Jenderal Burhan membantah mendekati tenggat waktu untuk menyerahkan kekuasaan kepada warga sipil adalah alasan di balik tindakannya, sebaliknya menuduh perpecahan di antara faksi-faksi politik mengancam integritas dan keamanan negara. Dia telah berjanji untuk mengadakan pemilihan yang dijadwalkan pada Juli 2023.
“Bahaya yang kita saksikan minggu lalu bisa membawa negara itu ke dalam perang saudara,” kata Jenderal Burhan pada konferensi pers yang disiarkan televisi dalam referensi nyata untuk demonstrasi menentang prospek pengambilalihan militer.
“Seluruh negara menemui jalan buntu karena persaingan politik. Pengalaman selama dua tahun terakhir telah membuktikan bahwa partisipasi kekuatan politik di masa transisi itu cacat dan menimbulkan perselisihan.”
Militer merebut kekuasaan lebih dari dua tahun setelah pemberontakan rakyat 2019 memaksa penggulingan otokrat lama Omar al-Bashir. Sejak itu negara tersebut telah diperintah di bawah perjanjian pembagian kekuasaan antara warga sipil dan para pemimpin militernya.
Washington menangguhkan bantuan darurat, memperingatkan “tidak akan ragu” untuk mengambil tindakan lebih lanjut terhadap mereka yang berada di balik kudeta. Kemudian penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan pemerintahan Biden sedang mencari berbagai alat ekonomi untuk menanggapi pengambilalihan militer dan telah melakukan kontak dekat dengan negara-negara Teluk.
Uni Eropa, PBB dan Liga Arab semuanya mendesak para jenderal negara itu untuk membebaskan para pejabat.
Pertemuan darurat PBB kemarin diminta oleh Irlandia, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Norwegia dan Estonia, yang semuanya telah menyatakan kekhawatiran mereka atas kudeta tersebut. Menjelang pertemuan, Sekjen PBB Antonio Guterres mengecam tindakan militer dan apa yang disebutnya “epidemi kudeta” di kawasan itu, mendesak pengekangan diri dan Dewan Keamanan beranggotakan 15 orang untuk bertindak secara efektif mencegah mereka.
Seorang pejabat kesehatan, sementara itu, mengatakan kepada AFP bahwa tujuh orang telah tewas dan 140 terluka ketika pasukan keamanan menindak pengunjuk rasa yang turun ke jalan menentang tindakan tersebut. Komite Dokter Sudan menyebutkan jumlah korban tewas sebanyak empat orang.
Halaman Facebook untuk kantor perdana menteri, tampaknya masih di bawah kontrol loyalis Hamdok, telah menyerukan pembebasan Hamdok dan para pemimpin sipil lainnya. Hamdok tetap menjadi “otoritas eksekutif yang diakui oleh rakyat Sudan dan dunia”, katanya.(*)