Sudah seminggu Ayah sakit. Aku tak tahu apa penyakit Ayah, karena Ayah hanya meminum obat-obatan warung, tanpa mau diperiksa oleh dokter. Namun, Ayah kerap mengeluhkan kepalanya yang sakit. Tubuhnya juga sering demam, dan lemas. Selama sakit, Ayah juga tidak masuk kerja, dan selama itu pula, Ayah tidak mendapatkan penghasilan sebagai buruh harian.
Tubuhnya yang kurus makin terlihat seperti tengkorak hidup. Ayah selalu saja menolak untuk dibawa ke pelayanan kesehatan. Ia takut jika nanti hasilnya divonis terkena Covid. Kami pun tak bisa memaksanya.
“Sudahlah, Ayah tidak apa-apa, mungkin butuh istirahat,” sahut Ayah dengan lemas.
Kupandangi tubuh kurus Ayah yang terbaring lemah di ranjang besi. Ah, seandainya aku bisa berbuat lebih. Tetapi aku bisa apa, sekolah saja belum tamat SMA. Bahkan, yang lebih mengenaskan lagi, dagangan nasi uduk Ibu juga ikut sepi. Sudah berhari-hari kami makan dengan nasi uduk beserta lauk sisa jualan.
Sebagai anak sulung, aku sering menjadi tempat curahan hati Ibu. Aku tahu, di balik senyumnya yang dipaksakan, Ibu sebenarnya berusaha untuk tabah. Ia pandai menyembunyikan kesedihannya. Tetapi aku tahu persis, Ibu mulai cemas dengan pengeluaran yang semakin deras. Aku dan ketiga adikku sekolah semua. Meski kami hanya masuk beberapa hari saja untuk tatap muka, kami tetap membutuhkan kuota internet setiap kali ada pembelajaran daring di rumah. Belum lagi, ditambahi dengan kebutuhan belanja sehari-hari dan obat-obatan Ayah.
Suatu hari Ibu mengajakku ke kamar. Kuikuti Ibu, lalu ia mengambil sebuah kotak yang terbuat dari kayu. Benda itu terkunci oleh gembok kecil yang menggantung di luarnya. Ibu kemudian mengambil kuncinya, lalu membuka gembok itu, dan mengambil semua uang di dalamnya. Aku tahu, uang itu adalah hasil dari sedekah Ibu.
Setiap pagi, Ibu selalu menyisihkan hasil penjualannya. Kadang sepuluh ribu rupiah, namun seringnya lima ribu rupiah setiap pagi. Ibu berkata kepadaku, sedekah pagi akan didoakan oleh para malaikat, agar rezekinya senantiasa melimpah.
Nanti, setiap hari jumat, beberapa lembar uang itu akan dimasukkan ke dalam kotak infak masjid. Sedangkan sisanya, masih tetap berada di kotak tersebut. Biasanya uang-uang itu digunakan oleh Ibu untuk disumbangkan jika ada tetangga yang sakit atau meninggal. Tetapi kali ini isinya terpaksa diambil semua. Kuhitung jumlahnya sampai lima ratus ribu rupiah. Meski ini tidak sesuai dengan niat awal Ibu bersedekah, tapi mau bagaimana lagi. Hanya dengan uang itulah kami bisa makan beberapa hari. Untuk selanjutnya, kami tak tahu.
Namun, secara tiba-tiba terucap niat Ibu untuk meminjam uang dari keluarga sepupu Ayah. Mereka tinggal di kawasan Kemang-Jakarta Selatan.
“Jangan! Walaupun mereka baik, tetapi mana ada orang yang suka, kalau ada yang datang ke rumah untuk ngutang,” cegah Ayah, saat Ibu mengutarakan maksudnya.
“Terus mau dapat uang darimana lagi, Yah? Kakak kandungmu keadaannya sama seperti kita. Sudah pasti mereka akan menutup pintu. Belum kita bicara, mereka sudah mengeluh duluan,” jawab Ibu putus asa.
