Kinanti

“Sih iku dumunung ing telenging nala. Kinarya keplasing mega. Sanajan ilang nanging mesthi ana. Sinawung ing sajembaring mega biru” *L&H# (cinta itu ada di dalam jiwa. Seperti datangnya mega-mega. Walaupun hilang akan tetapi akan selalu ada. Berada di balik luasnya mega biru)

Bagas merasakan semakin jauh dengan Kinanti suaminya. Selain faktor waktu dan pekerjaan juga hubungan kekeluargaannya.

Terasa Kinanti begitu dingin bagi Bagas. Saat waktu pulang kantor tiba, Bagas tidak segera pulang, sekedar mengutak-utik desain baru

sebuah property, atau sekedar bermain ringan dengan teman-teman sekantor. Kalau tidak hanya duduk termenung minum kopi dan entah berapa kali menghabiskan puntung-puntung rokok. Baru beberapa waktu kebiasaan itu muncul. Entahlah.

“Mas, aku buatin kopi item kesukaanmu ya! Masa merokok tanpa kopi, sih? ” Bagas terkejut dari lamunannya.

” Iya, ya oke. Apa sudah selesai pekerjaanmu, San? ”

“Ah, jam segini lho, Mas. Jam berapa ini? Ya sudah ta, Mas Bagas, semua karyawan sudah pulang. Hanya tinggal kita berdua. Silahkan, Mas. Diminum!” Susan meletakkan gelas kopi di atas meja kerja Bagas. Sambil melirik menggoda penuh hasrat kewanitaannya

Susan akuntan di kantor Bagas. Perempuan yang cukup manis, luwes, dengan dandanan menggoda memakai rok sedengkul, dan berpenampilan ala wanita karier kekinian, mudah akrab dengan siapapun, bahkan agresif kepada lelaki yang dikenalnya.

Sebenarnya sudah lama ia memperhatikan Bagas, hampir tiga bulan sampai sekarang. Setiap kali Bagas lembur, Susan ikut lembur dengan mencari kesibukan lain agar bisa dekat dengan Bagas.

- Iklan -

Demikianlah Susan sudah memasang perangkap agar Bagas ada kesempatan dan tergoda, karena perempuan itu telah menaruh hati kepada Bagas.

“Ada apa, Mas Bagas. Saya perhatikan lama-lama kok kayak gak terurus begini! Pakaian kusut, masam, kok kayak gak ada yang ngurus! Memang kalo gak mau ngurus Mas Bagas, Susan mau lho. Aku suka sama Mas Bagas!” Rayuan Susan tiada henti hingga menggoyahkan iman Bagas.

Bagas termangu-mangu sambil memandang Susan dengan tatapan lalai. Bagas merasa selama ini Susan selalu hadir setiap saat, membuatkan kopi, membelikan rokok, atau sekedar bertegur sapa tanpa terkait dengan tupoksi pekerjaan.

Perempuan cantik, manis, enerjik dan selalu ada di setiap waktu. Inilah yang membuat Bagas betah di kantor.

Susan perempuan usia dua puluh lima tahun. Perempuan matang dalam arti kewanitaan dan daya tarik setiap lelaki normal.

” Iya. Iya San. Aku tahu aku juga suka. Suka dengan sikapmu, selalu memperhatikanku, bahkan hafal betul dengan kebiasaan dan kebutuhanku.

Setiap kali kepengin dekat dengan ketulusanmu. Aku sadar tergoda, aku juga suka kamu, aku cinta kamu, Susan!”

Susan tersenyum simpul sedikit gigi putih di balik bibir tipis merah merona menggoda hati, tergerai rambut hitam pekat sebahu.

Minyak wangi harum semerbak dengan pilihan tepat membuat Susan sosok wanita karier yang pintar menjaga penampilan.

Hingga waktu menjelang Magrib. Masjid besar di kota itu telah mengumandangkan Adzan Magrib. Akan

tetapi ruang kantor itu masih riuh oleh canda gurau Susan dan Bagas. Sesekali diam kemudian pecah suara tertawa.

Hari-hari selanjutnya Bagas dipenuhi rasa gembira layaknya seorang pemuda yang dirundung asmara. Asmara yang memabukkan. Cinta terlarang.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU