Di pagi hari kala ayam mulai berkokok bersahut-sahutan, mereka akan segera menyudahi mimpi-mimpi panjang mereka.
Kokokan-kokokan itu bak alarm yang setia membangunkan mereka. Seolah-olah memberitahukan pada tubuh yang terbaring lelah di atas perapian, bahwa; pagi akan segera tiba.
“Ain…Aina” panggil kobus dengan nada suara samar-samar. “tolong buatkan saya kopi” tambahnya meminta secangkir kopi.
Neno sudah terbiasa bangun pagi, dan dia tahu jelas apa yang harus dilakukannya. Sesaat, Neno keluar dari dapur membawa sebuah nampan yang di dalamnya ia letakkan secangkir kopi hitam. Seperti pagi-pagi dipagi kemarin, “mengawali hari dengan secangkir kopi”.
Bukan hanya untuk pagi-pagi kemarin dan pagi ini saja, tapi untuk pagi esok dan seterusnya.
Minum kopi dipagi hari sudah menjadi kebiasaan Kobus. Diambilkannya kopi itu, lalu diseruputi berkali-kali hingga habis. “srupppp…” sekejap kopi itu habis diseruputinya. Yang tersisa hanyalah ampasnya.
Ia terbilang tak menikmati kopinya seperti orang-orang lain. Ia berfikir bahwa meminum secara perlahan-lahan akan menunda suatu pekerjaan yang harus diselesaikan segera. Apalagi di bulan Oktober ini. Bulan yang begitu mengeluarkan keringat- keringat lebih deras dari bulan-bulan yang lainnya. Ia cemas, kalau dirinya belum bertemu
sapi-sapinya. Ia ingin cepat-cepat memindahkan mereka agar mendapatkan rumput yang bagus, rumput yang segar di pagi hari yang cerah.
Mengambil parangnya yang sudah terisi di sarungnya lalu diikat lekat pada pinggangnya. Satu lagi Ia selalu membawa “aluk” untuk mengisi siri, pinang, kapur juga tembakau.
Kakinya mulai berdayun pelan-pelan sebelum serangan fajar menyengatnya. “Anis…Anis! mari sudah!” teriak Kobus mengajak.
“muhun!” balas Anis dengan teriakan dari dalam rumahnya.
Tak perlu merespon lagi. Kobus pun menunduk melihat jalan lalu melanjutkan perjalanannya.
Bulan ini, bulan yang sangat menjengkelkan bagi mereka berdua. Sengat panasnya yang membunuh rumput-rumput di padang , aliran-aliran sungai juga mata air.
Resah. Namun kesetiaan mereka terhadap sapi-sapi itu, panas semacam apa pun mereka tak menghiraukannya.
Panas di bulan oktober sangatlah panas bak aliran-aliran lava gunung Sonmahole meletus. Apa yang disengatnya akan mati sekejap.
Seperti itulah kinerja panas di bulan oktober. Bulan peralahihan antara musim kemirau ke musim hujan. Tapi, tak hujan-hujan akibat lahan yang berpindah-pindah di sekitar sini.
Langkah demi langkah menghasilkan jejak yang terlihat jelas kala abu menebal bak abu fulkanik. Berjalan sembari mengunyah campuran homogen antara siri, pinang, kapur juga tembakau menghasilkan liur merah yang terlihat seperti lelehan-lelehan darah berserakan sepanjang jalan di bulan Oktober.