Meluruskan Sejarah Imam Bonjol

Oleh: Yusuf A Puar

Dalam sejarah Indonesia, Tuanku Imam Bonjol terkenal sebagai pemimpin perang Padri. Perang yang paling banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Belanda.

Perang yang dilaksanakan secara frontal tersusun dan teratur dengan memakai segala macam alat peperangan yang ada pada waktu itu.

Ada beberapa kategori uraian yang perlu saya turunkan:

1. Tidak sedikit buku yang telah ditulis pengarang Belanda dan Indonesia tentang Perang Padri yang mengatakan setelah 16 tahun berperang, disudahi dengan babakan akhir, Imam Bonjol tahun 1837 ditawan Belanda; kesudahannya dibuang ke Manado dan wafat di sana tahun 1864.

Versi serupa yang ditulis Kementerian Penerangan RI berjudul Republik Indonesia – Propinsi Sumatera Tengah (1230 halaman, terbitan 1953) antara lain di halaman 47-48 mengatakan : Kota Bonjol sebagai kubu pertahanan utama tentara Perang Padri diduduki Belanda pada 16 Agustus 1837, semua ikhtiar dilakukan Belanda untuk menangkap Imam Bonjol, tetapi tidak ditemui.

Pada suatu hari Imam Bonjol menerima sepucuk surat dari Residen Belanda, Francis dari Padang, yang meminta agar beliau sudi datang ke Palupuh dekat Bukittinggi. Isi surat tersebut dipenuhinya karena beliau tidak mau lagi berurusan lagi dengan Belanda. Tetapi kemudian ternyata beliau kena tipu.

Sesampainya dengan para pengiringnya di Palupuh, beliau dikepung serdadu-serdadu Belanda yang bersenjata lengkap dan beliau ditawan.

Beliau dibawa ke Padang dan dari sini diantarkan ke Betawi (Jakarta).

- Iklan -

Empat bulan kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat, sebagai seorang buangan tahanan politik.

Akhirnya beliau dipindahkan ke Ambon.

Tiga tahun kemudian (1841) beliau dipindahkan pula ke Manado, ditempatkan di desa Kumbi, Kuka dan lantas di Lotak. Di Lotak beliau menetap agak lama hungga wafat di sini pada tahun 1864 (12 Zulhijjah 1283 H.) dalam usia 92 tahun.

2. Surat Terbuka Nasional ini adalah fakta sejarah yang pertama kali mengungkapkan untuk umum, bahwa yang ditawan di Palupuh itu (1837) bukan Imam Bonjol.

Jadi otomatis yang bermakam di desa Lotak itu bukanlah beliau. Dan otomatis pula babakan sejarah Imam Bonjol seusainya Perang Padri, berpijak pada sumber yang keliru.

Sekaligus membuktikan. Tuanku Imam Bonjol yang sebenarnya wafat di Bonjol dan dimakamkan di sana di pemakaman keluarga, persis di samping pusara ayahandanya Khatib Bayanuddin.

3. Dari pihak Padri yang datang berunding ke Palupuh itu ialah Tuanku Syahbuddin, salah seorang Imam Perang dan sahabat karib Imam Bonjol.

Turut serta menemaninya berunding Haji Aminuddin, seorang kemenakan Imam Bonjol sendiri, sebagai siasat terhadap Belanda, bahwa yang mengepalai perundingan Palupuh itu benar-benar pribadi Imam Bonjol.

Sampai sejauh begitu, Belanda tidak pasti mengenal wajah Imam Bonjol.

Yang mengatur siasat perundigan Palupuh itu ialah Tuanku Nan Tinggi (TNT); dulu seorang pemimpin berwibawa dalam Perang Padri yang kemudian diketahui mendekat kepada Belanda dan kemudian mengangkatnya sebagai Regent (setingkat lebih tinggi dari posisi yang sudah dihapuskan tahun 1918).

Karena pengaruhnya yang besar, TNT yang sebenarnya bertalian saudara dengan Imam Bonjol itu diangkatlah oleh Belanda sebagai Regent.

Yang terjadi di Palupuh bukan pengepungan dan penawanan oleh pihak Belanda, tetapi pertemuan ramahtamah yang disutradai TNT.

Terbayanglah tendensi, dalam susunan peserta dan perundingan itu, TNT yang mengatur siasat untuk menyelamatkan Imam Bonjol agar jangan jatuh ke tangan Belanda.

Dari Palupuh TNT membawa Tuanku Syahbuddin (TS) dan rombongannya melancong ke Padang Panjang, dan terus ke Padang. Sampailah mereka ke tepi laut dekat pesisir Muaro, tempat berlabuh sebuah kapal perang Belanda saat itu.

TNT bertanya kepada TS apakah barangkali ia ingin melihat-melihat ke dalam kapal itu. Karena TS setuju, ia dipersilahkan lebih dahulu naik ke kapal, sedangkan TNT masih tinggal di darat. Kapal yang sebenarnya sejak semula telah dipersiapkan oleh Belanda itu, segera berlayar ke Betawi.

Cerita ini disampaikan oleh Rasad, turunan ke-4 dari TNT, di Palembayan dekat Bonjol dalam tahun 1949 kepada T. Zainul Anwari (TZA) sebagai pengungkapan rahasia kaum yang tidak boleh diketahui Belanda.

Istri TZA adalah Hamidah binti Abubakar, sedangkan Abubakar adalah turunan ke-3 TNT.

4. Imam Bonjol sewaktu lahir tahun 1772 di Bonjol bernama Muhammad Sahab, anak dari Khatib Bayanuddin, berasal dari desa Tanjung Bungo, Bonjol. Sewaktu pemuda ia bernama Peto Syarif; setelah menjadi ulama namanya ditukar jadi Tuanku Mudo.

Kemudian menjadi Tuanku Imam Bonjol atas amanat dari Datuk Bandaharo, pemimpin pertama Padri, sewaktu beliau akan meninggal dunia. Imam Bonjol mempunyai pengikut yang banyak jumlahnya sejak sebelum meletusnya Perang Padri di tahun 1821 itu.

Ibu Imam Bonjol bernama Hamatun yang bersaudara laki-laki, bernama Syekh Said Usman dan keduanya adalah bangsa Arab asli. Kedua bersaudara itu mempunyai ibu asal Yaman Selatan dan ayahnya dari Aljazair yang telah lama bermukim di Maroko. Hamatun dan Syekh Said Usman sebagai mubaligh agama Islam akhirnya sampai ke pantai Sumatera di Sasak, di pantai Sumatera Barat.

Kemudian keduanya terpanggil ke Bonjol untuk mengajarkan agama Islam yang oleh Datuk Temenggung di sana, kepadanya diberi desa dan persawahan di Kampung Koto di Bonjol dan diterima masuk suku Koto.

Syekh Said Usaman yang diberi gelar Datuk Bagindo Suman, diangkat jadi Kadi dan sejak itu ia secara turun temurun dengan menyandang gelar yang serupa sampai tahun 1950 adalah tetap jadi Kadi dalam kenegerian Ganggo Hilir di Bonjol.

Tuanku Laras (Kepala Daerah) pertama seusai Perang Padri yang bernama Naai Sutan Caniago menulis buku tebal (tanpa judul) dalam bahasa Minangkabau dialek Bonjol beraksara Arab.

Kalimat-kalimat akhir dari buku yang mengandung indikasi tentang wafatnya Tuanku Imam Bonjol di Kampung Koto di Bonjol. Buku itu kini disimpan di Bonjol oleh Haji Kaharuddin dari suku Caniago (berusia sekitar 55 tahun) sebagai milik kaum.

Sebuah fotokopi lengkap dari buku tulisan tangan tersebut kini masih berada pada T. Zainul Anwar di Jakarta yang pernah menyampaikan kepada Prof Dr Prijono, Menteri Menko Pendidikan dan Kebudayaan RI(1957-1966) yang sebagai sarjana ahli Sejarah Kebudayaan dan Hukum Islam sanggup membacanya.

TZA sendiri waktu itu pembantu menteri Koordinator Bidang Pendidikan, berkedudukan setingkat Sekjen.

5. Tentang kewafatan Imam Bonjol di Bonjol, TZA menerima amanat kaum dari Pahlawan Basa II (dua)yang menyampaikannya kepada TZA sendiri.

Hal ini terjadi dalam tahun 1929 di Bonjol ketika TZA sebagai siswa kelas 6 HIS (Sekolah Rendah Belanda) di Bukittingi pulang ke kampungnya Bonjol untuk berkhitan dan bersunat Rasul.

Pahlawan Basa I (Satu) adalah saudara dari Khatib Bayanuddin, yaitu ayahanda Imam Bonjol.

Pahlawan Basa II (Dua) mengungkapkan untuk pertama kali dan justru hanya kepada TZA sebagai calon menurut sislsilah adat, selaku Pahlawan Basa III (Tiga) tentang berkuburnya Imam Bonjol di Bonjol itu, yang harus amat dirahasiakan kepada siapapun, karena kalau Belanda mengetahuinya, tentu akan disuruh bongkar kuburan itu.

Bercerita Pahlawan Basa II (Dua) kepda TZA, bahwa tatkala Imam Bonjol dikuburkan di perkuburan kaum di tempat yang bernama Gelanggang di Bonjol itu, ia sudah pemuda, dan ikut pergi mengantar jenazah Imam Bonjol ke perkuburan tersebut.

