Semua bercampur baur dengan segala peristiwa kekacauan yang terjadi akhir-akhir ini yang membuat semua orang seperti kebakaran jenggot, semua menyalakan api kebencian. Rina memang gadis yang saat ini dekat dengan Nanda.
Ada apa orag-orang ini? Mengapa mereka sedemikian bencinya dengan Korna? Sepertinya segala kesialan adalah dosa Korna, tanggung jawab Korna, harga-harga anjlok Korna disalahkan, orang mati Korna disalahkan, orang kelaparan Korna disalahkan, orang demam Korna jadi kambing hitam, bahkan anak pejabat tidak jadi menikah Korna juga disalahkan.
Apa-apaan ini? Apa sebenarnya di balik Korna ini? Mereka mencari hiburan dengan mempersalahkan Korna. Padahal belum tentu semua itu akibat Korna. Salatkah, beribadah kah mereka? Sehingga sedemikian takutnya? Terbacakah di balik yang tak nampak? Nanda membatin panjang.
Angkot yang ditumpangi Nanda dihentikan seorang penumpang. Entah mengapa Nanda jadi ingin ikut turun. Ia tidak ingin segera pulang ke rumah. Langkahnya tak tentu arah. Ia tidak memperhatikan di jalan apa ia kini dan di mana ia turun tadi. Ia hanya ingin berjalan sekedar melepas segala beban yang membuatnya gundah.
Tanpa sengaja tertangkap pengamatannya suasana sepi, toko-toko pinggir jalan banyak yang tutup. ”Jangan-jangan gara-gara Korna”, Nanda membatin sambil pandangan kosongnya memperhatikan sekelilingnya.
Mengapa tiba-tiba kekosongan terisi oleh rasa menarik untuk diamati. Di pinggiran jalan terlihat secara mencolok orang-orang berbaju kumal, entah pengemis atau orang gila atau orang stres saja, kali ini rasanya jumlahnya lebih banyak dari hari-hari sebelumnya.
”Jangan-jangan gara-gara Korna juga. Ah, kalau begitu benar-benar parah. Berarti terkutuk sekali si Korna itu. Sedemikian parahkah dampak Korna?” kembali Nanda bergumam dalam hati.
Belum habis juga satu fenomena kehadiran orang-orang berbaju kumal tertangkap kembali di mata Nanda salah satu di antara mereka. Seorang gila mengoceh, memaki-maki, entah siapa yang dimakinya. Nanda menyingkir, menjauh dari orang gila yang memaki-maki tersebut, ada rasa takut yang menyerang tiba-tiba, sampai-sampai merinding bulu kuduk Nanda.
Matahari panas menyengat karena tak tahan Nanda berteduh di bawah pohon di taman kota. Sialnya tak jauh dari tempatnya mendudukkan pantatnya, seorang berewokan tertidur pulas, sosok hitam-tinggi-besar, tertidur berbantal lengan. Suara ngorok sesekali terdengar begitu keras dari mulut yang pulas.
Namun Nanda benar-benar kecapaian, meski ada sedikit rasa takut namun harus diredamnya. Angin sepoy-sepoy sejuklah yang lebih kuat merayu mata Nanda. Pepohonan rindang memberi kenyamanan menambah rasa kantuk yang sedari tadi merayu.
Baru saja mata hendak tertutup, suara menguap yang begitu keras terrasa berisik mengganggu telinga Nanda yang sudah seiya dengan mata sayu, memaksa mata Nanda kembali terbelalak mencari sumber suara apa tadi. Namun, suara itu tak diketahui datangnya.
Secara mengejutkan suara itu datang lagi dan mata Nanda menangkap dari bibir dower orang seram yang tadi tertidur pulas. Setelah mengelurkan suara seram, sepasang mata belok pemilik suara tersingkap tetiba membentur bola mata Nanda yang sayu karena kantuk.
Raut wajah yang mengerikan menyungging senyum yang sama sekali bukan pemandangan yang indah. Nanda membalas senyum itu. Merasa mendapat tanggapan pemilik sosok seram, entah untuk alasan apa tertawa memekak telinga, ”Ha..ha..ha..!”.
Nanda jadi tercekat kuldinya. Tenggorokan terasa kesat menelan ludah, dalam hati ia membatin,”jangan-jangan orang ini gila”. Orang itu terus memandangi Nanda. Nanda berusaha tak menimbulkan kesan apapun.
Tak diharapkan Nanda, orang tersebut malah beranjak menuju ke arah Nanda. Ketika orang itu semakin mendekat, dengan mempersetankan kantuknya, Nanda berniat meninggalkan tempat ini menjauh dari mahluk seram yang mencoba mendekatinya. Dengan gerakan-gerakan aneh sebagai alasan-alasan yang dicari cari perlahan nanda membalik tubuh siap melangkah lain arah. Belum lagi satu
langkah penuh ia tapakkan terdengar suara memanggil,”Dik!” Membuat langkah Nanda terhenti.
”Abang panggil saya?” Orang yang ditanya melotot mematung tanda jawaban. ”Ada apa, Bang?”
Sesosok seram diam sejenak, seolah menyelidik pikiran Nanda.
”Kamu takut sama saya? Tampang saya seram, ya? Atau kamu mengira saya orang gila?” Ditanya dengan sura bas yang begitu berat Nanda jadi ciut.
”Ah, tidak Bang. Anu, saya cuma….baru ingat… rasanya ada sesuatu yang tertinggal di rumah…jadi saya harus bergegas pulang kembali ke rumah.” Alasan mengada-ada Nanda hanya dibalas dengan senyum yang sama sekali tak indah.
”Saya lama di taman ini tanpa teman bicara. Mau kamu temani saya ngobrol-ngobrol?” Pertanyaan berisi tawaran yang tak terduga oleh Nanda. Dengan hati berat, kepala nanda dianggukkannya tanda jawaban pasrah tapi tak rela.
”Nama kamu siapa?” si wajah seram membuka pembicaran. ”Saya Nanda, Bang.”
”Saya Korna panjangnya Korna Rushan.” Mendengar nama tersebut jantung Nanda bertalu laksana pasukan dol –genderang perang dari Bengkulu–. ”jangan panggil aku abang, kupikir kurang akrab, kita jadi berbeda kasta, aku jadi lebih tua dan harus dihormati jadinya. Aku tidak begitu nikmat terlalu dihormati, ha..ha..ha…!”
Semakin gugup saja Nanda, namun tak ada dalil hanya sekenanya saja menjawab,”Tidak, Bang. Eh, Kor. E… Rus…..eh….Han…Eh… bagusnya aku panggil apa, ya? Maaf.”
“Korna panggil aku Korna saja”.
“Kamu mengikuti berita yang tengah hangat saat ini. Kamu yang sering diberitakan bukan?” Selidikku mencoba menelisik jauh tentang Korna.
”Tidak aku tidak pernah dengar berita. Berita-berita sekarang hanya membuat kepala pusing. Semua tentang kejahatan dan kejelekan, buat hati panas saja.”
”E…aku juga, Bang. Eh…Korna, sebenarnya kebetulan saja kubaca dari koran. Betulkah?”.
”Ah! Banyak hoax, Koran, televisi, internet beritanya tidak membuat aku tentram. Apalagi demam pencitraan pejabat anu, pejabat itu macam kita bodoh tak tahu mana pepesan kosong dengan padi bernas. Media masa, media sosial cuma jadi tempat orang-orang jual tampang! Cari muka! Promosi! Puih, tontonan-bacaan macam apa itu. Alih-alih mencerdaskan malah membodohkan”.
Nanda jadi semakin grogi tapi ada saja dalil Nanda menutupinya, ”Iya…ya…ya …sekarang ini semua orang sudah saling benci membenci nampaknya.”
”Ucapanmu benar-benar….. BENAR! Banyak orang yang benci, muak, jijik, dan dendam padaku. Mereka semua menyalahkanku atas segala kejadian. Seolah setiap peristiwa buruk akulah provokatornya. Sampai-sampai keluargaku mengusirku.
”O…jadi kamu benar Korna yang terkenal itu?” Tanpa sadar Nanda meninggikan lagu kalimatnya merasa pertanyaanya sudah terjawab.
”Kamu kenal juga siapa aku dan tahu mengapa sebabnya aku dibenci?”
Nanda hanya diam dan selintas ia teringat akan Rina. Kemudian suara bas membuayarkan lintasan ingatan Nanda.
”Nanda, ketika aku lahir, orang pintar di desaku mengatakan aku ini anak sial, pembawa hawa petaka. Aku pertanda buruk bagi suatu negeri di mana pun aku berpijak. Pada awalnya orang-orang tidak percaya. Namun setelah tiga hari kelahiranku ibuku meninggal tanpa sebab yang jelas.
Tak hanya itu beruntun seminggu kemudian setelah peristiwa wafat ibu, desa kami mengalami gagal panen. Hama aneh menyerang sawah dan perkebunan. Semenjak dua peristiwa itu, mulai orang-orang curiga.
Mereka teringat pada ramalan orang pintar saat kelahiranku. Aneh makin curiga itu menguat semakin menjadi pula bencana datang beruntun saja. Orang semakin percaya kalau aku lah sang pembawa petaka. Lalu, aku diusir dari kampung tanah kelahiranku, dari kerabat keluargaku.”
Korna terus bercerita mengalir layaknya mata air pegunungan,”Lalu aku sampai di kota ini. Lambat laun cerita tentang diriku tersebar juga di kota ini, itu akibat cerita yang di bawa orang desaku yang mengetahui keberadaanku di sini. Aneh semakin kuat orang mempercayai kebenaran tentang aku sang pembawa sial seolah semakin kuat juga bencana silih berganti
bersusulan terjadi. Gempa kemarin akulah dituduh penyebabnya, kebakaran, melemahnya ekonomi, tingginya pengangguran, kelaparan, inflasi, dan banyak hal buruk lainnya semua dilemparkan kepadaku sebagai pembawa petaka. Aku dimaki, aku ditakuti, orang-orang benci dan muak padaku!”
Tak jauh dari tempat kami berbncang, sepasang mata mengintip di balik rerimbun taman. Mengendap, berjingkat perlahan sesosok bayang menuju ke arah kami tanpa kami sadari. Seketika sebatang balok kayu menghantam tubuh Korna, ”Buk!” terdengar keras.
Korna terhuyung. Si pemukul seperti kesurupan mengayunkan balok kayu berulangkali dengan sasaran sekujur tubuh Korna. Beberapa kali Korna berusaha mengelak. Pada hantaman yang kesekian kalinya Korna berhasil mengelak, balok tipis meleset dari sasaran tubuh Korna namun, malang balok kayu itu malah deras menuju ketubuh Nanda.
Tanpa dapat mengelak balok itu keras membentur tubuh Nanda ”Buk!” Nanda seketika terjatuh. Pandangan Nanda menjadi kabur kemudian semua menjadi gelap.
Ketika sadar Nanda telah berada di rumahnya. Seluruh badanya tersa sakit, Nanda dinasihati dokter untuk istirahat selama tiga hari. Saat sudah lebih merasa baik, Nanda kembali dapat kuliah. Ada perkembangan baru di kampus.
Anak-anak kampus demikian gencar berbincang tentang suatu hal yang hangat mengenai perubahan. Semua berteriak lantang mengingini tatanan baru sebuah pemerintahan. Nanda tak habis pikir begitu cepat loncatan peristiwa. Bagaimana dengan Korna? Dari kejauhan Rina tersenyum bersahabat menghampiri Nanda.