Krisis Oktober

Timo melihat anaknya yang sudah tertidur pulas di pangkuannya. Ia merasa senang karena bisa membuat anaknya tertidur pulas secepat ini.

Sekarang Timo sudah mengetahui cara untuk membuat anaknya tidur dengan cepat. Dengan cara bercerita, ia bisa membunuh rasa pengap di kamar itu.

Sesaat, derit pintu depan berderit lalu kembali terdengar deritan pintu terkunci. “tak…tak…tak…”suara langkah demi langkah yang dihasilkan dari pertarungan tumit sepatu dan keramik lantai, begitu terdengar jelas di malam kesunyian ini.

Suara langkah itu terus bergerak ke arah kamar dimana Timo dan Sako berada sekarang. Derang berdiri diam terpaku di pintu masuk. Ia menatap, mejelajahi seluruh isi kamar dengan kedua bola matanya.

Menatap wajah suaminya sesekali menatap wajah anaknya. Ia merasa bingung, juga senang kian berkecamuk dalam otaknya.

“ia tertidur?” bisiknya pelan. Timo mengangguk pelan.

Derang berjalan menghampiri mereka dengan langkah kakinya yang berjinjit-jinjit bak seorang ninja yang sementara memergoki rumah musuh. Timo yang menyaksikan adegan itu, mengacungkan jari telunjuknya di depan mulutnya yang terkatup. Bibrnya ditutup rapat.

Seolah-olah mengisyaratkan untuk jangan berisik. Derang duduk di samping anaknya, lalu mendaratkan kecupan di pipi Sako.

“Mama?” ucapnya.

- Iklan -

Timo dan Derang saling bertatapan bingung. Rupanya Sako mengigau setelah beberapa malam tak pernah merasakan yang namanya dunia mimpi.

Di ufuk timur, mentari mulai menampakkan dirinya. Seberkas-seberkas cahaya terpancar dari satu arah membakar perlahan embun pagi yang bergentayangan di atas ranting-ranting pohon jambu.

Sako yang telah menyudahi mimpinya, sejak subuh tadi telah duduk santai di bawah naungan bale-bale pohon jambu. Ia menatap mama-mama berlalulalangan. Tangan kiri mereka menggemgam tali keranjang sementara tangan kanan menggenggam payung.

“Siap payung sebelum hujan” demikianlah pepatah mengatakan seperti itu. Tapi tidak untuk bulan ini; “siap payung sebelum panas”. Ya, seperti itulah keadaan sekarang.

“kok bawa payung ke pasal? Apa bental lagi hujan?” gumam Sako polos. Ia benar-benar bingung.

“iya…kan sebentar lagi panas.” Jawab seorang yang sudah berada di belakangnya.

“Bapa?… Datang sini kok tidak bilang-bilang.” Rengeknya sebal sembari mengernyutkan dahinya.

“maaf-maaf” Timo mohon maaf dengan bersujud menyembah bak seorang hamba yang bersujud menyembah rajanya.

Berdua duduk di bale-bale, menonton mama-mama berjalan kian ke sana ke mari; Dan sepeda motor dari REVO milik tukang ojek sampai CRV milik pejabat. Deruan-deruan mulai dari standar hingga recing.

Ada revo yang kecepatannya bak seorang pembalap ala provisional dengan mesin motor ducati. Gas putih perlahan-lahan membuyar berhamburan dari ujung knalpot mencemari udara lingkungan sekitir.

Ada yang sudah pulang berbelanja ada pula yang baru berjalan menuju pasar. Ada yang sementara berbelanja, ada pula yang sementara mempersiapkan diri untuk pergi ke pasar sama seperti yang derang lakukan sekarang.

Di belakang rumah, Derang sedang menimba air di sumur. Air terlihat keruh berwarna kecoklat-coklatan bak kopi susu. Tarikan demi tarikan hingga sampai pada permukaan. Dituangkan ke dalam wadah yang sudah siap menampung, lalu kembali melepas landas tali yang sudah terikat sebuah jerken.

Setelah sekian kali dilakukannya, akhirnya wadah itu pun terisi penuh. Ia membawanya ke kamar mandi lalu mendiamkannya untuk proses pengendapan, setelah itu barulah disaring untuk mendapatkan air besih siap dipakai.

Hari sudah siang. Waktu kini menunjukkan pukul 11: 15 WITA. Derang yang sedari tadi berbelanja di pasar kini telah pulang ke rumah. Langkah demi langkah di bawah naungan payung yang ukuran diameternya kira-kira … ah! Tidak taulah.

Hanya matematikawan yang dapat menghitungnya secara pasti. Jarak antara rumah ke pasar tak seberapa, hanya 100 meter. Tak lama kemudian, ia pun tiba di rumah. Terlihat di dalam keranjang, dipenuhi buku- buku cerita anak dan kipas angin mini. Ada juga sembako keperluan rumah tangga. Wah!

Seorang mama yang sangat pengertian terhadap anaknya; Dengan membeli semua perkakas penghantar tidur, kini tak ada lagi yang namanya “insomnia Oktober”.

Catatan:

Aluk artinya tas kecil khusus untuk menyimpan siri,pinang,kapur dan tembakau.

Ama (Am) artinya bapak

Aina (Ain) artinya mama

Naef artinya orangtua atau sebutan untuk orang yang sudah lansia

Muhun artinya dahulu (berjalan mendahului)

Penulis : Frans Kenjam

 

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU