Gelap gulita menyelimuti Desa Ciburial di malam kejora. Listrik di desa ini terpaksa harus direnggut karena masalah gardu yang tak kunjung surut sejak tiga bulan lalu. Pak Urip yang memiliki usaha lampu-lampu cantik pun gulung tikar karena listrik di Desa Ciburial sudah tak ada. Ekonomi keluarga Pak Urip kacau balau. Beruntung usaha dan tekad Pak Urip tidak berhenti sampai di situ, ia berkeliling menjual jasa lampu minyak. Warga sangat senang karena Pak Urip menerima upah seikhlasnya. Pak Urip senang karena dapat menolong warga Desa Ciburial.
Sorot lampu minyak yang dipegang Pak Urip tampak meredup. Pak Urip yakin sorot lampunya mampu menerangi rumah terakhir di ujung jalan Cendrawasih, rumah gadis kecil bernama Laisa. Tanah merah tempat Pak Urip berpijak yang merupakan lintasan ban sepeda ontelnya tampak melunak. Memang tadi hujan sempat turun, makanya pakaian Pak Urip setengah basah.
Pak Urip tinggal di gubuk tengah kebun Desa Ciburial, kecil dan rapuh. Namun, penuh dengan kasih sayang. Keluarga kecil Pak Urip sangat senang apabila Pak Urip masih membawa sisa minyak untuk lampu minyaknya. Artinya merekabisa tidur dalam keadaan remang nan syahdu.
Resah tersirat di wajah Pak Urip, ia sudah berjanji pada Resa, putrinya yang berusia tujuh tahun, untuk tidur dalam sorot lampu minyak. Sepertinya ia tak bisa menepati janjinya itu karena Laisa sudah terduduk manis di kursi kayu depan gubuknya.
“Uripak, lampu minyak Laisa, mana?” tanya Laisa sumringah.
Ibu Laisa tersenyum. “Pak Urip namanya. Ibu kan sudah sering bilang pada Laisa,” katanya.
“Biarkan Bu, namanya juga masih anak-anak,” ujar Pak Urip, menyiapkan lampu minyak untuk Laisa.
Sudah terdapat tiga buku yang hendak Laisa baca malam ini.
“Sebenarnya, Laisa sudah membuat puisi untuk lomba itu, Pak,” lapor Ibu Laisa, ia menyiapkan upah Pak Urip.
“Bagus kalau begitu. Nanti akan saya segera kirim ke pos.” Pak Urip enggan menerima upah yang diberikan oleh Ibu Laisa. “Simpan saja buat tambahan biaya pos, lagipula sorot lampunya sudah meredup.”
Ibu Laisa berterima kasih.
Laisa membaca dengan cekatan. Laisa sangatmenyukai hal berbau sastra, puisi karyanya sudah siap untuk diikutsertakan dalam Lomba Sastrawan Cilik di Jakarta. Pak Urip yang akan mengirimkannya ke pos.
“Lain kali, saya siapkan minyak lebih banyak untuk Laisa ya,” kata Pak Uripsaat Laisa sudah selesai dan berterima kasih.
“Tapi, Resa juga sangat senang dengan lampu itu, kan, Pak?”
“Tenang saja, Laisa. Bapak usahakan juga untuk sisihkan sedikit untuk Resa di rumah. Yang penting Laisa bisa terus baca dan berkarya.”
Setelahnya, Ibu Laisa menggendong Laisa masuk ke dalam rumah mereka yang hanya sepetak. Laisa lumpuh, tapi tak pernah sedetik pun mengeluh karena itu. Setiap kali ditanya orang yang baru bertemu, ia hanya menjawab, “mungkin kaki cantik Laisa sudah disiapkan di surga.”
Itu alasan mengapa Pak Urip sangat menyayangi Laisa layaknya anak sendiri, dulu ibu beliau juga lumpuh. Profesi Pak Urip hanyalah tukang lampu minyak keliling, pendapatannya tak menentu. Jika dapat Rp 25.000, Pak Urip akan beli satai padang untuk Resa dan istrinya. Namun, jika hanya Rp 15.000, ia hanya mampu membelikan satu bungkus nasi goreng untuk bertiga.
Malaikat kecilnya, Resa, tak pernah mengeluh soal menu makanan yang dibawa Pak Urip. Resa dan Laisa selalu bermain di rumah Laisa setiap siang, Laisa selalu menuliskan Resa cerita-cerita atau puisi dan itu membuat Resa senang. Lalu, Resa akan bernyanyi untuk Laisa sebagai balasan. Dua gadis kecil yang amat berarti di hidup Pak Urip.
Pak Urip sudah mengirim berkas lomba Laisa tadi sore sebelum berkeliling menjual jasa lampu minyaknya. Laisa dan ibunya berterima kasih banyak karena tanpa Pak Urip, Laisa tidak bisa mengikuti lomba tersebut. Perjalanan ke kantor pos memakan waktu dua jam lamanya, menjadi empat jam untuk kembali lagi ke rumah. Ibu Laisa tidak mampu menggendong Laisa selama itu. Sekarang, Laisa dan Ibunya hanya tinggal menunggu hasilnya.
Sore ini, awan hitam menyelimuti Desa Ciburial. Sebenarnya, istri Pak Urip sudah melarang Pak Urip untuk keliling. Tetapi Pak Urip keras kepala tetap ingin keliling.
“Kalau gelap biasanya semakin laku, Bu,” bantah Pak Urip saat istrinya melarang.
