Kinanti

Sesampainya di rumah keadaan sudah larut malam. Kinanti geragapan ketika pintu depan dibuka. kinanti yang menunggu di sofa ruang tamu ketiduran. Dengan segera ia menuju pintu ruang tamu menemui suaminya, Bagas.

“Malam, Mas. Larut amat pulangnya, Mas? Biasanya kalau ada lemburan kabar- kabar”. Kinanti segera menyapa, sambil mengambilkan kopi yang sudah dingin di meja tamu. “Sudah, Dik. Tidak usah buatkan kopi. Tadi sudah minum kopi di kantor. Aku segera

mandi!” jawaba Bagas ketus.

Kemudian Bagas membuka kemejanya dan dilemparkannya di sandaran kursi. Segera diambil Kinanti ditempatkan semestinya. Akan tetapi urung, sesaat Kinanti membaui parmum menyengat di kemeja Bagas.

Padahal jelas itu bukan parfumnya. Sementara ia temukan juga noda merah seperti bekas bibir di samping dekat telinga kanan. Dilihat dengan seksama, tidak diragukan lagi itu noda liven perempuan.

Sejenak kinanti tertegun, kaget penuh tanda tanya. Sejurus kemudian naluri seorang istripun tergores memunculkan prasangka buruk kepada Bagas.

Hati dan perasaannya serasa perih, pedih. Ada tanda tanya besar, benarkah suamiku selingkuh? Bagas membulatkan tekad nanti kalau Mas Bagas sudah selesai mandi dan santai akan memberanikan diri untuk mengkonfirmasi keadaan itu.

“Mas, aku kepengin tanya”. Kinanti memulai pembicaraan, setelah Bagas suaminya duduk santai melihat-lihat siaran TV.

“Iya. Ada apa, Dhik? ”

- Iklan -

“Selama ini Mas Bagas kelihatan beda. Tidak seperti biasanya!” ” Beda bagaimana, ta? ”

Bagas menengok sebentar melihat wajah istrinya. ” Mas, serius aku! ”

Bagas kemudian mematikan TV. Remote kontrol dilempar ke jog kursi sebelah. “Iya. Ada apa, Dik lekaslah cerita!”

“Pertama. Mas Bagas setiap pulang selalu larut malam. Ada kesibukan apa di kantor?” “Tau gak sih! Pekerjaanku banyak. Harus segera selesai sesuai target!”

“Tetapi kok tidak seperti biasanya, ta Mas!”

“Aku kerja, Kinan! Cari rezeki buat keluarga. Aku kan juga tidak protes ketika kamu terlambat pulang, kan?!” Timpal suara Bagas berteriak, hampir membangunkan Tiara.

Sebenarnya Tiara tidak tidur, akan tetapi pura-pura saja. Ia juga menanti ayahnya pulang.

“Jangan bohong, Mas! Noda liven siapa, Mas di hem kamu ini, kenapa bau parfum wanita, Mas? Aku hafal parfummu, karena aku yang beli!” Pertanyaan Kinan, sambil menunjukkan hem bekas dipakai tadi.

“Parfum? Parpfum? Parfume Anton. Teman kantor. Tadi…tadi aku pakai punya dia!”

Hanya asal saja jawaban Bagas. Dia tidak bisa bersembunyi dari keterkejutan yang tiba-tiba. “Ini parfum wanita! Lalu bekas liven siapa ini, Mas? Kamu bohong! Kamu bohongi

aku, istrimu, Mas!”

Tidak terasa air mata Kinanti membasahi pipinya. Kelihatan pucat seperti menanggung sakit lama, sehingga semakin pucat. Namun kondisi Kinanti ini lepas dari perhatian siapapu, apa lagi Bagas yang akhir-akhir ini kurang memperhatikannya.

Apalagi kini dekat dan tergoda oleh perempuan akuntan di kantornya, Susan. Suasana sementara senyap, kaku, seperti persoalan semakin memuncak. Seperti mengikuti malam yang semakin larut.

“Tanyakan pada dirimu! Kenapa! Aku gak kerasan di rumah. Rumah tak ubahnya kubururan. Dingin. Apa gunanya keluarga. Kamu hanya mementingkan diri dan karirmu saja! Aku juga bisa kalau hanya seperti itu saja!”

Kinanti tidak bisa menjawab. Seketika badannya panas. Terduduk di kursi tamu

depan.

