Diriwayatkan, ada salah seorang fakir miskin dan keluarganya yang berpuasa di tanggal 10 Muharram. Dia tidak memiliki bekal makanan untuk berbuka puasa. Setelah berusaha mencari makanan di sekitar tempat tinggalnya, tetap saja dia tidak mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka puasa.
Kemudian dia memasuki pasar. Dan melihat saudagar muslim yang tengah menghamparkan tikar mewah berharga mahal di tokonya. Tikarnya dihiasi emas dan perak, membuat setiap pasang mata yang memandangnya, merasakan kemewahan yang menakjubkan.
Si fakir menghampiri sang saudagar. Bermaksud untuk memiinta pinjaman kepadanya. Setelah mengucapkan salam, “Dia lalu mengucapkan, “Wahai tuanku. Aku adalah seorang fakir. Aku harap engkau memberikan pinjaman satu dirham untuk aku belikan makanan berbuka puasa untuk keluargaku, dan aku doakan engkau di hari yang mulia ini “.
Permohonan si fakir tidak digubris oleh sang saudagar. Alih alih memberi pinjaman, sang saudagar justru memalingkan wajahnya dari wajah si fakir tetsebut.
Si fakir pulang dari pasar dengan hati yang sedih. Air matanya tak terbendung, menetes jatuh di pipinya. Di tengah jalan, dia bertemu dengan tetangga saudagar muslim tersebut yang beragama Yahudi. Melihat si fakir tampak susah, orang Yahudi yang berprofesi sebagai penukar mata uang tersebut mencoba menghibur dan membantunya.
“Aku lihat engkau berbicara dengan tetanggaku. Apa yang kalian bicarakan ? Tanya sang Yahudi. “Aku mencoba berhutang satu dirham kepadanya untuk bekal berpuasa keluargaku, namun dia menolakku. Aku sangat kecewa.
Aku katakan juga kepadanya, bahwa pada hari ini, aku bersedia mendoakannya”, jelas si fakir..Yahudi penasaran dengan maksud doa si fakir di hari yang menurutnya mulia itu. “Sebenarnya, ada apa dengan hari ini ? Tanya Yahudi penasaran. “Hari ini adalah, hari Asyura”, jawab si fakir. Dia juga menjelaskan kepada Yahudi, keutamaan keutamaan hari Asyura.
Setelah mendengar penjelasan si fakir, Yahudi memberikan 10 dirham, kepada si fakir. “Ambillah 10 dirham ini, dan belanjakanlah untuk keluargamu, untuk memuliakan hari Asyura ini”. Si fakir merasa senang. Berkat bantuan Yahudi, dia dapat membahagiakan keluarganya.
Mimpi yang Memilukan
Di malam harinya, saudagar muslim yang membuat kecewa si fakir, mendapatkan mimpi yang memilukan. Dalam.mimpi tersebut, dia melihat seakan hari kiamat telah tiba. Suasananya sangat mencekam, saat dimana semua orang merasakan dahaga yang sangat luar biasa.
Dalam.mimpibya tersebut, diinformasikan, sang saudagar muslim melihat istana yang megah dengan bangunan yang berbahan dasar intan putih. Pintunya terbuat dari yaqut merah. Dengan merasakan dahaga yang maksimal, si saudagar muslim mengangkat kepalanya dan mengatakan, “wahai penghuni istana ini, berilah satu teguk minuman kepadaku”.
Penghuni israna tersebut mengatakan, “istana ini, sedianya dipersiapkan untukmu. Namun, ketika kamu menolak seorang fakir, hingga hatinya kecewa, maka namamu diganti dengan nama tetanggamu Yahudi yang membantu si fakir dan telah memberinya 10 dirham.
Keesokan harinya, si saudagar muslim mendatangi Yahudi, tetangganya. Dia hendak membeli pahala 10 dirham. “Engkau adalah tetanggaku, bagiku terdapat hak atasmu. Aku membutuhkanmu”. Ujar saudagar muslim.kepada Yahudi.
Apa yang engkau butuhkan ? Tanya Yahudi. Aku bersedia membeli pahala bersedekah 10 dirham. Berikan kepada si fakir dengan harga100 dirham. Apakah engkau mau ? Tawar sang saudagar.
“Demi Allah, meski dibayar dengan seratus ribu dirham pun, aku tidak bersedia. Andai engkau menuntutku memasuki istana yang engkau lihat di mimpimu kemarin, sungguh aku tidak mempersilahkanmu memasukinya”, jawab Yahudi dengan tegas.
Saudagar muslim heran, bagaimana tetangganya itu, mengetahui isi mimpinya. “Siapa yang membuka rahasia mimpiku ini? Tanyanya dengan penasaran. “Dialah yang memberitahuku, dzat yang apabila menghendaki sesuatu.
Dia mengatakan, “Jadilah, maka seketika terwujud. Dan aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah. Tiada sekutu baginya, dan aku bersaksi, bahwa Muhammad adalah, hamba utusanNya”. Di hadapan saudagar muslim tersebut, Yahudi menyatakan keislamannya.
Setelah memaparkan kisah di atas, Syeikh Abu Bakr bin Syatha berpesan, “Saudaraku, orang ini, adalah seorang Yahudi, dia berprasangka baik terhadap hari Asyura, padahal dia tidak mengetahui keutamaannya.
Allah memberinya kenikmatan, memberinya anugerah besar dengan memeluk Islam. Lihatlah bagaimana nasib seorang muslim yang mengetahui keutamaan dan pahala Asyura, namun dia mengabaikan amal kebaikan di dalamnya”. (Kitab Ianah At – Thalibin Juz 2, hal 267 -268 ). (Ana)