Lantera Nayanika

Sayup-sayup terdengar derap langkah dari ujung gang jalan, aku yang hendak membuka pagar setelah pulang kerja sekitar pukul 10 malam merasa tertarik dengan hal tersebut. Kupercepat tanganku membuka gembok besi pagarku namun batinku penasaran dengan bayangan tegap bertubuh agak kekar yang berjalan perlahan sempoyongan di bawah sinaran lampu jalan.

Karena rasa ingin tahu ku, aku pun perlahan mendekati sosok tersebut. Sedikit ragu mendekat, tetapi kulangkahkan sekali lagi kaki ku lebih dekat dengannya, brukk… ia ambruk jatuh ke depanku dan dengan tangan ringkihku aku meraihnya.

Betapa terkejutnya aku melihat wajahnya penuh dengan peluhan keringat dan darah yang mengalir deras dari pelipis sebelah kirinya hingga mengotori kaus putih miliknya.

Gejolak batin kembali terjadi padaku, rasa hati aku ingin menolongnya memberikan pertolongan pertama kemudian membawanya ke klinik terdekat, namun rasa takutku pun tak kalah dahsyatnya, aku takut jika ternyata ia adalah seseorang yang jahat atau bahkan buronan kelas kakap.

Aku amati lebih dalam perawakannya, kulit bersih kuning langsat, bulu mata tebal begitu pula dengan alisnya yang bagaikan diukir dengan tinta cina, hitam legam. Wajahnya pun menampakkan kesakitan yang luar biasa seakan menahan perih dan mengatakan “tolong aku”.

Doa ku panjatkan, aku memohon pertimbangan pada Yang Maha Kuasa, dengan tekad dan kekuatan dari Sang Hyang Widhi, ku pegang degup jantungnya, kurasakan embusan napasnya, dan aku rasa masih ada harapan untuk ia hidup maka aku memutuskan untuk membawanya ke rumah kontrakan ku untuk memberikan pertolongan, setelah itu jika ia belum siuman akan ku bawa ke klinik dekat rumahku.

Penuh kekuatan aku membopongnya dengan tangan kecilku yang berbanding terbalik dengan lengan kekarnya, sedikit aku rasa langkah ku menjadi dua kali lebih berat namun aku terus berusaha hingga sampai di depan rumah dan perlahan membuka pagar dan pintu rumahku.

Aku meraih tas kecil hitam di atas rak buku yang berisi obat-obatan seadanya yang aku siapkan sebagai antisipasi jika terjadi sesuatu padaku, ya, jiwa anak rantau memang terbiasa dengan menyiapkan semuanya sendiri dan mengatasi apapun sendiri.

Ku ambil pula satu baskom berisi air suam-suam kuku dan sehelai kain untuk membersihkan terlebih dahulu darah yang masih sedikit mengalir dan yang telah mengering di pipinya. Hingga selesai aku membersihkan darahnya ia nampak masih belum sadar, kemudian aku menuangkan sedikit obat merah dan kapas lalu menempelkan dan menekannya dengan kuat di bagian lukanya. Ternyata hal ini membuatnya sadar dan terbangun.

- Iklan -

”Hei!…” hardiknya.

Aku tetiba kaget dan tersentak ke belakang, hingga aku merasa aliran darahku terhenti seketika, aku terdiam kaku memeluk kedua kakiku karena merasa bersalah aku mungkin telah membuatnya kesakitan.

“M-maafkan aku, aku tidak sengaja, tolong ampuni aku, jangan bunuh aku”

Suaraku tersendat seakan leherku tercekat untuk berbicara menahan agar air mata tidak jatuh dari sudut mataku karena rasa ketakutan sedang meliputiku. Bagaimana tidak ketakutan? Jika seseorang tak kukenali di depanku ini bisa saja berbuat jahat padaku semau dirinya.

