Keterbatasan Korban Tindak Pidana dalam Mengajukan Upaya Hukum

OPINI – Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pada Pasal 28D ayat 1. Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Namun, kenyataannya, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, terdapat ketidaksetaraan dalam hak mengajukan upaya hukum antara korban tindak pidana dan pelaku.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hanya terdakwa dan penuntut umum yang diperbolehkan mengajukan upaya hukum seperti banding dan kasasi, sesuai dengan Pasal 67 dan Pasal 245 KUHAP. Hal ini menyebabkan korban tindak pidana tidak memiliki akses langsung untuk menggugat putusan hakim, meskipun mereka sering merasa bahwa putusan tersebut terlalu ringan bagi terdakwa.

Baca Juga:  Musik Tradisional : Pengertian, Ciri Utama, Dan Tokoh-Tokohnya

Meskipun kepentingan hukum korban diwakili oleh penuntut umum, situasi ini menciptakan ketidakpuasan. Jika penuntut umum tidak mengajukan upaya hukum, korban harus menerima putusan yang dianggapnya tidak adil, tanpa adanya landasan hukum yang membolehkan mereka untuk bertindak secara mandiri.

Kekosongan hukum ini berpotensi dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana untuk melakukan praktik suap kepada penuntut umum atau hakim, dengan harapan agar putusan dapat disesuaikan dengan tuntutan, sehingga penuntut umum tidak mengajukan banding.

- Iklan -
Baca Juga:  Mengenal 8 Jenis Alat Musik Tradisional Provinsi Jambi

Oleh karena itu, diharapkan lembaga legislatif, dalam hal ini DPR RI, dapat merancang perubahan KUHAP yang memungkinkan korban tindak pidana untuk mengajukan upaya hukum secara langsung. Selain itu, praktisi hukum dan akademisi diharapkan dapat mengajukan uji materi terhadap Pasal 67 dan Pasal 245 KUHAP, yang dianggap inkonstitusional dibandingkan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU