Kementerian Perdagangan memastikan kebijakan domestic price obligation (DPO) tidak berlaku pada seluruh produk minyak sawit mentah (CPO) yang dipasok ke dalam negeri. Harga khusus hanya diterapkan pada bahan baku untuk minyak goreng domestik. Harga CPO.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan harga khusus sebesar Rp9.300 per kilogram CPO dan Rp10.300 per liter olein hanya berlaku untuk volume yang wajib dipasok eksportir untuk kebutuhan dalam negeri, yakni sebesar 20 persen volume ekspor.
‘”Sampai saat ini harga DPO hanya untuk 20 persen dari volume yang diekspor,” kata Wisnu ketika dimintai konfirmasi, Jumat (28/1/2022).
Jika merujuk data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), volume ekspor CPO dan turunannya mencapai 34,2 juta ton sepanjang 2021. Dengan demikian, lanjut Wisnu, pasokan CPO dengan harga Rp9.300 per kg setidaknya menjangkau sekitar 6,8 juta ton yang dipasok untuk kebutuhan domestik.
“Volume ini untuk minyak goreng cukup. Sementara itu, untuk kebutuhan industri, seperti bahan baku oleokimia dan biodiesel harga tetap normal [tidak terikat DPO],” kata Wisnu. Kementerian Perdagangan memperkirakan kebutuhan minyak goreng pada 2022 mencapai 5,7 juta kiloliter (kl).
Kebutuhan rumah tangga diperkirakan sebesar 3,9 juta kl yang terdiri atas 1,2 juta kl minyak goreng kemasan premium, 231.000 kl kemasan sederahana, dan 2,4 juta kl dalam bentuk curah.
Adapun kebutuhan industri diperkirakan mencapai 1,8 juta kl. Baca Juga : Minyak Goreng Murah Belum Tersebar Merata di Pasar Tradisional Pekanbaru Terpisah, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung berharap kebijakan DMO maupun DPO tidak berdampak pada harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani.
“Harga TBS petani wajib merujuk harga lelang dalam negeri dengan pembanding harga Rotterdam, bukan memakai harga DPO,” kata Gulat. Dia juga menyarankan agar pemerintah segera memperbaiki tata kelola minyak goreng, terutama dari sisi persebaran pabrik.
Menurutnya, kehadiran pabrik di dekat perkebunan sawit rakyat bisa menjadi solusi rumitnya rantai pasok komoditas pangan ini. “Akan lebih baik bagi pemerintah memfasilitasi UMKM petani untuk memproduksi minyak goreng dalam hal distribusi kewajiban yang 20 persen,” kaat Gulat.