Pagi ini cuaca sedikit mendung, beberapa bagian langit di atas sana hitam menggelayuti atas kepala, yang biasanya langit biru cemerlang, apalagi jika matahari baru mengerdipkan matanya menyingkap tabir subuh seusai melalui malam. Agak terburu Nanda melangkah meninggalkan sarapan nasi goreng buatan emak pagi ini.
Ia takut kalah cepat dengan hujan yang akan tumpah. Emak hanya menggelengkan kepala dan tersenyum, senyum kekhawatiran menyaksikan di atas meja makan, nasi goreng belum disentuh sedikit pun.
Ketika ia hendak menyuruh Nanda menyantap sarapannya, anak itu telah tak ditemuinya. Kemudian emak bergegas ke pekarangan dan tak jua ada seorang Nanda di sana.
”Ah, anak itu sarapannya pun tak ia sentuh. Malas nian dia makan,” gerutu emak kecewa.
Angkot yang ditumpangi Nanda penuh berjubel anak sekolahan. Di dalam angkot yang sesak Nanda hanya diam, menjadi pendengar setia obrolan di dalam angkot. Di bagian pojok tempat duduk angkot, di antara anak sekolahan yang menjubeli angkot dua orang bapak-bapak berbincang asyik. Pembicaraan mereka tentang Korna. Entah apa itu Korna. Seorang bapak yang berbadan kurus, lagaknya orang pintar, nampak benci sekali pada si Korna.
”Ini semua akibat Korna! Lihat, semua jadi sangat kacau!”
Tak kalah bapak berkepala plontos menanggapi,”Iya! Kali ini lebih parah saja akibat yang kita rasakan! Nampaknya Korna sudah benar-benar jadi ancaman serius!”
”Jelas! Ini semua gara-gara Korna!”
Cuma itu saja pembicaraan di dalam angkot yang sempat tertangkap sayup-sayup oleh Nanda. Tanpa terasa, ia sudah sampai ke tujuan. Sepatu Nanda menjejak aspal serentak hujan berderai.
Nanda berlari kecil berlindung di sebuah gedung megah. Dari arah depan gedung tersebut berjajar anak tangga seakan melambangkan betapa sulit jika ingin memasuki gedung tersebut.
Gedung megah, namun mengapa sepi di batin Nanda saat berteduh di dalamnya. Nanda mengamati lekat gedung tempat ia berteduh. ”Sungguh indah konstruksi bangunan ini, pasti dibangun dengan biaya yang luar biasa”, bergumam Nanda di dalam hati. Diperhatikannya tangga satu persatu berundak-undak hingga ke teras. Di atas ada ruangan
besar setelah teras yang posisinya beberapa meter menjulang tak menyentuh tanah. Di halaman depan terpampang plang bertuliskan GEDUNG DPRD. Nanda merasa kesepian di gedung tempat ia berteduh, untung tak lama kemudian hujan mereda.
Kemudian, setengah berlari ia menyeberang jalan meninggalkan gedung megah itu menuju suatu lokasi lain yang berjarak beberapa ratus meter. Lokasi yang dipenuhi kelompok gedung terpencar berdekatan jaraknya. Di depan gedung yang dituju Nanda sebuah tulisan besar terbaca jelas dari arah seberang jalan UNIVERSITAS KEBANGSAAN.
Di dalam gedung-gedung itu terlihat wajah-wajah ceria anak-anak muda yang bersemangat. Nanda membaur dalam kelompoknya. Mereka membicarakan topik-topik hangat dengan idialisme. Muncul dari salah satu gerombolan itu seorang gadis memanggil Nanda, ”Da! Ke sini sebentar”.
Nanda pun mendekati sang gadis setelah sebelumnya berbasa-basi dengan teman tempat ia ngobrol semula, ”Iya, Rin. Ada apa, sih?”
”Kamu sudah dengar kabar?”
Nanda jadi bingung dahinya mengerenyit, ”Belum. Apa, tuh?”
”Tentang Korna! Gak baca koran, ya? Ya ampun, Nda di zaman teknologi masih saja kurang update. Orang satu pasar dibuatnya kalang kabut”, semangat sekali Rina bercerita tentang Korna.
”Lalu?”
”Kios gelaran seni kita pun hangus jadi sasaran!” ”Lalu?”
”Kamu seperti orang begok saja! Ini sudah parah! Kamu tenang-tenang saja. Kamu gak bisa rasakan apa orang-orang itu pasti sangat kebingungan dan marah! Ini semua akibat Korna!”
”Jadi bagaimana? Kamu juga ingin aku ikut menyalahkan Korna seperti yang lain. Apakah itu membuat semuanya jadi lebih baik? Aku gak kenal siapa itu Korna, Rin. Atau bagaimana?”
Rina semakin memburu tidak puas dengan tanggapan Nanda yang seolah meremehkan permasalahan, ”Kamu gak punya perasaan. Mungkin kalau aku atau kelurgamu juga terkena musibah akibat keparat itu, kamu juga tidak akan perduli! Kamu sama jahatnya!”
Setelah mencapai puncak berangnya, Rina membalik badan merajuk, dan meninggalkan Nanda dengan wajah cemberut. Nanda terbengong, tak menyangka Rina semarah itu. Padahal bagi Nanda pembicaraan tadi hanya sebuah tanda tanya yang belum ada kepastiannya.
Seusai perkuliahan Nanda menunggu Rina. Ia merasa bersalah telah membuat Rina merajuk seperti anak kecil. Di sebuah ruang tepat Rina mendengar kuliah dosennya Nanda sabar menungu hingga Rina ke luar. Namun, sia-sia Rina nampaknya benar-benar marah.
Ia tak menanggapi kehadiran Nanda. Tak acuh Rina melenggang di hadapan Nanda tanpa memalingkan wajah sedikit pun ke arah Nanda, padahal Nanda yakin Rina tahu ia menunggunya. Sepanjang perjalanan peristiwa merajuknya Rina memenuhi ruang pikir Nanda.