Pada Piala Dunia 2022, salah satu pertandingan yang menarik perhatian adalah pertemuan antara tim Maroko dan Portugal di babak perempat final. Laga ini tidak hanya mengundang perhatian karena kekuatan kedua tim dan para penggemarnya, tetapi juga mengingatkan publik akan sejarah panjang antara kedua negara tersebut—sebuah kisah yang bermula pada abad ke-16, ketika Maroko dan Portugal terlibat dalam pertempuran besar yang dikenal dengan nama Perang Tiga Raja.
Latar Belakang Perang Tiga Raja
Perang Tiga Raja atau yang juga dikenal dengan nama Perang Wadi al-Makhazin (Pertempuran di Wadi al-Makhazin) terjadi pada tanggal 4 Agustus 1578, di wilayah Maroko utara, tepatnya di dekat kota Ksar El-Kebir. Perang ini merupakan konflik besar yang melibatkan pihak dari Maroko dan Portugal, yang diwarnai dengan intrik politik dan ambisi kekuasaan.
Di satu sisi, ada Abu Abdallah Muhammad II dari dinasti Saadi, yang berusaha merebut kembali tahtanya, sementara di sisi lain, ada Raja Sebastian dari Portugal yang mendukungnya dengan harapan bisa memperluas pengaruh Portugal di Afrika Utara.
Penyebab Perang
Pada tahun 1578, Maroko sedang dilanda ketegangan politik antara Abu Abdallah Muhammad Mu’tawakkil, yang merupakan sultan yang sah, dengan pamannya, Abdul Malik.
Abdul Malik, yang didukung oleh Kekaisaran Ottoman di bawah pimpinan Sultan Suleiman al-Qanuni, berhasil menggulingkan Abu Abdallah. Dalam kondisi terdesak, Abu Abdallah meminta bantuan kepada Raja Sebastian dari Portugal, dengan harapan dapat merebut kembali kekuasaannya yang hilang.
Raja Sebastian, yang memiliki ambisi untuk memperluas kekuasaannya serta mengurangi pengaruh Ottoman di wilayah Afrika Utara, menerima tawaran tersebut. Dengan latar belakang fanatisme agama Katolik dan tujuan untuk menghancurkan kekuatan Utsmaniyah, Sebastian melihat kesempatan ini sebagai bagian dari misi perang salib.
Maka, ia mengirimkan pasukan yang terdiri dari sukarelawan dari Spanyol, tentara bayaran dari Jerman dan Italia, serta beberapa tokoh Inggris, termasuk Thomas Stukley, yang berperan penting dalam pasukan tersebut.
Persiapan dan Perang
Sebastian mengirimkan pasukan besar yang terdiri dari sekitar 23.000 tentara (beberapa sumber Barat menyebutkan jumlah ini, meskipun sejarawan Muslim menyebutkan 125.000 tentara) bersama dengan 500 kapal perang yang berangkat dari Portugal pada Juni 1578 menuju Maroko.
Sementara itu, pasukan Maroko yang setia kepada Abdul Malik berjumlah sekitar 40.000 orang, yang terdiri dari 35.000 tentara Abdul Malik dan 5.000 pasukan tambahan dari Kekaisaran Ottoman.
Pasukan Portugis mendarat di Arzila, Maroko pada tanggal 24 Juni 1578 dan memulai persiapan untuk pertempuran yang menentukan di Wadi al-Makhazin. Saat itu, seruan jihad menggema di seluruh penjuru Maroko, mengajak seluruh umat Muslim untuk berjihad melawan kekuatan asing.
Abdul Malik, yang memimpin pasukan Maroko, berusaha menggalang dukungan dari seluruh rakyat Maroko, sementara Abu Abdallah Muhammad II mencoba untuk memecah belah kesatuan umat Islam dengan mengirimkan surat-surat yang meminta bantuan kepada Raja Christian, yakni Raja Sebastian.
Abu Abdallah menulis surat yang mengingatkan bahwa ia hanya meminta bantuan kepada orang-orang Kristen karena tidak lagi mendapatkan dukungan dari sesama Muslim. Surat itu berisi pesan yang mengutip fatwa-fatwa ulama yang membolehkan meminta bantuan kepada non-Muslim ketika sedang berperang mempertahankan haknya.
Pertempuran dan Kegagalan
Pada akhirnya, pertempuran besar ini terjadi di Wadi al-Makhazin, yang dikenal juga dengan nama Pertempuran Ksar al-Kebir. Dalam pertempuran tersebut, pasukan Portugal yang terdiri dari tentara Katolik dan sekutu-sekutunya bertempur habis-habisan melawan pasukan Maroko yang sebagian besar beragama Muslim, meskipun ada dukungan pasukan Ottoman.
Namun, meskipun pasukan Portugal semula memiliki kekuatan yang cukup besar, mereka akhirnya kalah telak. Raja Sebastian, yang memimpin pasukan Portugal, tewas dalam pertempuran tersebut.
Kematian Raja Sebastian menjadi titik balik dalam sejarah Portugal, karena tanpa pemimpin, pasukan Portugal terpecah belah dan kalah total. Selain itu, pasukan Maroko yang dipimpin oleh Abdul Malik, dengan dukungan dari pasukan Ottoman, berhasil mempertahankan kedudukannya dan mengalahkan invasi Portugal.
Dampak Perang Tiga Raja
Kekalahan besar di Wadi al-Makhazin memiliki dampak jangka panjang yang besar, tidak hanya bagi Portugal tetapi juga bagi Maroko dan wilayah Afrika Utara. Kematian Raja Sebastian menyebabkan krisis pewarisan di Portugal, yang kemudian mengarah pada periode krisis dinasti di kerajaan tersebut. Kejatuhan Sebastian juga menandai berakhirnya ambisi Portugal untuk memperluas kekuasaan di Afrika Utara.
Selain itu, perang ini memperkuat posisi Abdul Malik di Maroko dan mempertegas dominasi Kekaisaran Ottoman di kawasan tersebut, sekaligus menandakan berakhirnya upaya Portugal untuk mendominasi wilayah tersebut.
Perang Tiga Raja, atau Perang Wadi al-Makhazin, merupakan peristiwa bersejarah yang menggambarkan benturan antara ambisi kekuasaan, agama, dan politik antar kerajaan pada abad ke-16.
Kemenangan pasukan Maroko dan kekalahan fatal pasukan Portugal tidak hanya meruntuhkan ambisi Raja Sebastian, tetapi juga mengguncang posisi Portugal sebagai kekuatan utama di Afrika Utara.
Perang ini tetap menjadi salah satu pertempuran yang dikenang dalam sejarah Maroko, Portugal, dan juga dalam sejarah perang antara kekuatan Kristen dan Muslim pada abad pertengahan. (*)