“Kau siapa ? Aku rasa tadi terakhir kali aku di pinggir jalan dan tidak ada siapa-siapa, kenapa kau ada di sini? Ini tempat siapa?” tanyanya sembari memegang luka di kepalanya.

“A-aku menolongmu, karena aku tidak sengaja melihat mu berjalan kesakitan melewati gang rumahku, kupikir kamu akan mati jadi aku menolongmu, agar aku tidak menyesal masih sempat menolongmu daripada hanya melihat kamu terbujur kaku di tengah jalanan gang. Kamu akan membunuhku?” tanyaku dengan riak wajah ketakutan.

“Omong kosong! Haha (tertawa terbahak-bahak), aku tidak akan berbuat jahat kecuali orang itu yang memulai jahat padaku, maka aku pasti akan tidak akan segan-segan menghabisinya!”.

Diam. Aku terdiam mendengar kalimat terakhirnya, walaupun aku sadar aku tidak berbuat jahat padanya tapi entah aku tetap merasa gusar dengan kehadiranya, aku masih takut jika ia tiba-tiba mencekikku atau lebih parah dari itu. Oh, Dewa. Lindungi aku!.

Sekitar 5 menit aku terdiam, ia pun sibuk meregangkan kakinya dan meraba luka di pelipisnya yang telah aku tutup dengan kapas dan obat merah, ia sesekali menatapku, tanpa sadar pun aku sesekali juga berpapasan pandangan, yang entah kenapa aku melihat matanya sangat indah dan memancarkan daya tarik sendiri meski ia saat ini sedang dalam kesakitan.

Tetapi aku tak terbiasa memandang wajah apalagi mata seorang pria yang membuatku malu hingga terus kusingkarkan pandanganku melihat ujung jari kakiku untuk menutupi rasa takut dan gugupku. Tak lama ia mulai membuka mulut seakan ingin berbicara.

“Kau tak ingin bertanya aku kenapa?” tanyanya dengan tegas

Aku sebenarnya penasaran apa yang terjadi padanya, namun aku ragu untuk bertanya padanya karena aku belum siap mendengarkan omongannya yang bisa saja membuatku jauh lebih takut daripada saat ini.

“Kau yakin tidak ingin bertanya apa yang terjadi padaku?”. Ia mengulang kembali

pertanyaannya dengan intonasi cukup tinggi. Aku rasa ia sudah sedikit membaik.

Aku menghela napas panjang. “Baiklah, ceritakan apa yang terjadi padamu hingga terluka seperti habis tawuran?”.

Ia tersenyum. “Nah, begitu lebih baik kan supaya aku juga tidak segan padamu. Sebelumnya perkenalkan namaku Rahman. Aku ini buronan yang baru saja berkelahi dengan orang jahat”.

Apa? B.U.R.O.N.A.N. Matilah aku!. Ternyata dia benar-benar seorang buronan. Tuhan, aku menyesal kenapa harus menolongnya, ah sudah benar kata Biyang harusnya aku hati-hati dengan orang asing yang tidak kukenali jangan asal menolong, ternyata fatal akibatnya bagi ku. Bagaimana yang harus aku lakukan? Apakah harus aku alihkan perhatiannya untuk menelpon Polisi? Atau lari sekuat mungkin mencari pertolongan?.

“Hei wanita! Kenapa melamun, kau dengar ceritaku?”.

“I-iya aku mendengarnya, k-ka-mu i-n-I b-b-uronan apa?”. Tergagap aku bertanya padanya.

“Duh, kamu ini kenapa? Oh, kamu pikir aku sejahat itu? Iya aku ini buronan, buronan Debt Collector karena aku berutang ratusan juta pada mereka untuk pengobatan Ibuku yang puluhan kali kemoterapi untuk menyembuhkan kanker otaknya lalu.

Aku terpaksa berutang pada mereka karena terdesak dan kupikir hanya pada bandit-bandit seperti itulah yang tidak memerlukan terlalu banyak pesyaratan administrasi untuk mendapatkan uang banyak dengan cepat”.