“Jangan pernah menghalangiku! Aku memang telah berhubungan dengan Susan

teman sekantor. Dia lebih memperhatikanku daripada istriku sendiri! Bisa membuatku senang. Hari-hariku gembira. Bisa mengerti segala kerepotanku. Dia suka aku. Kelak mau aku nikahi, bilamana kamu setuju. Tapi bila tidak aku akan pergi bersamanya!”

“Mas! Mas Bagas. Tega sekali kamu, Mas!” Saya tidak apa..apa…a, Mm..Ma..as!”, suara Kinanti berat badannya lunglai sebab menanggung perasaan yang begitu berat.

“Brugg…!”

Ambruk badan Kinanti, tanpa ditolong Bagas karena membelakanginya. Tiara menjerit lari dari Kamar. Anak seusia dia sudah menyaksikan repot dan ruwetnya keluarga. Lalu ia tubruk ibunya.

“Ibuu. Ibu kenapa, Bu! Bangun, Bu. Pak,…Bapak kenapa Ibu?!” Teriak Tiara.

Bagas kaget hanya diam sejenak. Tiara berbalik merangkul kaki Bapaknya, Bagas. Tersadar oelh itu, Bagas segera menggendong Kinanti dan menempatkannya di sofa ruang tamu itu. Tiara mengambil bantal. Kinanti tiada berdaya, terbaring lemas, pucat pasi.

Walaupun mata terpejam, air matanya terus mengalir tiada henti. Keringat bercucuran nafas terengah-engah putus-putus. Segera Bagas membawa Kinanti ke mobil untuk di bawa ke rumah sakit.

Tiara tiada berhenti menangis duduk di sebelah ibunya, ikut mengantar ke rumah sakit. Sampai di IGD. Paramedis sragam warna hijau dengan sigap menerima Kinanti dengan tempat tidur jalan. Segera di tangani di ruang darurat.

Oksigin dipasang dan observasi dokter. Infuse dipasang. Dokter ambil tindakan dengan suntikan ranitidine. Kinanti bisa tenang dan tertidur, walaupun tubuhnya masih lemas dan dingin.

Pagi hari wajah Kinanti sudah agak memerah reaksi obat dan infuse sudah berjalan. Matanya terbuka dan sesekali menyebut nama suaminya, Bagas dengan suara lirih.

Oksigen masih menempel di hidungnya. Kinan melihat Tiara anaknya tidur dipangkuan suaminya. Bagas duduk bersandar pada tempat tidur Kinanti.

“Mas, mungkin ajalku akan segera tiba. Sepertnya aku sudah merasakan itu”. Suara Kinanti masih lemas, matanya sayu seakan semangat hidup telah sirna.

“Jangan begitu, Dik! Kamu pasti akan segera sembuh!”

“Jangan kaget dan jangan bingung, Mas. Semua sudah kehendak Tuhan”. “Iya betul, Dik”.

“Maka sebelum bilang, Mas Bagas minta maaf dulu sebab aku belum bisa menempatkan sebagai istri yang baik, Mas. Betul-betul saya minta maaf”. Suara Kinanti begitu lirih terdengar.

“Iya, sudah gak jadi apa. Aku telah memaafkanmu, Kinan”.

“Aku kemarin hanya diam karena waktu belum tepat. Sebenarnya, tanpa sepengetahuan Mas Bagas aku telah beberapa kali konsultasi ke dokter spesialis. Tentang kondisi penyakitku, Mas. Ternyata aku mengalami sakit berat, Mas!”

Bagas kaget bukan kepalang, seperti mendengar guntur menggelegar dengan tiba-tiba. Pandangan matanya terasa gelap, mata berkunang-kunang keringat dingin keluar seperti air bercucuran.

Tangannya gemetaran memegang tangan Kinanti dengan kuat. Ia menangis sejadinya. Namun tiada mampu mengucapkan sedikit katapun. Intan hanya bisa merangkul ibunya dengan kuat sambil menangis sejadinya.

“Nan.. Kinan.. Kinanti. Benarkah kamu sakit keras. Kenapa tidak pernah ngomong sama aku?” Bagas kaged. Tidak terasa air mata Bagas menetes di telapak tangan Kinanti.

“Iya benar, Mas dr. Hadi Sadmoko, sudah memeriksa dengan data endoskopi bahwa aku terserang penyakit kanker prostad stadium 4 dan sudah menjalar ke seluruh tulang, Mas”.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU