Meratapi Kematian Keluarga. Dikutip dari buku Shalat Jenazah karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin, Rasulullah SAW bersabda,
الميت يعذب في قبره بما نيح عليه
“Mayit akan disiksa di dalam kubur karena ratapan yang ditujukan kepadanya.” (HR Bukhari dan Muslim). Jika sebelum meninggal dia berwasiat agar tidak diratapi, maka dia tidak akan disiksa, wallaahu a’lam. (Ahkam al-Jana-iz).
Siksaan terhadap mayit juga dapat disebabkan sebagian perkataan keluarganya. Rasulullah SAW bersabda,
ما مِنْ مَيِّتٍ يموتُ فيقومُ باكِيهم فيقولُ : واجبلاه واسيِّداهُ ، أوْ نحوَ ذلِكَ إلَّا وُكِّلَ بِهِ ملَكانِ يلْهَزانِهِ أهكَذا كنتَ ؟
“Tidaklah seseorang meninggal, lalu orang yang menangisinya berdiri dan berkata: ‘Oh pemimpinku, oh tuanku,’ atau kata-kata yang serupa dengannya, melainkan Allah akan mengutus kepadanya dua Malaikat yang akan memukulnya. (Malaikat itu berkata:) Seperti inikah kamu dahulu?”
Di samping itu, dibolehkan menangisi mayit asal jangan meraung-raung. Sebab Rasulullah SAW juga menangis ketika wafat putra beliau yang bernama Ibrahim, namun beliau tidak meratap atau meraung.
Haram hukumnya meraung dan meratap atas kematian seseorang. Termasuk meraung: menyebut-nyebut jasa-jasa si mayit, seperti mengatakan, “Oii fulan yang dermawan… Oii fulan yang baik hati”.
An-Niyahah (ratapan) adalah tangisan dan rengekan seperti suara rengekan burung merpati. Perbuatan tersebut dilarang sebab hal itu menunjukkan penentangan (rasa tidak puas) terhadap takdir.
Demikian pula haram hukumnya merobek-robek baju, menampar-nampar wajah, dan mengurai rambut atau perbuatan lainnya (yang menunjukkan rasa kesedihan yang mendalam). Berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
“ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ ”.
“Bukan dari golangan kami orang yang menampar-nampar wajah, merobek-robek pakaian, dan menyeru dengan slogan jahiliyah”. (Muttafaqun ‘alaihi).
Itulah alasannya kenapa Muslim dilarang Meratapi Kematian Keluarga.