FAJARPENDIDIKAN.co.id-Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim mengatakan, kebijakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) maksimal 50 persen untuk guru honorer bisa menjadi masalah baru. Ada kemungkinan pemerintah daerah lepas tangan terkait pendapatan guru honorer.
“Adanya 50 persen BOS untuk honorer ini akan membuat pemerintah daerah menganggap urusan honorer sudah ditangani oleh pemerintah pusat lewat dana BOS,” kata Ramli.
Sementara itu, lanjut dia, dalam penyampaian kebijakannya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjelaskan yang berhak mendapatkan dana BOS 50 persen tersebut hanyalah pemilik Nomor Unik Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Padahal, masih banyak guru yang tidak memiliki NUPTK.
Apabila kata Ramli guru non-PNS yang tidak memiliki NUPTK dan tidak terdaftar di data pokok pendidikan (dapodik) dikeluarkan, maka sekolah akan kekurangan guru. Hal ini tentunya menjadi persoalan baru.
Ramli memprediksi kemungkinan terjadi kepala sekolah mengakalinya tetap mempekerjakan guru-guru yang tidak memiliki NUPTK dengan mengatasnamakan guru-guru ber-NUPTK.
“Itu pun jika masih terbuka ruang untuk guru-guru NUPTK yang nantinya akan dihitungkan mengajar 40 jam padahal sesungguhnya mereka mengajar hanya mungkin 8 sampai 24 jam bahkan kurang dari itu,” kata Ramli.
Pemerintah mengubah kebijakan penyaluran dan penggunaan dana BOS. Salah satu langkahnya adalah meningkatkan persentase maksimal alokasi dana BOS untuk menggaji guru dan tenaga kependidikan honorer menjadi 50 persen, sementara pada tahun sebelumnya hanya 15 persen. (*)