“Kak, Kakak kayaknya bukan orang sini, deh.”
Aku biasa dipanggil Kakakkarena memang aku menginginkannya. “Memangnya kenapa kalau Kakak orang sini?” Nyaris semua orang belum tahu kalau aku anak kelahiran desa sini. Yang mereka tahu, keluargaku pindah ke kota padahal hanya di desa sebelah di mana di sana peraturannya tidak segila di desaku.
“Anak laki-laki, kan, ‘nggak boleh belajar ngaji, harus kerja,” jawab seorang anak perempuan, yang diapit anak perempuan lain bertumbuh tambun dan satunya kurus.
Aku melirik anak laki-laki di sebelahku. Dia menatap sinis, tapi tak bisa apa-apa. “Kata siapa?” tanyaku. “Maksud kalian?” Aku pura-pura tak paham. Kemudian, anak- anak manis itu menceritakan apa saja yang harus seorang anak laki-laki hindari dari dia hidup sama dia mati.
Hal pertama yang harus dihindarinya: kepintaran. Anak laki-laki harus bodoh jika dia tidak ingin merasakan ritual menyakitkan.
“Hal kedua: boleh belajar ngaji, tapi tidak boleh di Al-Qur’an, hanya di Iqra’ seumur hidup.” Anak perempuan tambun menyambung. “Hal ketiga: hanya boleh tahu membaca, berhitung, pengurangan, dan pertambahan. Tidak boleh membaca buku pelajaran, atau buku dongeng.”
“Apa semuanya memiliki hukuman sama?” tanyaku. Tiga anak perempuan di depanku itu mengangguk. Aku berdecih. Anak laki-laki di sampingku membuang napas pasrah dan meluruhkan suaranya mengeja huruf-huruf Hijaiyah.
Setelah acara mengaji selesai, aku mengajak anak itu untuk berbincang. “Aku mau jadi dokter, biar bisa mengobati orang sini dan membuktikan anak laki-laki itu setara dengan anak perempuan.” Dia menatap langit. “Kenapa Allah meletakkanku di sini, sih?” runggutnya. “Keinginanku dibatasi!”
“Tahu ‘nggak?” Anak itu menoleh padaku. “Aku sebenarnya juga berasal dari sini,” bisikku.
“Hah?” Anak itu tidak percaya.
“Iya.” Aku menyakinkan dengan memberikan kartu identitas mahasiswaku yang masih tersimpan dalam dompet. “Lihat saja sendiri.” Aku menyodorkannya pada anak itu, melihat wajahnya berbinar dan mendekatkan diri.
“Paparkan caranya! Paparkan cara agar aku bisa mendapat pendidikan di luar desa ini, agar aku bisa jadi dokter,” pintanya. Aku melirik ke sana-sini, tidak ada siapa pun. Aku langsung memberitahu anak itu dengan cara membisiki pengalamanku ke telinganya.
Wajah anak itu berseri, aku senang melihatnya. Dia berdiri, lalu bersumpah. “Aku akan jadi dokter! Aku akan jadi anak kedua di desa ini yang menyelesaikan sarnaja satu!”
Aku terkekeh. “Sarjana.” “Ya, Sarjana Satu!”
Anak itu pun pergi dengan hati girang. Senang melihatnya tak murung lagi.
Sore harinya, saat aku ingin pulang ke kediaman di desa sebelah, aku dicegat sekumpulan orang yang tidak kukenal. Mereka membawa senjata tajam berupa celurit, membuatku turun dari sepeda dan menantang mereka.
Apa pun yang telah terjadi, orang-orang ini pasti orang-orang dari desaku. Mereka pasti sudah tahu kalau aku berhasil mendapatkan gelar diam-diam. Orang-orang akan murka dan mereka akan menjadikanku tumbal pada Ritual Menyakitkan.
Sebenarnya kita tidak mati, hanya dirasuki roh nenek moyang yang akan menyakiti dengan tubuh kita sendiri. Makanya Ritual Menyakitkan sangat ditakuti oleh anak laki-laki di desa ini.
Sepak-terjang demi sepak-terjang kulayangkan hingga semua orang-orang desa itu tak bisa bangun lagi dari berbaringnya. Aku langsung kabur, mengayuh sepeda secepat mungkin.
Aku segera berlindung kalau kondisi tidak merestuiku untuk terus pergi. Hingga akhirnya, aku lengah. Seseorang menahan hidungku dengan sapu tangan berbau menyengat.
Saat aku bangun, aku berada di sebuah tempat di mana api unggun menyala besar di depanku. Aku diikat ke sebuah pohon dengan tali tambang. Berusaha melepaskan diri, aku malah meringis kesakitan.
Petua-petua desa mulai melafalkan mantra-mantra dan pria-pria lain memukul gendangnya. Hal-hal yang mereka lakukan itu adalah cara untuk memanggil roh nenek moyang guna merasuki tubuh orang yang membangkang peraturan—seperti tubuhku ini.
Semua lelaki mengelilingiku dan langit sontak mendung. Entah mau hujan atau roh nenek moyang sudah datang, aku sial menghadapinya.
Paluan gendang berhenti, digantikan angin kencang pertanda badai. Petua-petua desa masih melafalkan mantra, membuat gerakan sejenis kucing yang ingin memuntahkan bola bulu dari dalam perutnya. Mereka mengarahkan tangan ke arahku dan bahasa mereka mulai tidak bisa dimengerti.
Hingga ritual itu berhenti karena seorang gadis menyiram api unggun dengan seember air. “Hentikan!” Dia anak kepala desa, Kaila.
Petua-petua desa menghampirinya dengan bungkuk. “Apa yang kaulakukan, Anak Suci?”
Kaila menatap tajam mereka. “Hentikan kegilaan ini!” Dia menghampiriku, melepaskan tali yang mengikat dengan kapak yang turut dibawanya bersama ember. “Anak laki-laki dan anak perempuan itu sama.
Mereka berhak mendapatkan haknya masing-masing!” ucap Kaila, berapi-api. Semua warga saling pandang. Kaila menoleh padaku, dan seketika sekelebat bayangan masa lalu menghiasi mata.
Saat itu aku tengah dikeroyok dan siap di antar ke rumah kepala desa karena ketahuan belajar, tidak bekerja. Kepala desa itu adalah kakek Kaila. Baru saja hendak memberikan hukuman, Kaila menghentikan karena katanya hukuman padaku itu tidak manusiawi.
Sang kakek mengangguk-angguk, baru sadar Ritual Menyakitkan terlalu sakit untuk anak berusia 8 tahun. Aku pun dibebaskan, hanya saja buku yang kubeli dibakar sampai hangus.
Aku berterima kasih kepada Kaila sebelum dia meminjamkan cuma-cuma sebuah buku dongeng yang akhirnya kubaca hanya di rumah. Kami menjadi teman main dan teman berbincang mengenai hal-hal hebat di dunia. Kami pun beranjak dewasa dan mulai memikirkan diskriminasi pada desa ini.
“Kamu memikirkan apa yang kupikirkan?” tanya Kaila saat itu. Umurku 12 tahun, mulai beranjak dewasa, dan itu ditandai dengan suaraku yang memberat. “Kurasa begitu.” Kami menatap sawah yang membentang sejauh mata memandang dan kendengkus bersamaan.
“Apa rencanamu untuk mengubah desa ini?” tanya Kaila, lagi.
“Entahlah.” Aku belum berencana untuk mengubah desa ini, karena aku yakin, meski diubah, desa ini tidak akan berbeda dari sebelumnya.
“Kalau aku berusaha membuat orang-orang menghentikan anggapan kalau hanya perempuan yang boleh ini-itu, sedangkan laki-laki tidak boleh,” sahut Kaila. “Dukung aku ya. Aku akan ubah desa ini jadi lebih baik suatu hari nanti.” Aku mengangguk.
Itu adalah masa lalu yang paling membekas di ingatan terlebih Kaila kembali sebagai pelopor kalau gender semua orang itu setara.
“Kita semua bisa jadi apa pun. Berprofesi tidak akan menghambat kemajuan desa ini.” Kaila kembali melontarkan pidatonya.
“Malah ekonomi desa akan naik dan kita akan menjadi berkecukupan. Untuk itulah, berhenti memercayai anggapan nenek moyang. Kita harus realistis, mengikuti perkembangan zaman.”
Orang-orang berbisik-bisik. Sebagian membenarkan kalah Kaila ada benarnya, sebagian menolak. “Ah, anak kota mah gitu!”
“Kota dan desa itu tidak ada bedanya,” sahut Kaila. “Kita semua setara, tidak ada yang lebih pintar, tidak ada yang lebih bodoh; tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih rendah. Pendidikan adalah sesuatu yang kita cari selama ini.” Orang-orang kembali berbisik.
“Anak laki-laki kami sudah besar. Bagaimana kami bisa menyekolahkannya? Bagaimana dia akan mengatasi masalah di sekolah dan di tempat kerja?” tanya seorang ibu-ibu.
“Dia tahu, hanya saja dibungkam oleh kita. Kita ubah pandangan kita akan anak laki-laki lebih rendah dari perempuan! Kita setara, ingat! Kita setara!”
“Kita setara!” Mulanya hanya sedikit yang menyahut, namun Kaila tetap menyuarakan kata-kata inspirasi buatannya itu.
“Kita setara!” “Kita setara!”
Kaila dan aku mengukir senyum, karena kami berdua sudah berhasil megubah oandnagan hidup desa seperti tujuan awal pada umumnya.
Kami semakin senang karena pada akhirnya, banyak anak-anak yang mendapat ilmu bermanfaat selain tetao bercockk-tanam. Mereka bahkan mencampur materi-materi yang mereka dapatkan dengan materi-materi keturunan.
Pada dasarnya, kita itu sama, tidak ada yang lebih rendah, maupun yang lebih tinggi. Yang memengaruhi persamaan ini adalah kata-kata dari nenek moyang. Meski demikian, pasti ada satu alasan mengapa, dan aku tidak ingin tahu apa.
***
Penulis : Nur Istiyanti