Aku tinggal di sebuah desa di mana anak lelaki lebih hina dari anak perempuan. Anak perempuan bisa melakukan apa pun, sedangkan anak laki-laki harus bekerja untuk menghidupi perempuan.
Semenjak kepala desa mencetuskan perempuan harus dimuliakan, surga di bawah telapak kaki ibu-perempuan, semua orang menghormati perempuan.
Mereka tidak sadar, ada perbedaan mencolok antargender. Bukan dari tonjolan di leher atau gunung di dada, tapi di derajat.
Di desa ini, hanya perempuan yang boleh mengeyam pendidikan. Mereka bisa menjadi apa pun, sementara laki-laki harus menjadi petani atau peternak.
Jika nekat melewati batas, anak laki-laki akan dikucilkan, tak jarang menjadi target ritual menyakitkan yang bisa membuat jera ingin sekolah.
Jika ingin berhasil, maka harus diam-diam ke kota. Setelah mendapatkan apa yang ingin didapatkan, jangan kembali dari sana.
Aku adalah salah satu anak yang menyadari betapa tidak adilnya hidup para laki- laki di desa itu. Untunglah nasibku mujur hingga aku bisa bersekolah, menyandang status Sarjana Pertama pada bidang Keagamaan.
Anak-anak lain tak seberuntung diriku, mereka hanya berhasil pergi dari desa beberapa kilometer.
Aku bersembunyi dengan kotoran ayam memenuhi wajah, agar orang-orang yang merazia perbatasan segera melewatkan mobil pick-upberisi jerami dan kandang-kandang ayam impor tempatku bersembunyi.
Sekarang aku kembali, dan bekerja sebagai guru mengaji.