Akhirnya, Pak Urip meninggalkan rumah dengan sepeda ontelnya yang tampak penuh. Kantong kanan kiri sepeda itu dipenuhi lampu dan minyaknya. Tak lama Pak Urip meninggalkan rumah, bulir-bulir air hujan mengenai kulit kepalanya. Rasa dingin membuat tubuhnya sekilas menggeliat. Seakan tak ingin ketinggalan, petir menggelegar memenuhi pendengaran Pak Urip.Dirinya resah mencari tempat berteduh.
Dalam benaknya, ia hanya ingin melindungi sepeda ontel dengan kantung kanan kirinya yang penuh. Pak Urip berjalan tergesa-gesa tak karuan, ia tergelincir karena tanah basah yang sangat licin sekali. Terdengar suara gaduh ditengah derasnya hujan sore ini, tapi Pak Urip tak mampu untuk berteriak minta tolong.
Sementara itu, Laisa dan ibunya sampai di tempat pengumuman Lomba Sastrawan Cilik di Jakarta. Baju mereka lusuh dan setengah basah. Namun, mereka tak peduli, Laisa sangat bersemangat dan optimis akan memenangkan lombatersebut.
Sebelum berangkat, Laisa dan ibunya mampir ke rumah Pak Urip, ternyata Pak Urip belum pulang berkeliling. Karena khawatir akan semakin larut, akhirnya mereka pergi tanpa sepatah kata penyemangat dari Pak Urip.
“Ibu, perasaan Laisa kok tidak enak, ya?” tanya Laisa setelah mendapat tepat duduk di sebelah ibunya.
“Kau pasti menang, Sayang,” jawab ibunya setenang mungkin.
“Semoga saja, Bu.” Laisa tersenyum. Tapi bukan masalah kemenangan yang menghantui pikiran Laisa, melainkan Pak Urip. Segera Laisa mengusir semua pikiran kurang enak tentang dirinya.
“Juara 1 Lomba Menulis Puisi Sastrawan Cilik 2015 diberikan kepada Laisa Anitya dengan hadiah uang tunai sebesar Rp 20.000.000. Beasiswa pendidikan untuk bersekolah di sekolah pilihan di Jakarta beserta penerbitan buku sebanyak seratus salinan,” seru sang Juri di puncak acara.
Laisa menangis bahagia memeluk ibunya erat. Ibunya menangis sejadi-jadinya di pelukan Laisa. Namun, perasaan tak enak tentang Pak Urip masih menghantui Laisa. Laisa berniat membuatkan Pak Urip ruko untuk usahanya, di Jakarta sudah ada listrik. Pasti lampu-lampu akan sangat dibutuhkan oleh warga di sini. Laisa akan mengusulkan Pak Urip untuk menjual berbagai macam jenis lampu di ruko itu.
Keesokan harinya, Laisa dan ibunya segera mengunjungi rumah Pak Urip. Karena Laisa sudah bersekolah di Jakarta dan pendapatannya terus mengalir lewat buku terbitannya, maka Laisa harus meninggalkan Desa Ciburial.
“Loh kok, ada bendera kuning dimana-mana, Bu?” tanya Laisa saat perjalanan menuju rumah Pak Urip.
Resah menguasai wajah Ibu Laisa. Ia terus berjalan tanpa ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan Laisa kecilnya.
Sesampainya di rumah Pak Urip, suasananya tampak sepi tak berpenghuni.
Padahal Ibu Laisa yakin betul ada anak dan istri Pak Urip di dalam rumah. “Assalamualaikum,” seru Ibu Laisa cemas.
Tak perlu menunggu lama, istri Pak Urip membukakan pintu rumah mereka yang rapuh.
“Walaikumsalam,” jawabnya lesu.
Istri Pak Urip terlihat tak berdaya. Laisa melihat sepeda ontel Pak Urip menganggur di samping rumahnya.
“Bu, Pak Urip kemana?” tanya Laisa penasaran sekali.
Lantas istri Pak Urip menangis lara, meninggalkan beribu pertanyaan di ujung lidah Laisa dan ibunya. Resa yang bersembunyi di balik badan Ibunya angkatbicara.
“Bapak pergi, tadi Resa lihat Bapak dikubur. Kata Ibu, Bapak nggak akan pulang lagi.”
Kalimat Resa menusuk hati Laisa dan ibunya teramat dalam seperti ribuan samurai yang habis diasah. Pak Urip, sosok yang selalu ada di saat mereka membutuhkan apapun. Sosok tersabar yang pernah Laisa kenal setelah ibu dan Ayahnya.
Sosok yang rela menunggu orang lain memakai jasa lampu minyaknya, rela pulang malam demimengantri untuk beli satai padang untuk keluarganya. Sosok itu sudah pergi. Meninggalkan raga. Menuju tempat yang lebih indah yaitu surga yang diidamkan berjuta umat.
Pada akhirnya, Laisa dan ibunya tinggal bersama istri Pak Urip dan Resa di Jakarta. Ibu Laisa dan Istri Pak Urip bekerja banting tulang demi menghidupi sanak keluarga kecil mereka.
Laisa pun sudah giat bersekolah dan ia selalu mengajari Resa apa yang diajarkan di sekolah Laisa. Laisa yakin, Pak Urip akan menjaga kakicantik Laisa di surga agar Laisa dapat berlari senang di bentangan tanah surga. Laisa tersenyum sembari membayangkan wajah Pak Urip yang cerah memantulkan cahaya surga.
Sebuah karya cerpen berjudul ‘Lampu Minyak Pak Urip’ oleh Queen Oktaviani diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan