Komunitas Koin untuk Negeri; Berbuat Mulai dari Hal Kecil

Akbar Alimuddin, seorang mahasiswa asal ‘Butta Panrita Lopi’ adalah otak di balik tercetusnya komunitas ini. Berawal dari keresahan akan ketimpangan kondisi pendidikan yang ia lihat sewaktu mengikuti program Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) yang merupakan program dari Kementerian Koordinator Kemaritiman RI di Kepulauan Selayar.

Akbar yang juga memiliki kebiasan menabung, kemudian berinsiatif untuk merancang sebuah konsep yang utuh sebagai respon dari ketimpangan yang ia lihat. Dia kemudian mengemas dalam sebuah perkumpulan yang bernama Koin untuk Negeri-Ku yang seiring dengan berjalannya waktu, berubah nama menjadi Koin untuk Negeri (KUN).

“Setelah melakukan beberapa pengamatan, ternyata salah satu faktor penyebab terjadinya ketimpangan kondisi pendidikan adalah keterbatasan tenaga pendidik, fasilitas, sarana dan prasarana, serta keterbatasan ekonomi,” terang Akbar kepada FAJAR PENDIDIKAN melalui pesan whatsapp.

Melihat kebiasan menabungnya bisa memberikan pengaruh positif terhadap hidup dan kehidupan orang lain, akhirnya Akbar mencoba untuk menularkan virus positif ini kepada kedua rekannya, Asni Suryaningsih dan Wahyuddin.

“Kehadiran Suryaningsih dan Wahyuddin ini membawa angin sejuk kepada komunitas ini. Mengingat begitu sulitnya menemukan orang-orang yang se-visi. Kami kemudian berbagi tugas. Mulai dari urusan keuangan hingga perekrutan melalui media sosial. Inilah sekelumit cerita tentang cikal bakal lahirnya komunitas dua tahun silam, tepatnya 1 Januari 2016,” kenang Akbar.

Kegiatan KUN

Tunjuk Satu Koin atau TSK merupakan program pertama yang dijalankan. Melalui TSK, masyarakat diajak untuk menabung tiap bulan dan diakhir bulan, tabungan atau celengan dihitung secara bersama-sama.

“Tidak mesti uang koin. Tapi kenapa namanya Koin Untuk Negeri (KUN), koin itu adalah suatu alat tukar yang berharga tapi terabaikan. Namun jika kita sadar, ternyata jika terkumpul uang koin itu, malah dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan apa saja yang diinginkan,” jelas Akbar.

Baca Juga:  Komunitas MDM, Wujudkan Kepedulian dan Selamatkan Nyawa

Akbar mengatakan, ada makna yang terselip, yakni berbuat sesuatu tak mesti harus dimulai dengan sesuatu yang besar tetapi bisa juga dimulai dari hal yang kecil. Jangan pernah mengabaikan atau meremehkan sesuatu yang kecil, karena hanya yang kecil bisa menjadi besar dan berbuat harus diawali dengan keiklasan semata-mata untuk kebermanfaatan.

“Hasil dari tabungan yang terkumpul, digunakan untuk membeli beberapa pasang sendal jepit yang akan dibagi di masjid untuk digunakan sebagai sendal wudhu (sendal yang dipakai setelah wudhu),” tambahnya.

- Iklan -

Selain itu, sambungnya, seiring dengan banyaknya yang bergabung dan jumlah celengan atau tabungan semakin banyak, akhirnya digunakan untuk membeli perlengkapan pendidikan, seperti tas dan ATK.

Jumlah murid yang menerima bantuan sampai saat ini, kurang lebih 450 murid yang tersebar di tiga kabupaten dan kota, yakni Makassar, Gowa, Maros dan Sinjai. “Penyaluran terakhir bulan ini di Sinjai Barat, tepatnya di SDN 247 Pattiro. Sebanyak 70 murid mendapatkan bantuan tas,” katanya.

Selain TSK, ada juga program sekolah jejak nusantara (SEJARA), program yang lahir di tahun kedua, Januari 2017. Sebuah program yang didesain untuk memberikan pembelajaran berbasis alam dengan konsep kreativitas dengan membina adik-adik di tepian negeri.

“Saat ini sudah ada tiga sekolah yang menjadi binaan, yakni di Dusun Moncongan kabupaten Gowa, Dusun Bara Kabupaten Maros, dan Dusun Tanete Bulu Kabupaten Maros,” jelasnya.

Akbar mengatakan, program ini sebagai reaksi terhadap sistem sekolah yang semakin terasing dari nilai-nilai kearifan lokal, kreativitas, skill, dan bakat. Sehingga dianggap sebagai pengkerdilan kemampuan dasar, keinginan, dan bakat yang dimiliki oleh adik-adik.

Baca Juga:  Komunitas MDM, Wujudkan Kepedulian dan Selamatkan Nyawa

“Cenderung dipaksa dan diharuskan untuk menelan materi sebanyak-banyaknya yang sudah diatur dalam sebuah kurikulum. Tanpa melihat kemampuan, bakat, serta kecenderungan mereka dalam mensuplai kemampuan yang dimiliki. Hal inilah yang terkadang membuat generasi jenuh dalam mengenyam pendidikan formal, sehingga mereka cenderung menjalankan hanya sekadar menggugurkan keinginan orang tua,” bebernya.

Dalam pelaksanaannya, program SEJARA menerapkan metode examine, understand, dan experience. Metode ini dianggap baik untuk memberikan suasana pembelajaran yang mengkombinasikan antara pembelajaran di kelas sekaligus pengaplikasian di luar kelas. Siswa tidak belajar dari buku-buku pelajaran saja akan tetapi berinteraksi dengan ilmu-ilmu tersebut. Sementara materi-materi ajar, yakni kelas kreativitas, kelas literasi, kelas inspirasi, dan kelas alam.

Selain itu, Akbar juga mengutarakan rencana-rencana KUN yang akan dilaksanakan ke depannya. “Untuk 2018, pastinya masih konsisten mengirim relawan tiap bulan ke pelosok dalam program sekolah jejak nusantara. Penyaluran bantuan perlengkapan pendidikan berupa tas dan ATK di beberapa sekolah di Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa dan tambahan program terbaru dengan nama kelas komunitas yang didesain untuk pembelajaran berbasis teknologi bagi adik-adik pelosok,” paparnya.

Ada juga beberapa program yang belum tercapai, di antaranya program kampung edukasi yang masih dalam tahap perampungan konsep yang nantinya didesain untuk menjadikan salah satu dusun di Kabupaten Gowa sebagai kampung pendidikan. Program yang belum tercapai lainnya, yaitu sekolah alam berbasis wisata yang diperuntukkan bagi adik-adik kurang mampu. “Masih tahap perencanaan,” ucapnya.

“Saya berharap kelak bisa mendirikan sekolah alam berbasis wisata agar adik-adik yang kurang mampu bisa mengenyam pendidikan secara gratis,” pungkas Akbar. (*)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU