Penghasilan Urip dari mengamen lumayan sejak pagi. Sarapan ia hanya membeli dua potong tahu isi dan segelas teh hangat. Urip bertahan sampai siang. Keluar dari gedung kosong Urip langsung bekerja memasuki pasar. Urip mengamen dari satu kios ke kios lainnya. Seluruh pasar ia kelilingi.
Setelah dari pasar baru Urip menuju rumah penduduk di belakang pasar. Urip berkeliling tanpa lelah. Urip ingin memiliki uang lebih untuk membeli keinginan hatinya sejak seminggu lalu. Urip masih terkenang pembicaraannya dengan Abah Mahmud Minggu lalu.
“Buku Belajar Elektronik itu berapa, Abah?” tanya Urip maju mundur. Abah Mahmud seperti tidak mendengar suaranya. Abah Mahmud sibuk di dalam lapaknya.
Urip ingin mengulangi pertanyaannya kembali. Tetapi ia urungkan. Urip merasa pemilik lapak itu sedang tidak enak hati. Terlihat dari sikapnya seakan tidak merasa dirinya ada. Urip bertahan untuk menunggu. Boleh jadi pemilik lapak ini mengenal wajahnya atau tidak asing dengan dirinya.
Tentu saja, Urip sering lalu-lalang melewati lapak Abah Mahmud. Urip menumbuhkan keberaniannya kembali. Selama ia tidak mencuri tidak perlu ada yang ia takutkan. Urip mengatur napas untuk mengeluarkan suara kembali.
“Abah Mahmud, bera…”
“Apa kau mau beli? Kau ada uang rupanya? Selain itu, untuk apa perlunya kau dengan buku, heh! Kau salah satu pengamen dari kelompokmu itu, kan? Sudah sana pergi! Kau membuang waktuku percuma saja.” potong Abah Mahmud ketus.
Urip tergagap mundur. Urip tidak memperkirakan menerima perlakuan kasar seperti itu. Urip berusaha menguasai diri. Bisa jadi, Abah Mahmud pernah kecewa dengan salah satu teman pengamen dari kelompoknya atau ada dari mereka yang menyenggol buku-buku yang menggantung saat lewat.
Lapak ini memang penuh sesak buku. Dari dalam sampai pinggir aspal penuh dengan buku. Bahkan di luar sini buku tersusun sangat tinggi. Urip memilih mengalah. Urip tidak ingin mencari masalah dengan Abah Mahmud. Sebab Urip sangat menyukai buku-buku bekas yang bertumpuk-tumpuk itu.
“Saya akan mengumpulkan uang lebih dahulu, Abah. Sebab itu saya ingin tahu harganya. Bolehkah saya tahu harganya, Abah?” Urip tetap bersikap sopan. Tiba-tiba Abah Mahmud mengangkat dagunya. Tegas Abah Mahmud menatap dirinya.
Urip tidak gentar. Prinsipnya tetap sama, selama ia tidak mencuri atau berbuat tidak baik, tidak perlu takut akan hal apa pun. Urip tetap berdiri di tempatnya. Kali ini Urip dengan gagah melihat ke arah Abah Mahmud. Cukup lama Abah Mahmud mengamati dirinya.
“Tujuh belas ribu saja untukmu. Apa kau bisa mencarinya?” ujar Abah Mahmud sinis.
“Terima kasih Abah. Minggu depan saya akan beli buku itu. Tolong simpan untuk saya. Buku itu untuk saya Abah.” jawab Urip penuh percaya diri.
Abah Mahmud tidak mengubris. Dia kembali sibuk dengan kertas-kertas di mejanya. Urip tetap meninggalkan kesan sopan pada Abah Mahmud. Urip tetap mohon izin sebelum meninggalkan lapak itu. Urip berjalan cepat bersama segenap keinginannya untuk membeli buku bekas itu.
Urip mengintai kembali Suasana lapak itu. Kini lapak itu sudah benar-benar terbuka dan siap menunggu pembeli. Lapak itu memang buka pagi dan sore hari. Siang hari lapak itu tutup sampai jam tiga sore. Sebentar lagi saja. Urip bersabar menahan kakinya untuk segera melangkah.
Lapak itu seperti kios-kios sejajarnya dibangun secara serampangan. Mereka membangun tepat di pinggir rel kereta api. Bangunan liar sebenarnya. Lapak itu unik sendiri karena kios-kios di kanan kirinya lebih cenderung berjualan makanan dan kios grosiran. Bahkan di ujung lapak itu ada kios tambal ban yang kadang cukup ramai juga.
Urip menunggu sampai lapak itu sepi pembeli. Sepasang remaja tampak serius berbicara dengan Abah Mahmud. Urip tidak ingin ada orang lain melihat dia diperlakukan kurang sopan oleh Abah Mahmud. Tidak lama sepasang remaja itu pergi. Urip segera menyelesaikan misinya.
