Setelah situasi itu, mereka mencari amplop merah untuk permainan berikutnya. Akuma masih bersedih dengan kepergian saudara kembarnya itu. Dia tidak peduli jika dirinya harus kehilangan nyawanya. Permainan konyol itu merenggut korban tanpa menjelaskan apa maksud di baliknya.
Mereka berjalan menuruni tangga, beberapa menit kemudian mereka menyadari Aliviyah tidak berjalan bersama mereka. Mereka kembali ke tempat sebelumnya tapi tidak menemukan Aliviyah di mana pun.
“Bagaimana ini? Dia ke mana?” Isabel menangis, teman barunya itu tidak ada di mana pun.
Wajah Leah memucat, “lihat ke bawah sana!” tangannya menunjuk ke jendela yang terbuka. Mereka langsung melihat ke bawah dan di bawah sana mayat Aliviyah terkapar tak bernyawa. Aliviyah bunuh diri, mungkin dia tidak sanggup dengan apa yang terjadi. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan tetapi mungkin saja mentalnya sangat terguncang.
“Teman-teman!” panggil Leah sambil memandang lorong gelap di depannya.
“Leah, ada apa, huh?” dengus Kaliya karena tidak melihat apa pun.
“Lari ke bawah sekarang!” perintah Aiden dengan lantang.
Mereka berlari menuju tangga lalu satu persatu menuruni anak tangga. Aiden paling depan, yang lain mengikutinya. Mereka sendiri tidak melihat apa pun.
“Kita lari untuk apa?” Pertanyaan Valdis mewakili pertanyaan teman-temannya.
Aiden tidak menanggapi, dia makin mempercepat langkahnya. Namun, langkahnya terhenti ketika sosok wanita rambut panjang dengan gaun putih yang kotor menghalangi mereka. Wanita itu memegang besi panjang, matanya tajam mengeluarkan darah.
“Apa yang kamu inginkan dari kami?” Aiden memberanikan diri bertanya tetapi tidak ada jawaban.
Wanita itu maju ingin menusuk besi itu pada mereka.
“Jangan sakiti teman-temanku!” Leah berlari ke arahnya lantas mendorong wanita itu hingga terjatuh. “Lari!” teriak Leah, mereka segera berlari menuruni tangga. Ketika Leah ingin menyusul, wanita itu menusuk besi ke punggung Leah sampai tembus ke depan.
Mereka tidak berhenti berlari hingga mendekati beberapa meter dari kelas. Wanita itu muncul di depan mereka seolah ia menggunakan teleportasi. Mereka langsung menghentikan
kaki mereka karena tersentak akan kemunculan wanita itu. Wanita itu melempar besi panjang itu dan mengenai tubuh Emily. Tristana memegang tubuh Emily yang hampir ambruk tetapi Akuma langsung menarik tangan Tristana yang memegang tubuh Emily.
“Kenapa? Teman ki-”
“Jangan!” bentak Akuma memotong ucapan Tristana. “Lari!” Mereka berlari ke arah kelas sedangkan Emily di bawa oleh wanita itu. Bahkan mereka tidak tahu, wanita itu manusia atau setan, bisa jadi yang lainnya.
Sesampainya mereka di depan kelas. Sosok wanita yang mengenakan seragam yang sama berdiri di depan papan tulis. Dia memegang buku hitam, rambutnya sebahu dan ia mengenakan kacamata.