“Sabar saja, Bu. Kita pasti masih bisa makan. Mana tahu nasi udukmu besok laku semua.”
Mendengar ucapan Ayah, Ibu hanya menghela napas lemah. Sehari dua hari keadaan masih tetap sama. Nasi uduk lumayan laku, tapi ternyata tidak dapat menutupi kebutuhan sehari- hari yang semakin membengkak. Ibu juga tidak mampu lagi memasukkan uang ke kotak sedekahnya.
“Allah Mahatahu, Wit. Kita aja lagi susah makan, boro-boro untuk sedekah!” jawab Ibu, waktu aku bertanya mengapa Ibu tidak lagi memasukkan uang ke kotak sedekah.
Hampir dua minggu sudah, Ayah masih terbaring lemah. Demamnya sudah turun, tapi kondisinya masih lemas, dan katanya sering sakit kepala. Ibu mulai tidak sabar. Aku menyadari, pasti dalam keadaan seperti ini akan sulit untuk bisa menerima semuanya.
“Enggak ada jalan lain, Yah. Besok aku akan ke rumah Nino. Masa dipinjami uang sejuta enggak keluar. Bagi dia uang sejuta itu mungkin seperti seratus ribu, jadi pasti ada!” tukas Ibu yakin.
“Terserahmu, Bu, ” jawab Ayah pasrah. Lalu memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan air mata.
Om Nino, ya, dia memang kaya raya. Selain sebagai pengusaha yang sukses, Om Nino juga seorang motivator bisnis ternama. Om Nino sangat ramah kepada kami, baik hati, serta tidak jumawa. Ia sama sekali tidak memicingkan mata meski kami miskin.
Tekad Ibu sudah bulat. Semalam Ibu sudah menelepon Om Nino. Ia mengutarakan niatnya untuk bertamu. Rupanya Om Nino menyambut Ibu dengan baik di telepon. Aku menemani Ibu ke rumah Om Nino, sebab aku tidak tega membiarkan Ibu ke rumah Om Nino sendirian.
Sesampainya di sana, Om Nino dan istrinya menyambut kami dengan tangan terbuka. Terlebih setelah tahu kalau Ayah sedang sakit, mereka tampak prihatin.
Rumah Om Nino bak istana. Mobilnya saja ada tiga yang berada di luar garasi, dan entah berapa banyak lagi kendaraannya yang lain di dalam garasi. Kami lalu diajak berbincang di tepian kolam renang, seraya menyantap makanan lezat berbahan keju yang sangat asing dengan lidahku. Istri Om Nino memanjakan lidah kami dengan aneka suguhan istimewa, yang tentunya tidak dapat aku temukan di kampungku.
Sambil memakan kudapan itu, Ibu memberanikan diri menyampaikan niatnya. Dengan ucapan terbata-bata, Ibu mengajukan pinjaman sebesar satu juta rupiah. Namun seketika, air muka Om Nino dan istrinya mulai berubah. Senyum perlahan menghilang dari wajah mereka. Om Nino dan istrinya saling pandang.
“Bagaimana, Dek Nino, dan Dek Inka, semoga tidak keberatan dengan pinjaman saya ini. Kalau saja Mas Wahyu sehat, saya sebetulnya enggak enak pinjam seperti ini,” ucap Ibu hati-hati.
“Kalau Mas Wahyu sehat, Mbak enggak akan main ke sini, kan?” sindir Om Nino, lantas ia tertawa terbahak-bahak.
Hatiku teriris saat mendengarnya. Sindiran pertama ini mengoyak citra diri Om Nino yang telah terbangun positif selama ini di mataku. Memang selama ini kami belum pernah datang ke rumah Om Nino. Setiap bertemu hanya pada kesempatan acara keluarga, pernikahan sanak famili.
