Lorong Waktu

Terasa baru kemarin kabar duka itu menggema ditelingaku.

Tak butuh beberapa hari aku dan Rama mulai dekat seperti aku dengan teman yg lainnya. Rama yang saat itu selalu menyendiri pun mulai beradaptasi dengan teman barunya. Perlahan tapi belum pasti. Namun lagi-lagi keanehan itu ada.

Mengapa teman yang lain selalu memojokkan Rama dengan masalah. Seolah-olah mereka tidak senang dengan keberadaan Rama disini. Mereka jengkel dengan Rama yang selalu terlambat dan jarang mengumpulkan tugas. Begitupun dengan guru-guru yang mengajar. Anggapan mereka tentang Rama selalu berlebihan.

Aku bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi mengapa pandanganku terhadap Rama beda dengan pandangan mereka. Bahkan Rama selalu dijadikan bahan bulian bagi mereka.

Semenjak itu, Rama banyak berbicara tentang kehidupannya padaku, dia percaya akulah orang yang paling bisa mengerti tentang dirinya. Aku pun perlahan menjelaskan sedikit tentang Rama kepada teman-teman ku, perlahan sebagian dari mereka paham dan mulai simpati dengan keadaan Rama. Tapi tak semua ku ceritakan, karena ada yang perlu dirahasiakan dan Rama memintaku agar tidak menceritakan semuanya.

Kehidupan yang dialaminya ternyata membuatnya tepukul, keluarganya sudah tak terarah dan banyak masalah. Ibunya sedang sakit keras dan ayahnya berada di dalam jeruji besi. Tidak ada lagi yang menafkahi hidupnya.

Namun harapannya untuk sekolah masih ada. Sesekali ia menatapku kemudian tersenyum seolah menghilangkan beban pikirnya. Aku paham apa yang dia alami. Aku pun membalas senyumnya dan memukul pundaknya. Sontak iya merasa kesakitan dengan pukulanku yang secepat kilat itu.

Satu semester pun sudah   kami lalui. Tak terasa waktu begitu singkat. Dengan waktu

yang kurasa singkat itu, aku sudah mengetahui banyak tentang kehidupan Rama. Seakan akulah malaikat pencatat alur hidupnya. Kutau semua tentang dirinya dari cerita dan curhatannya selama ini.

Akhir semester itu ku beranggapan akan ada keajaiban yang akan mengubah pandangan orang-orang terhadap Rama. Namun tidak sesuai dengan realita. Satu masalah muncul, dan satu kelas mencap merah Rama dibalik semua ini. Masalah ini ditutupi dan diusahakan agar satu sekolah tidak tahu. Hanya teman kelas dan sebagian guru yang tau. Masalah ini memang serius. Tapi lagi-lagi aku tidak percaya jika Rama dibalik semuanya.

- Iklan -




Sepulang sekolah aku memintanya untuk menungguku di ruang kelas.

“Jangan langsung pulang, ada yang harus kau jelaskan dan kau luruskan. Aku akan ke ruang guru mengembalikan buku ini dulu”.

Kataku padanya.

“Iya”. Katanya singkat. Sambil tersenyum.

Bisa-bisanya dia masih tersenyum dengan keadaan yang kuanggap serius ini.

Aku dan teman sebangkuku menghampirinya kemudian memintanya duduk. Aku disini berperan seolah jaksa yang menanyakan selut belut dari permasalahanya. Dia hanya bisa tersenyum. Dari sekian banyak yang kutanyakan iya hanya berkata

“Apakah kalian percaya aku melakukan hal ini ?”.

Setelah semua pertanyaan itu ku kuak dihadapannya, ku sangkut pautkan semua dengan fitnahan yang ada. Tampak butiran air yang terbendung di atas kantong matanya. Dia mungkin berfikir mengapa aku teman dekatnya mula tidak percaya lagi dengannya.  Bukan  ku  tidak  percaya,  akan  tetapi  aku  hanya  butuh  penjelasan  dan ungkapan langsung darinya bahwa bukan dia pelakunya.

Melihat matanya yang mulai memerah. Aku menghentikan semua pertanyaanku. Aku yakin bukan dia dibalik semua ini. Saat pertanyaanku kuhentikan, dia pun mulai menjawab dengan nada rendah. Dia menyanggah semua tuduhan dariku.

Dan menjelaskan mengapa ada sangkut paut dirinya dengan masalah itu. Dia hanya difitnah dengan tuduhan-tuduhan yang tidak pernah dia lakukan. Banyak orang yang tidak suka dengannya dan selalu ingin menjatuhkannya tapi dia mencoba untuk selalu tegar.

Akhir perkataanya saat itu dihadapanku dan teman sebangkuku. “Hargai aku selagi aku masih ada. Dan jangan tangisi aku ketika aku sudah tiada”.

Seolah aku merasa sangat bersalah dengan apa yang sudah kulakukan, mengapa aku harus terpengaruh dengan perkataan orang-orang diluar sana. Air mataku pun mulai menetes  karena  sudah  tak  sanggup  ku  bendung  lagi,  dengan  perkataanya  seolah menandakan isyarat.

Akupun meminta maaf, dan berjanji tidak akan memvonis sesuatu sebelum ku selidiki. Dan aku akan selalu percaya padanya karena kepercayaan itu pun sudah digenggamnya. Setelah itu kami bertiga pulang kerumah masing-masing.

Memasuki  semester  genap,  semua  akhirnya  berjalan  semestinya,  tak  terdengar  lagi ocehan dari teman-teman yang lain tentang kejadian yang pernah ada. Semua terasa layak damai dan tentram.

**

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU