FAJARPENDIDIKAN.co.id – pertarungan narasi di dunia maya rupanya sama sengitnya seperti di Gaza dan masjid Al Aqsha.
Gal Gadot, Wonder Woman terpaksa menutup akun komentarnya di twitter karena tidak sanggup menghadapi komentar, celaan dan gertakan para netizen yang kritis.
Mike Pence, wapres AS ke-48, pemilik akun twitter dengan hampir 6 juta pengikut harus tersapu badai 60 ribu komentar yang bernada hujatan karena mentweet:
“Mike Pence Stands with Israel”. (Saya bersama Israel)
Hanya ada satu respon positif, ucapan terima kasih dari Yair Netanyahu, anak PM Israel, namun 98 persen tweet selebihnya bernada kecaman dan caci maki.
Dari observasi permukaan, saya kira tahniah (respect) patut diberikan kepada pegiat sosial media jiran Malaysia. Mereka tampaknya berada di balik gelombang badai dan arus baru kesadaran ‘intifadhah’ sosial-media ini.
Secara umum, ada perlakuan tidak adil dari perusahaan dan regulator sosial media atas nama ‘community standard’. Mereka suka-suka menutup dan membekukan akun yang tidak simpatik kepada Israel.
Middle East Eye melaporkan ratusan akun YouTube, Facebook dan IG pegiat HAM Palestina hilang atau dibekukan karena memviralkan kejahatan Israel dalam kasus Sheikh Jarrah, yang memicu perlawanan.
Sementara, Aljazeera mengkritik tindakan Zoom, YouTube dan Facebook yang membatalkan sepihak debat akademis online bertajuk “Whose Narratives? What Free Speech for Palestine?” yang diselenggarakan Universitas California untuk alasan ‘community standard’ yang absurd.
Jika, sosial media bangkit sebagai urat nadi bagi banyak orang yang ingin suara dan perjuangan mereka didengar, namun diabaikan media mainstream.
Namun Maha Nassar, Profesor Universitas Arizona dalam risetnya menyimpulkan bahwa perusahaan dan regulator sosial media secara sistemik menyingkirkan suara- suara rakyat Palestina dari platform sosial media mereka melalui aksi penghapusan dan pembungkaman.
Maka dalam konteks ini, intifada warganet Malaysia atas ketidakadilan perusahaan dan regulator platform media menjadi penting dan patut dicermati.
Bagaimana tidak? Akun Facebook sekelas IDF (Israel Defense Force) kedodoran dan angkat tangan, menghadapi ‘keganasan’ mereka.
Setiap informasi IDF atas agresi dan kezaliman mereka terhadap Palestina akan disambut ribuan pernyataan, gambar, video, dan meme yang tidak hanya membantah argumen mereka, namun juga ejekan dan caci maki.
Dan tanggapan itu terus berulang sehingga menjadi sulit untuk dibendung atau bahkan ditandingi.
Sebagai mesin propaganda, akun IDF jelas gagal menyampaikan pesan ‘humanistik’ militer Israel, alih-alih menjelaskan watak sebenarnya (true color) Israel yang rasis.
Dalam pertarungan narasi lain, ketika akun Facebook “Jerusalem Prayers Team”, yang diduga kuat memanipulasi 76 juta ‘like’, meminta dukungan finansial bagi Yahudi korban roket Hamas, maka salah satu warganet secara kocak memasang ‘flyer’ donasi KNRP (Komite Nasional untuk Rakyat Palestina) di wall mereka dengan menyebutkan jumlah korban meninggal, luka dan cacat karena gempuran militer Israel.
Mayoritas tanggapan virtual itu berasal dari warganet Malaysia karena, nama, bendera, bahasa, dan juga cara ekspresi mereka yang jenaka. Coba anda simak langsung debat narasi itu di sosial media mereka.
Saya sangat menduga, mereka ini adalah para volunteer sosial media yang lahir dari kesadaran baru atas realitas sosial politik yang penuh kesenjangan dan mereka bangkit untuk mengoreksinya.
Perhimpunannya tidak terkonsertasi dan cenderung acak (random). Namun karena jumlahnya yang masif, maka eksistensinya tidak dapat dikendalikan dan bahkan tidak terbendung.
Realitas inilah yang menjadikan mengapa akun sosmed IDF, Jerusalem Prayers Team, Mike Pence dan Gal Gadot kewalahan menghadapi mereka.