Keadaan di mana aku harus menerima kenyataan pahit . Sahabatku harus pergi untuk selamanya, tenang di pangkuannya.
Aku butuh beberapa waktu untuk mengikhlaskanya. Mengapa aku harus bertemu dengan sosok yang sama di saat ini. Rupanya seakan satu, seakan iya hadir kembali di dunia ini. Mengapa. Mengapa aku harus memutar memori itu kembali. Membuatku teringat waktu itu.
Terngiang diingatanku hari itu adalah hari pertama ku masuk sekolah lagi setelah dua Minggu terbaring di rumah sakit. Kutatap setiap pojok ruang kelas. Suasana kelas yang berbeda tak seperti biasanya. Aku menolehkan pandanganku ke kiri tepat di sampingku ada sosok baru bagiku.
“Siapa dia?” tanyaku dalam hati.
Aku yang belum bisa berbicara banyak saat itu, dan belum sempat menanyakan siapa gerangan dirinya.
Ku tangkap tatapan matanya yang selalu tertuju padaku. Seolah iya membalikkan pandangannya, sontak bertingkah aneh tak semestinya.
Tanpa ku  berbicara,  teman yang  duduk  sebangku  denganku  seolah  mengerti isyarat dariku yang ingin tahu tentang sosok baru itu. Iya menceritakan semua yang terjadi semenjak aku tidak masuk sekolah. Hingga mengapa ada sosok baru itu di dalam kelas kami ( kelas 11 MIPA 1).
Aku hanya bisa mendengar semua ocehan temanku ini, nyambung tidaknya itulah ciri khasnya, tanpa ku tanggapai sedikitpun dari penjelasanya itu.
Ternyata sosok baru ini bernama Rama Fahmi. Siswa pindahan rupanya. Namun sayang namanya tak serama orangnya. Itu menurut pandanganku saat pertama melihatnya.
Keesokan harinya aku mulai berpikir untuk bangkit kembali. Tidak semestinya aku selalu tampak lemah dan lesuh setiap hari. Itu bukanlah aku yg dulu.
Ku coba kembalikan semangat dan keceriaan ku yang pernah hilang.
Hari itu kelas dimulai jam 07:30. Aku sudah berada di kelas sebelum itu. Pelajaran bahasa Inggris pun dimulai lagi-lagi ada yang aneh di dalam kelas, sosok Rama yang di ceritakan temanku kemarin tidak terlihat.
Aku mulai bertanya-tanya dalam hati.
“orang  itu  memang  ada  atau  hanya  halusinasi  saja,  seperti  biasanya  yang  aku alami?”tanyaku dalam hati.
Berselang beberapa waktu Rama pun datang. “Iya. Ini dia, ini bukan halusinasi ternyata”
kataku lagi dalam hati setelah iya mengetuk pintu kemudian masuk.
Berbagai pertanyaan dilontarkan guru kepadanya, sesekali iya senyum tak ikhlas. Seakan beban hidupnya menggunung tinggi.
Kutatap wajahnya saat berbicara. Kubaca bahwa dia orang yang menyimpan banyak luka. Entah apa itu, aku penasaran dengan kehidupannya.
**