Ya, mendengar ini aku sedikit lega. Aku sekarang tahu jika ia buronan tapi bukan karena kasus kriminal luar biasa. Aku pun merasa iba dengan yang ia katakan dan aku merasa ia berkata jujur padaku.

“Lalu Ibumu sekarang bagaimana? Dan bagaimana caranya kamu bisa hidup tenang dengan dikejar terus-menerus seperti ini?”.

“Sudah meninggal, aku sendiri di sini, Ayah ku bekerja menjadi TKI di luar negeri dan hilang kabar sejak aku berusia 9 tahun hingga sekarang, 20 tahun berlalu seakan sangat cepat tanpa Ayah apalagi sekarang tanpa Ibu lagi. Aku pun rasa aku akan terus seperti ini sampai mereka lelah mengejarku”.

Ia menutup kalimat terakhirnya dengan tawa, seakan ia merasa hal ini sepele, hanya sekadar gurauan belaka. Tapi yang aku lebih yakin pasti ada terbesit rasa takut pula dalam dirinya jika ternyata sewaktu-waktu ia bisa saja mati di tangan para penagih hutang itu.

“Aku Tera. Aku belum lama merantau ke sini, sekitar 2 bulan yang lalu aku ke sini untuk

kerja. Aku seorang jurnalis di F-News”.

“Wah, hebat kau! Kerja di kantor, aku sih pengangguran haha”. “Mengapa tidak ingin kerja yang layak saja?”.

“Kau bercanda? Orang seperti ku, yang punya banyak masalah dikejar hutang ingin bekerja di tempat yang baik? MUSTAHIL!”.

“Kamu yang terlalu negatif sama dirimu, Tuhan itu selalu punya rezeki buat kita jika kita

berusaha selalu”.

“Ucapanmu hanya berlaku untuk orang baik, tampang neces, budinya baik. Bukan seperti ku yang luntang-lantung tidak karuan, berpindah sana-sini hanya untuk menghindari hutang”.

“Sstt. Sudah kamu mandi, akan kusediakan baju ku yang mungkin muat untukmu. Besok akan kuajak kamu jalan-jalan ke kantorku. Kebetulan kami mencari reporter tambahan. Biar aku coba untuk membantumu”.

Aku berniat menolongnya, karena aku yakin dia sebenarnya orang yang baik. Aku pun yakin dia lelaki yang berpotensi menjadi orang yang lebih baik. Aku yakin keputusanku tidak salah untuk ini.

“Berbual kau ini!. Sudah ku bilang aku bukan orang baik, aku ini gelandangan tak jelas. Kau sajalah yang kerja biar besok aku kembali dengan rutinitasku, bersembunyi dari kejaran para bandit-bandit tamak itu”. Jawabnya dengan ketus.

Aku pergi sejenak meninggalkannya masuk ke kamar almarhum Ayah untuk mencari pakaian yang kiranya pas untuknya. Mengacak sedikit lemari pakaian, aku menemukan sepasang kaus oblong dan celena pendek serta menyediakannya pula baju kemeja polos berwarna biru laut dan celana panjang hitam. Setelah itu, aku menutup kembali lemari dan beranjak keluar kamar menemuinya kembali.

“Ini pakai! (Menyodorkan pakaian). Setelah mandi, kamu ganti baju dan tidur. Besok kam ikut denganku memakai kemeja ini. Aku tidak ingin dengar kamu protes dan semacamnya, karena ini sudah larut malam aku ingin beristirahat”.

Ia ingin menjawab perkataanku, namun aku langsung megacungkan telunjuk ke depan bibirku memberi tanda untuknya agar tidak bicara kemudian menunjuk ke pintu kamar mandi seperti memberinya perintah untuk segera bangkit dan membersihkan diri. Aku memperhatikannya perlahan bangkit, mungkin ia pasrah karena sudah merasa lelah juga dan aku pun meninggalkannya menuju ke kamarku untuk beristirahat.

 

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU