Kelas Minggu Ceria (KMC)
FAJARPENDIDIKAN.co.id – Tismi Dipalaya harus menempuh ratusan kilometer jauhnya setiap dua kali sebulan menuju suatu desa. Ia dan belasan volunteer lainnya telah berkomitmen, berbagi inspirasi dan pengetahuan pada anak-anak di Dusun Tabbuakkang, Desa Kahayya, Kabupaten Bulukumba. Misi mereka sederhana, menurunkan angka buta huruf yang mencapai 70 persen dan angka putus sekolah usai Sekolah Dasar (SD) yang tinggi di desa ini dalam kurang waktu 5 tahun.
“Kami berharap dengan adanya KMC, bisa memotivasi adik-adik di desa untuk semangat belajar, punya cita-cita, dan memupuk rasa ingin tahunya,” ujarnya. Sejak Desember 2014, Tismi dan timnya mengelola taman baca yang diberi nama Kelas Minggu Ceria.
“Kami memang menyebutnya “kelas” tapi pelaksanaannya bukan di kelas seperti biasanya, tapi outdoor. Yang kami yakini bahwa “kelas” bukan menunjukkan ruangan (fisik), tapi ruang belajar dan ruang belajar yang kami maksud adalah alam, lingkungan sekitar,” kata Tismi.
Kelas ini hadir untuk berbagi keceriaan, mengubah pandangan bahwa belajar yang selama ini membosankan dan kaku menjadi fun. Konsep yang digunakan adalah belajar sambil bermain, atau bermain sambil belajar.
“Belajar sering di-setting menyeramkan dan membosankan, tidak mewadahi aktivitas berpikir siswa dan tidak kontekstual. Akhirnya motivasi belajar siswa kurang. Dan ini yang menjadi masalah krusial dan umum yang dihadapi anak Indonesia menurut saya, baik yang di desa maupun di kota besar.”
Kini, 3 tahun lebih KMC hadir, anak usia dua tahun di desa ini telah bersahabat dengan buku. Anak usai 6 SD dan SMP juga punya gambaran ingin melanjutkan sekolah. Bahkan, kata Tismi, beberapa anak ingin sekolah ke luar negeri. “Bagi kami, ini menunjukkan semangat mereka untuk sekolah,” katanya.
Tismi mengenang, ketika ia baru pertama menginjakkan kaki di Desa Kahayya. “Di awal, untuk menyebutkan cita-cita mereka masih kebingungan, bahkan ada yang bertanya ‘apa itu cita-cita’. Sekarang mereka bahkan jauh dari ekspektasi kami, mereka berani menyebutkan cita-cita yang beragam (bukan lagi seputaran guru, dokter, polisi) ada yang bercita-cita jadi astronot, ustadz, profesor, pemadam kebakaran, dan banyak lagi,” lanjut Tismi.
Taman baca yang hadir di lingkungan mereka bukan hanya tempat bermain tapi menjadi saksi anak-anak desa Kahayya tumbuh, merajut cita-cita. “Buku-buku ini pun punya peran penting. Seperti yang kita tahu, buku adalah jendela dunia. Jadi, adik-adik bisa tahu tentang perbintangan, tentang profesi astronot itu tanpa kami ajari tapi dari bacaan-bacaan mereka. Selain itu, kami juga mengapresiasi ibu-ibu yang bersedia mengajar baca tulis Al-Quran di taman baca. Jadi setiap hari, adik-adik punya alasan untuk ke taman baca,” terang Tismi.
Komitmen
“Hmm, yang membedakan mungkin, kami belum ke mana-mana, 3 tahun lebih kami masih di Desa Kahayya. Kami mencoba konsisten dengan konsep Kelas Minggu Ceria dan fokus ke satu tempat. Target awal maksimal 5 tahun baru kami beralih ke tempat lain,” jelas Tismi.
MCI memang punya fokus membangun satu tempat. Mereka tidak akan beranjak dari desa satu, sebelum semua yang mereka programkan berjalan dengan mandiri.
“Di KMC, bawahnya santai, baik itu dari konsep pembelajaran maupun teknisnya. Kami belajar the power of slow life,” ujar Tismi.
Kelas Minggu Ceria percaya, bila membangun suatu masa depan harus melalui pendidikan. Pendidikan adalah jalan untuk memanusiakan manusia.
Lingkungan pedesaan yang asri dan natural, mereka manfaatkan dengan mengubah paradigma dan metode pembelajaran. Lebih berpusat pada siswa. “Jadi, tidak perlu berbicara lebih jauh mengenai fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan yang jauh berbeda antara pelosok dan kota. Pertanyaannya adalah bagaimana kita sebagai pendidik, orang tua, masyarakat dan pemerintah memandang hakikat pendidikan itu. Karena media, alat, fasilitas bahkan metode pembelajaran itu tidak ada artinya jika jiwa untuk mendidik tidak ada,” kata Tismi.
Reporter: Kasman