Oleh Akhuukum Fillaah:
Abu Hashif Wahyudin Al-Bimawi
بسم الله الرحمن الرحيم
الســـلام عليــكم ورحــمة اﻟلّـہ وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَ نَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لا نَبِيَّ بَعْدَهُ
Orang-orang yang beriman adalah objek utama yang akan terus dicari aibnya, yaitu dengan cara Tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain).
JANGAN SELALU MENARUH CURIGA (PRASANGKA BURUK)
Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
“Waspadalah dengan buruk sangka karena buruk sangka adalah sejelek-jeleknya perkataan dusta.” *(HR. Bukhari no. 5143 dan Muslim no. 2563)
Prasangka yang terlarang adalah prasangka yang tidak disandarkan pada bukti. Oleh karena itu, jika prasangka itu di nyatakan pasti (bukan lintasan dalam hati), maka di namakan kadzib atau dusta. Inilah yang di sebutkan dalam Fathul Bari karya Ibnu Hajar.
MENARUH CURIGA PADA ORANG BERIMAN
Larangan berburuk sangka dan tajassus di sebutkan dalam ayat Al-Qur’an:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَلَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ
Wahai orang-orang yang beriman…! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati…? Tentulah kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, Sungguh, Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang. [Qs. Al-Hujurat (49) : 12]
Sebagaimana di sebutkan dalam Tafsir Al-Jalalain, menaruh curiga atau prasangka buruk yang terlarang adalah prasangka jelek pada orang beriman dan pelaku kebaikan, dan itulah yang dominan di bandingkan prasangka pada ahli maksiat. Kalau menaruh curiga pada orang yang gemar maksiat tentu tidak wajar. Adapun makna, janganlah ‘tajassus’ adalah jangan mencari-cari dan mengikuti kesalahan dan ‘aib kaum muslimin.
Sebagaimana di sebutkan dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, tajassus -seperti kata Imam Al-Auza’i- adalah mencari-cari sesuatu. Ada juga istilah tahassus yang maksudnya adalah menguping untuk mencari-cari kejelekan suatu kaum di mana mereka tidak suka untuk didengar, atau menguping di depan pintu-pintu mereka. *(Demikian di riwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim).
AKIBAT BURUK TAJASSUS
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallaahu ‘anhuma, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنِ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ ، صُبَّ فِى أُذُنِهِ الآنُكُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa menguping omongan orang lain, sedangkan mereka tidak suka (kalau di dengarkan selain mereka), maka pada telinganya akan di tuangkan cairan tembaga pada hari kiamat.” *(HR. Bukhari no. 7042)
Imam Adz Dzahabi mengatakan bahwa yang di maksud dengan al-aanuk adalah tembaga cair.
Yang namanya tembaga cair tentu saja dalam keadaan yang begitu panas. Na’udzu billah…!!
Ibnu Batthol mengatakan bahwa ada ulama yang berpendapat:* hadits yang ada menunjukkan bahwa yang mendapatkan ancaman hanyalah untuk orang yang “nguping” dan yang membicarakan tersebut tidak suka yang lain mendengarnya.
Namun yang tepat jika tidak di ketahui mereka suka ataukah tidak, maka baiknya tidak menguping berita tersebut kecuali dengan izin mereka. Karena ada hadits di mana Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa terlarang masuk mendengar orang yang sedang berbisik-bisik (berbicara empat mata). Seperti ini di larang kecuali dengan izin yang berbicara. *(Demikian diterangkan oleh Ibnu Batthol dalam Syarh Shahih Al-Bukhari)
Dari Mu’awiyah, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّكَ إِنِ اتَّبَعْتَ عَوْرَاتِ النَّاسِ أَفْسَدْتَهُمْ أَوْ كِدْتَ أَنْ تُفْسِدَهُمْ
“Jika engkau mengikuti cela (kesalahan) kaum muslimin, engkau pasti merusak mereka atau engkau hampir merusak mereka.” *(HR. Abu Daud no. 4888. Al Hafizh Abu Thohir menyatakan bahwa hadits ini shahih). Ini juga akibat buruk dari mencari-cari terus kesalahan orang lain.
KALAU CURIGA ADA BUKTI, ITU BOLEH
Dari Zaid bin Wahab, ia berkata:
عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ قَالَ أُتِىَ ابْنُ مَسْعُودٍ فَقِيلَ هَذَا فُلاَنٌ تَقْطُرُ لِحْيَتُهُ خَمْرًا فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ إِنَّا قَدْ نُهِينَا عَنِ التَّجَسُّسِ وَلَكِنْ إِنْ يَظْهَرْ لَنَا شَىْءٌ نَأْخُذْ بِهِ
“Ibnu Mas’ud Radhiyallaahu ‘anhu telah di datangi oleh seseorang, lalu di katakan kepadanya, “Orang ini jenggotnya bertetesan khamr.” Ibnu Mas’ud pun berkata, “Kami memang telah di larang untuk tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain). Tapi jika tampak sesuatu bagi kami, kami akan menindaknya.” *(HR. Abu Daud no. 4890. Sanad hadits ini dhaif menurut Al-Hafizh Abu Thohir, sedangkan Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanadnya shahih).
Sebagaimana di sebutkan oleh Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin bahwa terlarang berburuk sangka pada kaum muslimin tanpa ada alasan yang mendesak.
MULAI BELAJAR UNTUK HUSNUZHON
Contohnya belajar untuk husnuzhon, terhadapa makanan kaum muslimin saja kita di perintahkan untuk husnuzhon. Jangan terlalu banyak taruh curiga tanpa bukti.
*عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ قَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لاَ نَدْرِى أَذَكَرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوه
Dari ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anha, ada suatu kaum yang berkata, “Wahai Rasulullah, ada suatu kaum membawa daging kepada kami dan kami tidak tahu apakah daging tersebut saat di sembelih di bacakan bismillah ataukah tidak.” Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Ucapkanlah bismillah lalu makanlah.” *(HR. Bukhari no. 2057).
LEBIH BAIK MEMIKIRKAN AIB SENDIRI
Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata:
يُبْصِرُ أَحَدُكُمْ القَذَاةَ فِي أَعْيُنِ أَخِيْهِ، وَيَنْسَى الجَذَلَ- أَوِ الجَذَعَ – فِي عَيْنِ نَفْسِهِ
“Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” *(Di riwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 592. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih).
Perkataan Abu Hurairah di atas sama seperti tuturan peribahasa kita: “Semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak.”
Itulah kita, seringnya memikirkan aib orang lain. Padahal hanya sedikit aib mereka yang kita tahu. Sedangkan aib kita, kita sendiri yang lebih mengetahuinya dan itu begitu banyaknya.