Krisis Oktober

Malam kelam nan sunyi. Tak ada kata-kata yang terucap. Hanya sapuan buku yang terus dikibaskan untuk menyejukkan tubuh anaknya.

Udara pengap terasa menyelimuti ruang kamar tidur berukuran 3 x 4 meter. Udaranya sangat amat panas di bulan Oktober.

Antara anak dan Bapak tak mengenakan sehelai baju pun pada tubuh mereka. Resah. Inilah yang mereka rasakan sekarang.

Sako yang usianya baru menginjak dua tahun, sebulan yang lalu, merebahkan tubuhnya di atas kasur.

Sementara Bapaknya, terus mengibas-ngibaskan buku untuk membuat anaknya nyaman dan tertidur pulas. Usaha Bapaknya tak mampu jua menenggelamkan anaknya dalam mimpi.

Di luar sana, rumah tetangga sebelah, samar-samar terdengar lantunan doa-doa peristiwa, diiringi nyanyian pujian lagu;

“ Avee…Mari…ii..a… Ave Mari…ii..a”

“Ave… Mari…ii..a…terpujilah Bunda terpuji namaMu sepanjang segala masa”

“ tuh… suara Mamamu, Derang. Mereka lagi nyanyi” kata Timo membunuh kesunyian.

- Iklan -

“suala Mama Delang paling bagus…meldu lagi” ucap Sako polos. Menggoda. Memuji-muji suara Mamanya. Walaupun pelafalan hurufnya kurang sesuai.

Ia tahu, bahwa anaknya menderita penyakit “insomnia” beberapa hari belakangan ini. Apalagi cuaca sekarang. Gerah. Siang ataupun malam sama saja. Udara panas terus menyerang. Ia juga terus mencari cara untuk bisa membuat anaknya tertidur pulas.

Timo menatap anaknya lalu mengusap-usap kepalanya menggunakan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya terus mengipas tanpa pause.

“Sako?” ucapnya halus

Sako mengangkat kepalanya lalu menatap balik wajah Bapaknya nanar. “mau dengar cerita?” Tanya bapaknya Sako mengangguk pelan.

“Pernakah kamu berjalan mendaki tanjakan bukit-bukit tanpa beralas kaki, di bulan Oktober yang begitu panas? Seperti saat ini?. Tentu belum!” pertanyaan sekaligus jawaban. Timo terkekeh menatap wajah anaknya.

Sako menggeleng-gelengkan kepalanya. Timo lanjut menceritakan ceritanya. Sementara Sako memperbaiki posisi tidurnya dengan beralasbantalkan paha Bapaknya sebagai bantal alami.

“Jalanan yang terjal ditambah sekawanan serpihan batu bak serpihan kaca yang tersiram tak teratur di setiap daerah jalan tertentu.

Mereka menginjak serpihan-serpihan itu dengan kaki yang tak beralas. Tak ada rasa bosan, tak ada rasa malas yang terlintas di benak mereka. Jiwa semangat terus berkobar di bulan Oktober yang sangat amat panas demi sapi-sapi mereka.

Mendaki tanjakan bukit-bukit dengan kaki yang tak teralas. Disitulah letak oposisi. Jika dari sini (rumah) adalah menanjak maka datang kembali adalah menurun.

Hebat bukan? Tanjakan yang jaraknya kurang lebih empat kilo meter ditempuh mereka setiap hari, setiap minggu, setiap bulan dan setiap tahun dan itu dilakukan setiap pagi dan sore dalam sehari. Rutin dilakukan mereka tanpa alasan terkecuali.

Sapi-sapi yang dimiliki mereka tak begitu banyak. Kobus, memiliki empat sapi. Tiga diantaranya adalah sapi mai (betina) sementara sisanya adalah jantan.

Anis adik Kobus, memiliki lima sapi. Tiga diantaranya adalah mai sementara sisanya jantan yang masih dalam taraf peralihan menuju remaja.

Pekerjaan mereka tidak hanya itu, mereka juga bekerja kebun di musim panas ini. Musim dimana orang-orang kampung suku dawan akan menebas hutan untuk dijadikan kebun berladang mereka.

Setiap tahun (bulan Oktober) mereka akan sudah siap mengobarkan si jago merah untuk melahap habis tebasan ranting-ranting juga dedaunan yang mereka tebas.

Mereka tidak sadar kalau hal seperti yang mereka lakukan saat ini yang menyebabkan cuaca panas ini berkepanjangan. Tapi, apa boleh buat kala penghasilan mereka hanya dari itu-itu saja. Hal itulah yang mereka bisa lakukan untuk menafkai sanak keluarga.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU