Singkat cerita, Kobus pun sampai di padang. Pepohonan di sepanjang jalan tak terlihat daun- daun hijaunya. Yang terlihat, hanyalah ranting-ranting serta beberapa dedaunan yang berwarna kekuningan.
Ia segera memindahkan ikatan-ikatan sapinya ke rumput yang lebih segar. Walaupun kering kerontang, tapi cairan embun dipagi hari telah bertengger disetiap rumput-rumput itu.
Setelah memindahkan sapi-sapi itu, ia pun melanjutkan perjalanan menuju ladangnya. Singgah melihat, mencabut ilalang-ilalang yang tumbuh liar menghiasi ladangnnya. Setelah itu, Ia pun kembali ke rumahnya.
Saat kepulangannya, ia mensiasati turunan yang hendak dihadapinya sekarang. Ia membuat formasi kuda-kuda yang kuat untuk berjalan menurun agar tidak terjadi kecelakaan.
Sesaat kemudian, ia pun tiba di rumah. Jantungnya berdegup kencang. Suara nafasnya terengah-engah. Kerongkongannya kering hingga membuang ludah saja pun sudah tak bisa.
“to… tolong bawakan a…air minum” pintanya sembari tangannya mengelus-elus kerongkongannya.
Timo yang mendengar suara itu, langsung membawakannya secangkir air putih. Diterima olehnya lalu diteguk habis tak tersisa.
***
Jam dinding terus berdenting hingga waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Kobus yang sudah siap menapaki perjalanannya pun mulai mengikat sarung parang di pingangnya. Saat ia mulai melangkahkan kakinya, tiba-tiba suara itu menghentikannya;
“Am…”
Kobus menoleh. “kenapa?” Tanya Kobus bingung sembari melangkahkan kakinya menghampiri Timo. Mereka berdua sama-sama masuk kedalam lopo lalu mendaratkan pantanya masing-masing di atas tempat tidur yang terbuat dari serpihan-serpihan bambu.
“ada apa?” Tanya Kobus.
“sebenarnya tujuan hidup Am itu apa? Yang saya liha dan saya amati, selama ini Am hanya mondar-mandir setiap pagi sore macam mikrolet saja. Tujuan hidup Am itu apa?” Tanya timo.
Kobus terdiam seribu bahasa. Ia bingung apa yang harus ia jawab ketika anaknya melontarkan pertanyaan seperti ini.
“apa tujuan hidup Am itu hanya untuk mengabdi pada sapi-sapi itu?” ocehnya, sembari jari telunjuknya menunjuk ke arah sapi-sapi itu berada.
“bukan … bukan begitu juga anak. Sapi-sapi itu adalah harta warisan Nenekmu. Jadi mau tidak mau kita harus bertanggungjawab karena itu adalah milik kita sekarang.” Timo terdiam menatap wajah Bapaknya lemas.
“gimana dengan pekerjaan Am? Saya bingung. Sebenarnya Ama ini berprofesi sebagai petani ataukah peternak?”
Mendengar pertanyaan itu Kobus tertawa sambil tangannya mengusap-usap kepala anaknya. “dua-duanya. Yang penting kita bisa makan setiap hari” jawab Bapaknya singkat.
Dalam hati, Timo merasakan bahwa Bapaknya adalah seorang yang setia. Dalam otaknya Ia juga berfikir betapa gagah beraninya sang bapak melawan panas terik di bulan Oktober.
Ia juga berfikir, dengan menciptakan pertanyaan-pertanyaan pada otaknya yang terpendam, tak mau ia ucapkan
“apakah masih ada orang yang setia seperti bapak di era musim seperti ini?” “apakah masih ada orang yang ikhlas seperti Bapak?”
Pertanyaan-pertanyaan itu tersimpan rapih dalam benaknya yang paling dalam.
“Timo … hey?…!” serunya sembari melambai-lambaikan tangannya di depan wajah wajah Timo.
“ehh … iya… iya” jawabnya sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. “kamu kenapa?” Tanya Kobus menyelidiki
“tidak… tidak apa-apa”
Kobus pun bangkit berdiri dari duduknya lalu pergi meninggalkan anaknya. Seperti biasanya. Ia akan menyinggah rumah Anis untuk mengajaknya bersama-sama menapaki tanjakan- tanjakan itu. Tapi, Anis sering menolak ajakan itu dengan kata “muhun.” Kobus pun terus melanjutkan perjalanannya.
Sesampainya di sana, Kobus berdiri diam terpaku. Ia benar-benar kaget ketika Sepasang bola matanya melihat sapi mainya terbaring di atas tanah. Awalnya ia berfikir bahwa sapi itu hanya tertidur saja.
“mungkin dia lelah.” Kata Kobus meyakinkan dirinya bahwa tidak terjadi apa-apa pada sapi mainya. Setelah itu ia melangkahkan kakinya menghampiri sapi itu.
Dengan kakinya, Kobus menyentak-nyentak tubuh sapi itu. Tak ada respon balik. Kobus berlutut lalu ke dua tangannya memeluk tubuh sapinya. Sesaat air matanya terjatuh membasahi pelipisnya.
