“Aku menemukan buku itu!” teriak Emily dari lorong ke delapan. Mereka berlari menuju tempat Emily lalu mengambil buku harian itu dan melanjutkan pencarian buku selanjutnya.
***
Tim Isabel sudah menemukan buku kedua di ruang guru. Dengan cepat mereka menentukan pilihan untuk pergi ke ruang teater. Namun, di depan pintu ruang teater mereka bertemu dengan Tim Reno.
Mata-mata mereka saling bertemu dan sesekali melirik buku yang telah mereka dapatkan. Hanya tersisa satu buku harian, di mana penentu siapa yang kalah.
“Kami akan mencari ke dalam, kalian cari saja di tempat lain!” usir Dafa.
Tristana menyeringai. “Itu bukan ruang pribadimu, Tuan!”
Tanpa mereka sadari, Leah mendekati pintu ruang teater, dengan hati-hati ia membuka pintu itu. Betapa terkejutnya Leah ketika melihat buku harian itu ada di depannya.
“Leah ambil!” seru Aliviyah yang menyadari buku itu. Leah segera mengambilnya kemudian berlari ke arah timnya agar diberikan perlindungan.
“Kalau aku tidak bisa mendapati buku itu, berarti aku harus mengambilnya secara paksa!” Mata Reno menunjukkan aura bingas. “Rebut buku itu!” suruhnya kepada Timnya sendiri.
“Tunggu!” Isabel maju selangkah, ia memandang mereka semua dengan mata penuh ketakutan. “Amplop itu mengatakan buatlah tim tetapi dia tidak menentukan kita harus buat berapa tim.
Kenapa kita tidak buat satu tim saja? Kita tidak perlu bertengkar untuk memperebutkan buku harian itu. Kita harus bersatu, jangan mau dipecah belah oleh permainan ini.”
“Apa kamu pikir perkataanmu itu bisa menipu kami?” Claudia meremehkan penjelasan Isabel.
“Dia ada benarnya,” ujar Akuma mendekati Isabel. “Ini bukunya, aku akan bergabung dengan kalian.” Akuma menyerahkan satu buku yang dipegangnya.
“Tidak semudah itu!” teriak Reno, langkahnya bergerak cepat. Besi tumpul sepanjang pensil di ambilnya dari dalam saku celana. Ia ingin menusukkan besi tumpul itu pada Akuma tetapi dihalangi oleh Akuji.
Besi yang tertusuk di dada Akuji membuat Reno sangat terkejut hingga terjatuh. Begitu pun dengan yang lainnya, air mata Akuma langsung jatuh di pipinya.
“Akuji!” teriak Akuma memeluk tubuh Akuji yang lunglai. “Kenapa kamu lakukan ini? Harusnya aku!” lirihnya tidak terima.
“Sampai—kan pada ibu dan ayah … maaf—kan aku, tidak pernah me—nurut pada mereka.” Akuji menitipkan pesan pada saudara kembarnya lalu menghembuskan napas terakhir dengan darah segar yang terus mengalir.
“Aku tidak akan memaafkanmu Reno!” murka Akuma yang memandang Reno geram. Ketika Akuma ingin menyerangnya, Reno memuntahkan darah dan berteriak kesakitan sambil memegang dadanya. Dafa, Than dan Claudia juga mengalami hal yang sama.
“Apa yang terjadi? Bukankah permainan ketiga belum selesai?” tanya Tristana yang bingung.
“Aku bergabung bersama kalian.” Emily berbicara di samping Tristana.