Aku juga heran, Ayah selalu enggan jika diajak ke rumah Om Nino oleh Ibu. Sampai suatu hari ketika didesak, Ayah hanya berkata, “Enggak enak, Bu. Nanti dikira mau ngutang!”
Terbukti omongan Ayah benar. Kenyataannya, kami ke sini memang ingin pinjam uang.
“Sekarang memang lagi pada susah, Mbak Sri. Sebenarnya kami juga sedang susah, bisnis Mas Nino banyak yang pending, ada juga yang cancel. Di beberapa kota bahkan off sama sekali. Dua bulan lalu malah kami kena Covid sekeluarga. Tapi alhamdulillah semua bisa selamat. Semua memang terkena imbas pandemi,” jelas Tante Inka, panjang lebar.
“Itulah pentingnya investasi, Mbak. Tabungan!” sambar Om Nino cepat. “Di saat krisis begini, tabungan dan investasi bisa menyelamatkan perekonomian keluarga. Mbak ‘kan jualan, mestinya bisa menabung sehari lima puluh ribu, atau nanti dibelikan logam mulia untuk investasi, jadi bisa menutupi kebutuhan yang tak terduga begini. Kami juga hidup mengandalkan tabungan. Kalau tidak ada tabungan, susah, Mbak!”
Perkataan Om Nino tidak ada yang salah, tapi berhasil membuat hatiku sakit. Ayah benar, orang miskin akan sering sakit hati oleh omongan orang berada. Om Nino dan istrinya malah menasihati Ibu tentang pengelolaan keuangan. Padahal aku yakin manajemen keuangan Ibu pastilah manajemen yang terbaik.
Akan tetapi, untuk saat ini, bagaimana bisa menyisihkan uang sebesar lima puluh ribu, jika penghasilan orang tuaku hanya cukup untuk makan hari itu. Sekarang Om Nino dan istrinya memberikan ceramah yang beraroma menyalahkan. Ingin rasanya kutarik tangan Ibuku untuk keluar dari rumah ini sekarang juga.
Kulihat wajah Ibu memerah, tapi aku tahu ia sedang berusaha bersabar. Ibu hanya menganggukkan kepalanya dengan patuh setiap mendengar semua penjelasan dari Om Nino. Mungkin Ibu berharap, setelah ceramah panjang Om Nino berakhir, uang satu juta rupiah itu akan diberikan untuk Ibu.
Tetapi kenyataan tidak sesuai harapan. Istri Om Nino malah mengatakan bahwa mereka tidak memiliki uang sebesar itu untuk dipinjamkan.
Hatiku mencelos mendengarnya. Aku jadi berburuk sangka. Barangkali bukan tidak punya, tapi memang mereka tidak mau meminjamkan. Sampai akhirnya kami berpamitan pulang. Namun tiba-tiba, istri Om Nino menyorongkan uang seratus ribu rupiah kepada Ibu.
“Mbak, ini sedekah dari kami. Semoga Mas Wahyu cepat sembuh,” ucap Tante Inka. Kulihat mata Ibu berkaca-kaca, lantas memeluk Tante Inka dan mengucapkan terima kasih.
Kugandeng tangan Ibu, dan meninggalkan rumah megah itu. Kurekatkan pegangan tanganku, aku merasakan luka hati Ibu. Aku tetap bersyukur kami mendapatkan uang seratus ribu rupiah, itu bisa untuk makan beberapa hari. Barangkali kami memang serupa pengemis yang pantas menerima sedekah.
Sepertinya esok hari, pelan-pelan aku akan mengingatkan Ibu untuk kembali bersedekah di kotak itu. Kotak yang tetap membisu di saat menerima dan menyalurkannya kepada yang membutuhkannya lagi. Aku yakin, malaikat akan mendoakan kami setiap pagi. Walau rezeki yang kami dapat tidak harus berupa uang.
Sebuah karya cerpen berjudul ‘kotak Sedekah’ oleh Puput Sekar Kustanti yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan