Dari ruang dapur segenggam kopi panas Kyra liat ditegok oleh seorang laki-laki di teras rumah. Kyra sudah mengira pasti dia adalah ayahnya. Melangkah kecil ke teras, heran di wajah ayah sangat jelas Kyra dapati. Mimik wajahnya sulit Kyra tebak.
“Kyra kenapa penampilanmu beda? Tidak seperti biasa.” tanya ayah Kyra.
“Beda gimana Ayah?” sambung Kyra dengan senyum tipis.
“Ya nggak semodis dulu! Biasanya kamu dalam rumah tidak pakai kerudung, sekarang seperti lebih kuno, mengikuti gaya-gaya wanita yang sudah tua. Pakai rok dipadu dengan kerudungmu itu.” tegur ayahnya kepada Kyra.
“Tapi ini pakaian normal bagi seorang muslimah lho Ayah, nyaman aja sih lebih sederhana dan menghindari dosa aja soalnya Kyra takut api neraka.” menarik napas sambil menjawab teguran ayah kepadanya.
“Sudahlah terserah kamu! Kamu juga yang akan rasakan gerah dan malunya. Jangan sampai kamu ikut terbawa dengan orang-orang sok agamis tapi ngawur.” jar ayah Kyra.
Kyra terdiam dan menunduk, mendengar ocehan ayahnya yang sama seperti ibunya, sama-sama menolak dengan penampilan barunya.
Gantungan itu tidak sempat Kyra ambil, tidak mampu menahan tangisnya. Dia langsung mendatangi ruang tidurnya.
Berlama di kamar membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. Sajadah dia hamparkan sebagai jalan penenang jiwa.
“Di kamar terus dia Ayah, tadi keluar sebentar makan saja. Tidak tahu sudah salat apa belum?” ungkap ibu sambil menyiapkan makan siang di ruang makan dengan mata sinis ke arah kamar anak perempuannya.
“ Kyraaa….Kyraa….Kyra…..Kyra!” teriak ayah dengan amarah pada anak tunggalnya.
Suara itu sangat terdengar jelas dan mengagetkan Kyra. Kyra tidak mampu untuk menjawab sapaan ayahnya.
Bagaimana mungkin Kyra menjawabnya dengan posisi sedang berhadapan dengan Tuhan. Salam saja tidak dia jawab, apalagi harus menjawab panggilan yang menyebut namanya.
Bukti dia telah melaksanakan salat dilepaskan, Kyra tidak ingin mukenah putihnya menjadi outfit ke ruang makan, cukup dengan kerudung instan itu. Ternyata penyesalan timbul ketika tidak rela membawa mukenah putih itu ke hadapan ayahnya.
“Kenapa Ayah panggil? Tadi Kyra sa…” suara pelan dari Kyra yang diputus oleh ayahnya.
“Kyra apa makan? Tidur? Main hp? Pakai kerudung di rumah bukannya baik malah jadi seperti orang tuli! Dipanggil jadi nggak dengar.” suara keras dari lisan ayah dan menatap tajam mata Kyra dengan mimik wajah merah di kulit coklat berkumis tipis.
“Iya, kamu kok tuli-tuli Kyra dipanggil! Durhaka kamu nggak nyaut ucapan orang tuamu ini.” sambung ibu dengan mata yang bersinis marah.
Kyra terdiam sambil menahan air mata. Kamar adalah ruangannya untuk berlari mencari ketenangan. Ruangan yang menjadi saksi tumpahan air matanya.