fakta, pelaku merupakan anggota polisi aktif Polda Sulsel, sementara yang melakukan penyelidikan adalah penyidik Polda Sulsel.
Mirayati Amin, selaku Tim Penasehat Hukum korban menjelaskan bahwa lambatnya proses hukum disebabkan oleh adanya conflict of interest di Internal Polda Sulsel, yang menjadi bagian dari pola berulang penanganan kasus yang berujung pada ketidakjelasan.
“Pola seperti ini kami temukan pada kasus kematian kakek Nuru Saali dan penembakan Sugianto, kedua contoh kasus tersebut merupakan kasus kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian. Perlambatan proses hukum ini kemudian berdampak pada tidak tercapainya akses keadilan bagi korban.”
Untuk itu LBH Makassar mendesak Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia; Komisi Kepolisian Nasional; Komnas HAM RI; Komnas Perempuan RI, agar:
- Membentuk Tim Khusus dari Mabes Polri untuk mengambil alih dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara dimaksud;
- Melakukan evaluasi terhadap kinerja Kepolisian Polda Sulsel dalam memberikan keamanan bagi setiap tahanan, khususnya tahanan Perempuan. Serta membuka hasil evaluasi kepada publik;
- Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kasus yang melibatkan Kepolisian di bawah Polda Sulsel sebagai pelaku;
- Bersama-sama melakukan pengawalan terhadap proses hukum dan upaya lainnya untuk akses keadilan bagi korban.
(*)