“Abah Mahmud, saya mau mengambil buku Belajar Elektronika. Pesanan saya seminggu lalu. Bukunya masih ada, Abah?” Urip membuka suara begitu berada di tengah lapak itu.
Abah Mahmud menoleh terkejut. Ruang dalam lapaknya cenderung gelap. Perlu beberapa detik ia mengenali suara dari orang yang berdiri di tengah lapaknya. Melihat kaos yang orang itu kenakan Abah Mahmud langsung sadar. Anak jalanan itu lagi. Abah Mahmud menoleh ke sudut lapaknya. Buku itu masih tergantung rapi di dalam plastik berdebu.
“Kau sudah punya uang?” tanya Abah Mahmud curiga.
Urip merogoh kedua saku celananya. Cekatan Urip menyusun rapi uang-uang miliknya. Urip juga merogoh saku celana bagian belakang. Sengaja Urip simpang uang kertas berjumlah genap di saku celana belakang. Uang itu terkumpul sesuai jumlah yang dikatakan Abah Mahmud Minggu lalu.
“Uangnya Abah.” Urip menyodorkan kumpulan uangnya dengan sopan.
Abah Mahmud menarik buku yang tergantung itu dengan pengait miliknya. Buku itu ia raih dengan tangan kiri. Setelah pengait itu ia kembalikan ke tempatnya Abah Mahmud memberikan buku itu di depan Urip. Sikap Abah Mahmud menunjukkan rasa tak suka.
“Uangnya Abah,” ujar Urip kembali. Abah Mahmud menerima tanpa menghitung terlebih dahulu. Bahkan Abah Mahmud tidak melihat sama sekali pada pembelinya.
“Terima kasih, Abah.” ucap Urip penuh rasa gembira. Sejenak Abah Mahmud tercenung di tempatnya. Abah Mahmud sadar akan sikapnya. Tetapi bocah ini tetap sopan.
“Mau kamu apakan buku itu?” tanya Abah Mahmud penasaran.
“Radio teman saya rusak. Dia sangat sedih. Saya ingin membantunya.” Senyum Urip.
Abah Mahmud terkesiap. Abah Mahmud masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Sejenak ia mengamati anak jalanan itu. Umurnya paling sekitar empat belas tahun. Penampilannya cukup bersih walau baju yang ia kenakan selalu itu-itu saja.
Abah Mahmud kenal kelompok anak jalanan ini, posturnya ceking. Satu yang unik dari anak jalanan ini. Matanya bercahaya dan tampak kecerdasan di sana. Abah Mahmud menghela napas berat. Abah Mahmud kenyang dengan segala masalah sosial di depan hidungnya.
“Apa kau bisa membaca?” Suara Abah Mahmud mengurungkan langkah Urip. Mau tidak mau Urip membalikkan badan melihat pada Abah Mahmud.
“Bang Jampang mengajari kami membaca.” jawab Urip bungah.
“Jampang! Maksud kau, Jampang penghuni gerbong rusak di ujung sana?” suara Abah Mahmud sedikit bergetar.
“Betul Abah. Bang Jampang menempa kami dengan keras. Sore pulang dari mengamen kami harus segera mandi bersih. Setelah itu kami wajib memasuki rumahnya di dalam gerbong rusak itu. Kami diminta duduk melingkar. Bang Jampang dengan keras mengajari kami membaca. Bang Jampang ingin kami bisa membaca. Bang Jampang tidak ingin kami buta huruf. Bang Jampang benar-benar mendidik kami dengan keras Abah.” ungkap Urip tegas bernada bangga.
Abah Mahmud lama terdiam. Berita itu sudah menjadi cerita dari mulut ke mulut perihal Jampang. Pria bertato sebesar raksasa itu sangat ditakuti orang-orang sepasar. Sekitar pasar, rumah-rumah kumuh di samping rel kereta api, sampai perbatasan kampung sebelah, keamanan sangat terjamin sejak ada Jampang yang mengaturnya.
Jarang terjadi pencopetan. Pertikaian di warung remang-remang. Tidak pernah orang kuat menindas orang lemah selama ada Jampang. Siapa sangka di balik itu semua, Jampang memiliki keluhuran budi untuk mengajari anak-anak jalanan yang datang entah dari mana saja. Bukan itu saja, setiap ada orang yang kemalingan apa saja, begitu melapor pada Jampang, tidak perlu lama, barang hilang itu segera kembali. Jampang sangat terkenal. Abah Mahmud tahu sekali itu.
“Sayang Bang Jampang sudah Almarhum, Bah. Keadaan berubah total sejak Bang Jampang tidak ada. Tetapi saya bangga, karena kami bisa membaca karena Bang Jampang. Saya tidak mungkin lupa untuk semua nasihat Bang Jampang selama mendidik kami. Saya ingin meneruskan sikap Bang Jampang, menolong sesama teman sebisa mungkin. Saya membeli buku ini untuk menolong teman saya yang sangat sedih radio kesayangannya rusak. Saya ingin belajar dari buku ini, Abah.” Urip tersenyum pada Abah Mahmud.
