Kesetaraan

Aku tinggal di sebuah desa di mana anak lelaki lebih hina dari anak perempuan. Anak perempuan bisa melakukan apa pun, sedangkan anak laki-laki harus bekerja untuk menghidupi perempuan.

Semenjak kepala desa mencetuskan perempuan harus dimuliakan, surga di bawah telapak kaki ibu-perempuan, semua orang menghormati perempuan.

Mereka tidak sadar, ada perbedaan mencolok antargender. Bukan dari tonjolan di leher atau gunung di dada, tapi di derajat.

- Iklan -

Di desa ini, hanya perempuan yang boleh mengeyam pendidikan. Mereka bisa menjadi apa pun, sementara laki-laki harus menjadi petani atau peternak.

Baca Juga:  Mengenal Rainbow Eucalyptus (Eucalyptus deglupta)

Jika nekat melewati batas, anak laki-laki akan dikucilkan, tak jarang menjadi target ritual menyakitkan yang bisa membuat jera ingin sekolah.

Jika ingin berhasil, maka harus diam-diam ke kota. Setelah mendapatkan apa yang ingin didapatkan, jangan kembali dari sana.

- Iklan -

Aku adalah salah satu anak yang menyadari betapa tidak adilnya hidup para laki- laki di desa itu. Untunglah nasibku mujur hingga aku bisa bersekolah, menyandang status Sarjana Pertama pada bidang Keagamaan.

Baca Juga:  Keterbatasan Korban Tindak Pidana dalam Mengajukan Upaya Hukum

Anak-anak lain tak seberuntung diriku, mereka hanya berhasil pergi dari desa beberapa kilometer.

Aku bersembunyi dengan kotoran ayam memenuhi wajah, agar orang-orang yang merazia perbatasan segera melewatkan mobil pick-upberisi jerami dan kandang-kandang ayam impor tempatku bersembunyi.

- Iklan -

Sekarang aku kembali, dan bekerja sebagai guru mengaji.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU