Begitu pula karena berkat nikmat Allah-lah, kita masih terus sehat sehingga bisa beribadah dengan mudah dan kuat.
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُسْأَلُ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِى الْعَبْدَ مِنَ النَّعِيمِ أَنْ يُقَالَ لَهُ أَلَمْ نُصِحَّ لَكَ جِسْمَكَ وَنُرْوِيكَ مِنَ الْمَاءِ الْبَارِدِ
“Sungguh nikmat yang akan ditanyakan pada hamba pertama kali pada hari kiamat kelak adalah dengan pertanyaan: “Bukankah Kami telah memberikan kesehatan pada badanmu dan telah memberikan padamu air yang menyegarkan?” (HR. Tirmidzi, no. 3358. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada suri tauladan dan panutan kita, Nabi besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَكْثِرُوا عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ فَإِنَّ صَلاَةَ أُمَّتِى تُعْرَضُ عَلَىَّ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ ، فَمَنْ كَانَ أَكْثَرَهُمْ عَلَىَّ صَلاَةً كَانَ أَقْرَبَهُمْ مِنِّى مَنْزِلَةً
“Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena shalawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubro. Hadits ini hasan ligoirihi –yaitu hasan dilihat dari jalur lainnya-).
Jama’ah shalat Jum’at yang semoga dirahmati oleh Allah…
Di bulan besar dalam sebutan kita, yaitu bulan Dzulhijjah dalam kalender Hijriyah, kita lihat begitu banyak yang mengadakan hajatan terutama hajatan manten. Sampai kita pun bisa mendapatkan tiga atau empat undangan dalam satu hari.
Namun ketika tiba bulan Muharram atau bulan Suro, ada pantangan untuk melakukan berbagai hajatan. Anggapan utamanya karena meyakini bulan Suro sebagai bulan sial, bulan penuh petaka.
Jama’ah shalat Jum’at yang semoga dirahmati oleh Allah…
Kadang kita menyandarkan sial kepada sesuatu yang bukan jadi sebab. Asal menuduh saja atau asal mencari kambing hitam.
Padahal Allah-lah yang mengatur waktu, mengatur siang dan malam. Sebab sial berarti bukan dari waktu tersebut.
Dalam hadits qudsi disebutkan,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim, no. 6000)
Coba perhatikan dalam surat Yasin, Allah Ta’ala berfirman,
قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ (18)
قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (19)
“Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.” Utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas.” (QS. Yasin: 18-19)
Dalam ayat ini disebutkan mengenai thiyarah, istilah dalam bahasa kita adalah beranggapan sial. Kata para ulama, beranggapan sial di sini bisa jadi dengan orang.
Seperti ada yang berkata, “Wah gara-gara kamu datang nih, kami jadi sial.” Bisa jadi beranggapan sial dengan apa yang didengar, bisa pula dengan waktu (seperti dengan bulan Suro dan bulan Ruwah).
Ada juga yang beranggapan sial ketika lewat suatu tempat. Sehingga untuk membuang kesialan ketika lewat tempat angker, misalnya, maka ada yang menyalakan lampu kendaraan dengan sengaja atau membunyikan klakson ‘tiiin, tiiin’.
Dahulu orang Arab ketika ingin mengetahui nasib mereka baik ataukah tidak ketika akan melakukan perjalanan, maka mereka melepaskan burung.