Aktivitas manusia menjadi pemicu dasar perubahan iklim. Para ilmuwan sepakat bahwa sebagian besar kerusakan lingkungan, seperti hutan gundul, kekeringan, air laut naik dan gunung es mencair, memicu pemanasan global yang merupakan akibat ulah manusia.
Perubahan iklim (climate change) atau global warming di era sekarang menjadi dua kata yang sangat penting dan sangat banyak dibicarakan oleh dunia. Mulai dari para elit, para intelektual, para ilmuwan, para agamawan/rohaniawan bahkan orang-orang biasa yang harus berjuang bertahan hidup sehari-sehari dalam segala kesulitannya.
Menurut Kepala BMKG Stasiun Klimatologi Maros, Hartanto, ada beberapa bentuk pencemaran yang dilakukan dan dialami orang setiap hari. Salah satunya adalah bahan bakar fosil, ada juga polusi yang mempengaruhi semua orang dan semua makhluk hidup yang disebabkan oleh transportasi, asap industri, zat yang memberikan kontribusi pada pengasaman tanah dan air, pupuk, insektisida, fungisida, herbisida dan agrotoxins pada umumnya.
“Tetapi secara keseluruhan, bahan bakar fosil adalah salah satu penyumbang terbesar kerusakan lingkungan hidup,” ujar Hartanto saat ditemui FAJAR PENDIDIKAN, Kamis, 16 Januari 2020.
Bahan bakar fosil itu seperti apa? Hartanto menerangkan, bahan bakar fosil adalah sumber daya alam yang mengandung hidrokarbon, seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam.
Selain itu, kata Hartanto, penggundulan hutan. Perubahan iklim, sebagian besar juga disebabkan oleh penebangan hutan yang dampaknya membahayakan kehidupan hewan-hewan, yang akhirnya mengganggu keseimbangan alam.
“Contoh rusaknya keseimbangan alam adalah terjadinya hama ulat atau belalang. Ini dikarenakan tidak adanya burung-burung di udara karena sudah habis ditembak mati oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab hanya karena hobi yang tidak bermoral. Ini hanya salah satu contoh saja rusaknya keseimbangan alam yang juga menyebabkan kerusakan lingkungan hidup,” tambahnya.
Hartanto menjelaskan, hutan yang berfungsi sebagai paru-paru dunia, berfungsi bagi pernapasan manusia dan sebagainya. Saat hutan ditebang untuk dijadikan lahan-lahan industri baru, contohnya seperti pertanian dan peternakan, bahkan pabrik-pabrik penghasil karbondioksida yang menyebabkan polusi udara, maka fungsinya pun akan rusak. Ini tentu membahayakan bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri, serta juga makhluk hidup lainnya yang juga berfungsi sebagai penyeimbang alam.
“Penebangan hutan secara masif menjadi masalah besar, terutama di negara-negara berkembang yang sedang mengejar pertumbuhan ekonomi seperti Indonesia. Pertumbuhan ekonomi dijadikan patokan sebagai keberhasilan suatu negara. Padahal tidak juga, karena pertumbuhan ekonomi yang pesat juga bisa menimbulkan masalah-masalah baru seperti konsumerisme yang tinggi, yang adalah perwujudan dari keserakahan, menjadi budaya tidak hemat/budaya pemborosan/waste culture yang akhirnya juga berpengaruh pada perusakan terhadap lingkungan hidup,” jelasnya.
Untuk itu, kata Hartanto, pimpinan negara, pengambil kebijakan harus mempunyai peran besar dalam fenomena perubahan iklim tersebut yang mempunyai peraturan yang berkaitan untuk tidak merusak alam.
“Kalau dibiarkan begitu saja tanpa adanya aturan, itu takkan berjalan. Kepala-kepala daerah maupun pengambil kebijakan harus peduli dengan perubahan iklim,” ujar Hartanto.
Dengan adanya hal tersebut, bisa mengubah perilaku manusia dan melindungi lingkungan. Manusia, menurut Hartanto, cenderung harus diatur. “Memang harus dipaksa dengan aturan. Itu harus ada dukungan dari pemerintah, selain mengubah perilaku manusia itu sendiri,” pungkasnya.
Baca selengkapnya di versi cetak FAJAR PENDIDIKAN edisi 331 (Akhir Januari).
Penulis: Ahadri
Editor: Sriyanto