Keesokan harinya, aku telah bersiap terlebih dahulu dan tepat waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Aku keluar untuk menghampiri Rahman, memastikan keadaannya baik-baik saja.
“Selamat Pagi, Tera. Lihat aku sudah rapi kan!”.
Ia mengucapkan itu diiringi dengan senyum tipis di wajahnya.
“Pagi, aku kaget kamu sudah rapi seperti ini, baiklah ini berarti kamu bersedia ikut denganku”.
“Siap, Bersedia!” jawabnya dengan lantang.
“Ayolah kalau begitu, kita berangkat. Ambil helm di rak itu (Menunjuk helm di atas meja).
Cepat supaya tidak telat, karena harus terbiasa tepat waktu sebagai seorang jurnalis”.
Ia mengikuti apa yang aku katakan, kami bersama-sama berboncengan menyusuri jalan dengan kepadatan kendaraan dan hiruk-pikuk perkotaan. Aku lebih banyak diam saja selama di atas motor karena tidak ingin berbicara apapun dan membiarkannya berkonsentrasi membawa motor. Begitu pula sebaliknya ia pun nampak tak mengeluarkan sepatah kata pun seakan memang tak ingin berbicara sama sekali.
1 jam pejalanan kami lewati dengan hanya terdiam hingga kami tiba di ruang redaksi F-News. Aku juga sebenarnya masih bingung apa yang perlu aku lakukan kepadanya, ada setitik rasa ragu jika ia ternyata hanya membuatku malu dan merusak ekspektasiku padanya. Usai memarkirkan motor, aku berbicara padanya sebelum masuk ke ruangan.
“Aku harap kamu bisa diajak kerja sama, tolong untuk tidak mempermalukanku. Ini
kesempatan pertama dan terakhir bagimu. Kamu paham?”.
Ia mengangguk cepat. “Aku paham! Serahkan saja padaku, aku tidak akan membuatmu menyesal!”. Jawabnya tegas dan percaya diri.
Kami bersama masuk ke ruangan, sontak semua mata tertuju pada kami dan aku sangat tahu bahwa mereka melirik kami karena penasaran dengan siapa yang di sampingku saat ini.
“Ra, itu siapa? Kok ganteng? Haha”. Tanya seorang rekanku dengan ekspresi menggoda,
bernama, Dila.
“Iya, Tera ini siapa, kenapa diajak ke sini? Oh calonmu?”. Sahut rekan yang lain.
Ramai orang-orang di ruangan saling berbisik bertanya-tanya dan ekspresi mereka seakan menunggu aku menjawab cecaran pertanyaan mereka ini. Aku menutup mata, kemudian membuka mataku dan menyebut Tuhan agar bantu aku menjelaskan ini.
“Ini, Rahman. Aku mengajaknya untuk bergabung di sini menjadi reporter, kebetulan kan
kita ingin menambah reporter kan?”.
“Oh, iya. Tera benar, kita langsung tes saja mungkin yah sembari belajar tentang dunia
jurnalis, mudah-mudahan ia bisa”. Jawab Dila.
Aku mengangguk dan mendorong lengan Rahman untuk ikut bersama Dila agar diajarkan sedikit mengenai jobdesk yang ia harus lakukan. Aku yakin dia bisa. Aku percaya ini bisa mengangkat sedkit derajat hidupnya. Riuh ruangan masih berlanjut ada yang memuji ketampanan Rahman, ada yang bergosip ria, ada pula yang menanyaiku apakah ialah calon pendampingku. Semuanya membuatku sedikit tidak nyaman, tetapi aku sudah terbiasa menjawab satu per satu pertanyaan mereka.
Kurang lebih 4 jam berlalu, Rahman keluar dari ruangan Dila dengan wajah sumringah ia menghampiriku.
“Sudah ku katakan aku tidak akan mempermalukanmu. Aku diterima!”.
“Syukur Tuhan, aku bahagia mulailah bekerja dengan baik dan jangan kendor kan semangatmu!”.
“Terima kasih, Tera aku berutang budi padamu”. Aku hanya tersenyum mengangguk dan mempersilakan ia untuk melakukan pekerjaannya.
Waktu demi waktu berlalu, walau ada masalah yang menghampirinya, aku turut membantunya bahkan aku pun pernah membantunya kabur dari kejaran para Debt Collector, aku pun berusaha selama 6 bulan ini menyembunyikan identitas dan keburukannya agar tidak merusak citra dirinya di mata rekan-rekan kantor. Ia berkembang dengan pesat menjadi pribadi lebih baik dari sebelum ketika awal aku mengenalnya.
Aku sering pergi bersamanya. Menonton bioskop bersama, makan bersama, berbelanja bersama dan semuanya hampir selalu bersama semakin akrab dan dekat. Bahkan berkali-kali aku menemaninya beribadah ke Masjid dan ia mengantarkan untuk sembahyang ke Pura. Aku merasa
aman dan nyaman setiap bersamanya. Sering kali ia bisa menjadi seperti Ayah bagiku, kadang pula menjadi teman curhat yang baik, dan menjadi pasangan suportif yang selalu mendukung langkah-langkah baikku. Hingga suatu ketika suatu keadaan mengubah kebersamaan kami.
“Aku rasa aku menyukaimu, Tera. Kau ingin bersama ku selalu? Menjadi bagian penting
dalam hidupku?”.
Aku terpaku. Tidak pernah aku memikirkan hal ini akan terjadi. Hyang Widi tolong aku, aku nyaman dengannya tapi aku tahu batas antar kita sangatlah jauh.
“Jawablah aku! Kau mau kan Tera? Selamanya hanya dengan ku?”.
Aku hanya diam dan berlari pergi meninggalkannya. Ia mengejar dan memanggilku. Namun aku tetap mengabaikannya tak menoleh sedikitpun. Tarikan batin berhuru-hara dalam ragaku, aku bingung yang mana aku pilih. Menghianati perasaanku atau menghianati Tuhanku?.
Sejak saat itu aku menenangkan diri izin cuti seminggu untuk hanya liburan di sebuah pulau tak jauh dari pusat kota. Aku benar-benar berusaha merilekskan diri. Segala macam kontak dan sosial medianya aku blokir dan pesan-pesan dari teman-temanku yang menyampaikan kekhawatiran Rahman padaku tidak ada satupun yang aku gubris. Aku merasa jahat. Tapi ini aku lakukan dengan harapan kami bisa sama-sama membuang perasaan ini.
Aku berusaha pulang dan menikmati rutinitasku kembali. Anehnya aku pun tidak melihat Rahman lagi di ruanganku. Aku mencari tahu keberadaannya tapi tak satupun rekan kantor yang mengetahui ia sekarang berada di mana. Ia pergi begitu saja tanpa pamit menyisakan tanda tanya kepada kami semua. Kemana perginya Rahman? Apakah ia masih hidup?.
5 hari tanpa kehadirannya di ruangan, aku memutuskan pergi ke Pantai tempat kami selalu menghabiskan senja bersama. Dan kejadian yang tak terduga terjadi, aku memandang siluet tubuh yang kukenali dari kejauhan menatap langit kemerah-merahan di depannya. Aku berlari sekencang-kencangnya.
“Rahman!…”. teriakanku memecahkan kesunyian. Semua pengunjung melirikku.
“Tera!” ia mendekap tubuhku seperti mencurahkan semua rasa rindunya selama ini. “Aku
mecarimu! Aku sadar apa yang kuperbuat”.
“Aku yang salah, Rahman. Tidak seharusnya aku bertindak sebodoh ini.”
“Kau tidak pernah salah, Tera (tersenyum memandangku). Kau yang sudah baik sekali padaku, mengubah cara pandangku memandang hidup. Kau yang membangkitkan aku seperti saat ini.”
“Kalau begitu kembali lah Rahman, kita kembali seperti dulu lagi”. Ia perlahan melepas genggamannya.
“Aku begitu naif, Teras. Jarak antara kita begitu jauh. Aku tidak mungkin memisahkan mu dari Tuhanmu begitu pula kau pun tentu tak mungkin memisahkanku dengan Tuhanku. Agama dan cinta sebenarnya bisa diselaraskan memang tapi ada pertimbangan yang tidak mungkin membuatku menjadi lebih dekat lagi denganmu.
Rasa ini tidak salah. Aku saja yang tidak bisa menahan diri mengatakannya hanya untuk mempertahankan kebersamaan kita. Biar kita jalani masing-masing hidup kita saat ini.
“Agama tidak pernah menjadi penghalang manusia untuk bersatu. Kita saling menghargai dalam kebersamaan, aku mohon kita kembali bersama”.
“Dengarkan aku baik-baik. Berpisah memang menyakitkan, tapi percaya jika kita terus bersama akan jauh lebih menyakitkan. Aku mengucap selamat tinggal padamu untuk pertama dan terakhir kalinya, Tera. Tolong jaga dirimu baik-baik”.
Ia benar-benar secepat mata pergi meninggalkan ku yang tersungkur menangis di pinggir pantai hanya deburan ombak yang meredam tangisanku. Sakit, melihat ia memunggungiku dengan sesuka hatinya. Namun aku rasa yang ia katakan juga ada benarnya.
Berusaha untuk melupakan memang akan menjadi sulit jika masih tetap terus bersama. Sejak saat itu aku benar-benar tidak pernah melihatnya lagi. Akankah di kemudian hari aku bertemu kembali? Hanya Tuhan yang tahu jawabannya.
Penulis : Afiah Musrifah