“ia mati kepanasan” gumam Kobus sembari menyeka air matanya. Kobus benar-benar sedih meratap kepergian sapi mainya. Ia bangkit berdiri, lalu berteriak. Teriakan suaranya bergema-gema di padang terbuka.
Anis yang mendengar teriakan suara itu, ia berusaha menahan langkahnya lalu memasang telinganya baik-baik untuk memvoniskan siapakah pemilik suara itu.
“Kobus?…ya itu suara Kobus.” Gumam Anis meyakinkan dirnya. “Tapi, apa yang terjadi? Sampai-sampai ia berteriak-teriak seperti itu?” Tanya Anis pada dirinya sendiri. Anis terus melanjutkan perjalannya menghampiri suara itu berasal.
“apa yang terjadi?” Tanya Anis yang sudah berada tepat di belakang Kobus.
“lihat itu” ujarnya sembari menunjuk ke arah sapinya yang terbaring kaku. “ini bukan yang pertama, ini sudah yang ke sekian kali di bulan ini. Bulan sial bagi saya.” Jelasnya juga memvoniskan kesialannya.
“sabar-sabar. Ini akibat cuaca yang begitu panas. Kemarin dulu saja di kampung sebelah Naef Canae punya sapi mai mati juga. Jadi, jangan menganggap bahwa insiden ini hanya terjadi hanya untukmu saja.” Tutur Anis berusaha meyakinkan saudaranya juga meredamkan api yang sedang bernyala di sore hari.
Suasana kembali tenang. Tak ada teriakan lagi. Tak ada kata-kata takdir kesialannya lagi. Tak ada juga amarah lagi.
Air mukanya kembali meredup. Berusaha menerima realitas yang telah terjadi sekarang. Kobus menyuruh Anis untuk tetap di sini dan segera mengupas kulit sapi.
Sementara ia kembali ke rumah memanggil orang-orang rumah untuk datang memotong- motong seluruh organ tubuh sapi.
Seperti biasanya, ia tiba di rumah akan membuat suasana tak seorang pun merasa nyaman. Semua orang di situ akan ia voniskan bersalah.
Tapi, untuk kali tidak. Ia benar-benar tenang merenung setelah mendengar sedikit ceramah dari adiknya.
Ember, pisau, parang, garam dan korek. Semuanya telah mereka persiapkan untuk pergi memotong-motong organ sapi itu. Berbondong-bondong mereka menapaki tanjakan-tanjakan itu dengan napas yang terengah-engah.
Setibanya di sana, masing-masing menyeka keringat pada dahi-dahi mereka. Anis yang sedaritadi mengupas kulit sapi, telah diselesaikan olehnya. Nyala apa mulai menyala menghasilkan bara-bara yang begitu panas. Dari rumah terlihat jelas nyala api yang membumbung tinggi di padang bak perkemahan di malam minggu.
Sepotong-sepotong daging mulai bergentayang di dalam bara. Orang-orang terus melahap, menikmati daging bakar yang begitu lezat, enak terasa dalam setiap kunyahan. Sementara Kobus duduk termangu merenung. Memprediksi insiden yang akan terjadi padanya di Oktober yang akan datang.
Daging-daging itu di sayat tipis-tipis benbentuk tali panjang lalu dijemur. Orang-orang biasa mengenalnya dengan sebutan dendeng. Daging-daging cepat membentuk dendeng dalam sekejap akibat cuaca panas yang berlebihan.
Setelah beberapa hari kemudian, Kobus mendengar berita bahwa Naef Ase dilanda kesedihan akibat sapinya mati. Besoknya lagi Naef Seko juga merasakan insiden yang sama.
“ wah… Oktober meresahkan”. Ujar Kobus saat berjalan bersama-sama dengan Anis “iya. Oktober membunuh” tamba Anis menimpali kesialan bulan Oktober
“bukan!…bukan Oktober yang membunuh”. Tapi cuaca panaslah yang membunuh. Lantas dari mana cuaca panas ini? Dari kita. kita sendirilah yang memproduksinya, dari pembuatan ladang berpindah-pindah.
Penebangan pohon-pohon secara liar tanpa menanggulangi. Tanpa menanam kembali pohon. Jadi kitalah yang membunuh. Kita sendirilah yang melakukan semua ini. Artinya semua dari kita,oleh kita dan untuk kita.”
“lantas bagaimana sekarang? Maksudnya tindakan apa yang harus kita lakukan sekarang ini?” Tanya Anis untuk mencari solusi yang tepat.
“kita harus melakukan reboisasi. Tapi bukan sekarang. Kita menunggu saja hujan. Jika hujan tiba, Kita pun harus sesegara mungkin menanam anakan pohon sebanyak-banyaknya. Satu lagi, kita harus mengurangi yang namanya pembuatan ladang sembarangan seperti saat ini.
Artinya ladang yang saat ini kita miliki ya kita olah untuk seterusnya.” Jelas Kobus yang sangat mendetail.
Anis hanya mengangguk-anggup. Bahasa tubuhnya menjelaskan bahwa ia mengerti semuanya.”