Abah Mahmud tersenyum haru setelahnya. Bola mata bocah ini benar-benar berbeda. Abah Mahmud melihat kecerdasan di dalamnya. Cerita hidup menyebabkan anak ini hidup di jalanan. Abah Mahmud menyakini, andai saja anak ini sekolah dengan baik, niscaya masa depannya pasti sangat baik. Tulisan tangan menjadikan anak ini hidup di jalanan.
Abah Mahmud bergerak menuju buku-buku bacaan bekas miliknya. Abah Mahmud mengambilnya setumpuk secara cepat. Urip memperhatikan tindakan Abah Mahmud heran.
“Bawalah buku ini, baca bersama teman-temanmu.” Senyum Abah Mahmud.
Urip pulang dengan gembira ke rumah perkumpulan mereka. Gedung kosong yang tidak selesai dibangun karena sengketa yang tidak jelas. Banyak tuna wisma berkumpul di sana. Nyaris seluruh lantai gedung kosong itu di tempati orang-orang dari berbagai penjuru.
Urip bersama kelompoknya ikut menempati di sana. Tidak ada yang bertanggung jawab di gedung kosong itu. Aturan tidak tertulis adalah, setiap saat mereka harus cepat meninggalkan gedung kosong itu apabila ada satpol PP datang secara tiba-tiba. Sesama penghuni biasanya saling info untuk hal-hal penting seperti itu.
Urip membawa buku setumpuk. Malam hampir menjelang. Di tempat mereka hanya ada satu bola lampu menyala hasil dari rakitan Urip mengambil saluran dari lampu penerangan jalan. Urip dengan kepintarannya menarik arus listrik untuk menerangi bedeng- bedeng mereka. Urip memperlajarinya dari buku. Urip di sambut beberapa anak yang sudah sampai di tempat perkumpulan mereka.
“Kamu bawa apa?” tanya salah satunya.
“Buku bacaaan. Ayo, kita kembali seperti masa-masa bersama Bang Jampang. Kita membaca buku. Kebetulan Lapak Abah Mahmud memberikan setumpuk buku ini secara gratis. Ayo, semua harus membaca!” ajak Urip tegas. Dia teringat cara-cara Bang Jampang.
Semuanya berlari mendekati Urip. Mengambil tumpukan buku dari tangannya. Mereka begitu senang menerima buku itu. Saling berebut mencari buku sesuai kesenangan masing-masing. Buku itu cukup banyak. Semua anak yang ikut berkumpul kebagian buku untuk dibaca. Urip terharu menyaksikan teman-temannya masih sangat mencintai buku. Buku Belajar Elektronika sudah ia pegang sejak tadi. Lelahnya terbayar dari antusias kelompoknya.
Suasana beruabah hening. Abak-anak mencari tempat masing-masing untuk membaca. Urip membiarkan teman-temannya asyik dengan buku hasil pinjaman dari Abah Mahmud. Urip ingin segera mandi lalu membaca buku yang ada di tangannya untuk memperbaiki radio milik Harso sahabat baiknya.
Sampai tengah malam Urip mengotak-atik radio itu dengan tekun. Berulang kali Urip membaca buku yang terbuka secara cermat. Malam sudah tinggi. Teman-teman Urip sudah tidur bersusun. Urip masih berusaha memperbaiki radio milik Harso. Di tengah keseriusan Urip membaca bukunya, dari kejauhan Urip mendengar suara-suara cukup ramai.
“Satpol PP, Satpol PP! Satpol PP!!” teriak orang-orang dari ujung gedung. Tidak butuh waktu lama suara gaduh itu kian merebak ke mana-mana. Seluruh gedung panik!
Urip terkejut mendengar kegaduhan itu. Sepontan beberapa teman Urip terbangun merasakan kegaduhan itu. Urip berlari ke depan lorong, satu kompi berseragam ada di sana.
“Satpol PP!” teriak mereka berbarengan. Urip ikut mengggerakkan teman-temannya.
Seketika semuanya berhamburan mencari jalan keselamatan. Saling membangunkan yang lain, lalu bersama-sama mencari jalan untuk melarikan diri. Teriakan satu sama lain saling mengingatkan, gaduh! Urip tercengang lama! Radio Harso masih terbuka. Buku-buku pinjaman dari Abah Mahmud berhamburan di mana-mana. Seseorang menarik paksa tangannya. Urip terhuyung. Urip terus memikirkan radio Harso dan buku-buku pinjaman itu!
sebuah karya cerpen yang berjudul ‘Lapak Abah Mahmud’ oleh Ricardo Marbun yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan