Salah satu hewan paling beracun di dunia adalah katak kecil berwarna-warni yang disebut katak panah beracun, dalam keluarga Dendrobatidae, yang hidup di hutan hujan Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Satu individu katak, membawa racun yang cukup untuk membunuh 10 manusia dewasa.
Menariknya, katak ini tidak terlahir beracun, melainkan memperoleh racun-racun tersebut dari kumpulan bahan kimia beracun yang ada di dalam serangga dan artropoda lainnya, makanan mereka.
Hewan beracun menjadi sebuah ancaman tersendiri bagi hewan lainnya. Racun dari hewan tersebut dapat memberikan dampak yang berbeda: ada yang hanya membuat lumpuh hingga mematikan korbannya dengan cepat.
Ini menjadi pembahasan menarik dan menimbulkan pertanyaan, apakah hewan beracun menerima dampak dari racunnya sendiri?
Dilansir dari Ted Ed, Rebecca D Tarvin, seorang ahli biologi dari Texas University mencoba memberikan jawabannya.
Menurut dia, ada satu dari dua strategi dasar yang digunakan hewan untuk bertahan dari racunnya sendiri: menyimpan senyawa tersebut dengan aman atau mengembangkan resistansi terhadap racun tersebut.
“Kumbang pengebom menggunakan cara pertama. Mereka menyimpan senyawa untuk racunnya dalam dua tempat yang terpisah,” katanya.
Dia melanjutkan, ketika mereka (kumbang) terancam, katup antara dua tempat tersebut terbuka dan zat kimia tercampur dan menghasilkan reaksi kimia yang keras sehingga semprotan korosif bisa ditembakkan keluar dari kelenjar, melewati ruang keras yang melindungi jaringan internal kumbang.
Cara yang sama juga dimiliki oleh ubur-ubur yang menyimpan racunnya secara aman di tempat yang menyerupai harpun yang disebut nematocyst.
Hal serupa terjadi juga pada ular yang menyimpan racunnya pada tempat yang hanya memiliki satu pintu keluar, yakni taring.
Namun yang menjadi pembedanya adalah, ular juga mampu melakukan cara kedua, yaitu menciptakan biokimia yang resistan terhadap bisanya. Rebecca mencontohkan ular derik sebagai salah satu ular yang mampu memroduksi protein khusus yang mengikat dan menonaktifkan komponen racun dalam darah.
Selain itu, katak panah juga mengembangkan imunitas terhadap racunnya sendiri, namun melalui mekanisme yang berbeda dari ular.
Katak panah bertahan diri menggunakan ratusan senyawa pahit bernama alkaloid yang diperoleh dari mangsa antropoda kecil seperti semut. Salah satu alkaloid paling kuat adalah epibatidine yang mana memiliki kadar racun yang sama seperti nikotin pada rokok, namun sepuluh kali kuat.
Lalu bagaimana katak tidak terkena dampak racunnya? Rebecca mengibaratkan target molukelar dari alkaloid sebagai gembok, dan racun alkaloid sebagai kuncinya.
Ketika racun masuk pada target molukelar alkaloid, maka dapat memicu sinyal kimia dan listrik yang dapat menyebabkan kematian. Namun, katak dapat mengubah bentuk dari target molukelar tersebut sehingga tidak memicu senyawa kimia yang dapat menimbulkan kematian pada katak panah.
Intinya, katak panah adalah hewan dengan pertahanan neurotoxic dimana racunnya dapat menyerang langsung pada saraf targetnya. Untuk dapat bertahan dari racunnya ini, katak panah hanya perlu melakukan beberapa perubahan genetik dengan mengubah struktur pengikat alkaloid untuk menjaga efek buruk dari neurotoxic.