Cerita yang serupa tentang penguburan Imam Bonjol didengar TZA juga dari Munyang Buniah (emak dari nenek TZA) yang pada saat bersejarah itu ia sudah meningkat jadi gadis kecil (gadis tanggung).

6. Hal-hal di atas ini yang dibeberkan panjang lebar oleh TZA kepada atasannya Prof. Prijono, diteruskan oleh keduanya kepada Presiden Soekarno menjelang saat kemelut sebelum Bung Karno mengakhiri jabatan kepresidennya, agak lama sebelum beliau wafat pada 21 Juni 1970, Prijono sendiri telah mendahuluinya ke alam baka pada 6 Maret 1969.

Selanjutnya kemudian dengan restu TZA, lewat delegasi Mahasiswa Bonjol di Jakarta, dalam tahun 1979 hal-hal yang sama disampaikan kepada Wakil Presiden Adam Malik, dan kemudian kepada Menteri Emil Salim.

Reaksinya baru sampai kepada anjuran agar TZA mengumpulkan lagi data-data domestik lebih luas tentang Imam Bonjol, termasuk bahan-bahan dari perpustakaan, dan kalau perlu TZA pergi menyelediki perpustakaan representasi di Leiden, Nederland, atas biaya kedua beliau ini.

Terhadap yang terakhir ini. TZA justru menyatakan tidak ada faedahnya karena semua buku sejarah tentang Imam Bonjol oleh para pengarangnya dan ahli sejarah Belanda bertolak dari pangkal, bahwa yang bermakam di Lotak itu adalah Imam Bonjol yang sebelumnya bernama Tuanku Mudo dan Peto Syarif yang ditawan Belanda di Palupuh.

7. Saya, Penulis Surat Terbuka Nasional ini, mengetahui agak banyak mengenai hal ini, baru dalam bulan Agustus 1982 langsung dari TZA dalam tiga kali pertemuan.

Padahal jauh sebelumnya saya pernah mengunjungi Tanjung Bungo di Bonjol, dan menginap di Kampung Koto dekatnya (tahun 1948); juga telah mengunjungi “Makam Imam Bonjol” di Lotak itu (tahun 1965, sesudah mengunjungi di Tondano makam pahlawan Kyai Mojo, Wakil utama Pangeran Diponegoro).

Juga beberapa kali telah mendatangi sisa-sisa puing rumah Gadang Tuanku Nan Tinggi di Sungaipuar, Palembayan Kabupaten Agam (tahun 1945 dan seterusnya).

Rumah gadang itu adalah yang terbesar di zamannya di seluruh Minangkabau yang terpampang di perbukitan desa Sungaipuar sebagai desa kelahiran ibu dari mendiang ayahku.

TZA sendiri selain dari turunan Basa I (satu) yang saudara dari khatib Bayanuddin (ayahanda Imam Bonjol) , TZA mempunyai ibu bernama Siti Rahmah, turunan ke-6 dari Hamatun (ibunda Imam Bonjol), jadi TZA adalah turunan ke-7 dari Hamatun tersebut(generasi ke-7 menurut garis “anak pisang secara matrilinial”).

8. TZA sendiri (66 tahun) yang kini telah lanjut usia, dan sudah mulai disinggahi penyakit tua, adalah pemegang amanat terakhir dari saksi-saksi hidup yang bisa bicara, bahwa yang dimakamkan di Lotak itu bukanlah Peto Syarif Tuanku Imam Bonjol.

Kalau sampailah TZA dipanggil ke hadirat Tuhan sebelum problem nasional itu diselesaikan sebagaimana mestinya, maka 118 tahun kekeliruan sejarah (1864-1982) itu akan berkelanjutan sampai akhir zaman.

Sudah 145 tahun rahasia tentang pribadi Imam Bonjol disembunyikan (dihitung dari berakhirnya Perang Padri sampai kini: 1837-1945).

Oleh beberapa orang pemuka Bonjol pemegang rahasia tentang hal ini sampai kepada TZA sekarang, kalau orang-orang bertanyakan tentang itu, maka diberi jawaban bahwa dalam pusara Imam Bonjol di Gelanggang di Bonjol itu hanya ditanami gigi dan rambut beliau, guna merahasiakan bukanlah seluruh jasadnya yang disemayamkan di tempat itu.

Inilah motif utama yang mendorong saya mencetuskan Surat Terbuka Nasional itu, mengungkapkannya secara umum dan polos, di samping sesuai dengan profesi saya sebagai pengarang beberapa buku dan cerita sejarah.

Saya mengharapkan sebanyak mungkin mediamassa kita turut membantu menyelesaikan problem nasional ini, termasuk mengadakan sambutan dan komentar.

Juga tulisan saya ini dalam penerbitan anda, dan reaksi atasnya oleh peminat dan pengamat. (*)

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU