Buku Ilham Bintang yang baru terbit, berisi kumpulan artikelnya sepanjang tahun. (hcb)
Buku terbaru wartawan senior Ilham Bintang “Surat-surat Mendiang Nana” membuat saya sebagai wartawan yang lebih muda merasa malu. Di usia memasuki 65 tahun, Ilham begitu produktif sehingga bisa setiap tahun membuat buku berisi kumpulan tulisannya, hasil dari bepergian kemana-mana, atau juga hasil perenungan atas suatu topik tertentu.
Setiap kali pergi dia menulis, sehingga buku selain berupa produk jurnalistik terkadang juga menjadi semacam catatan perjalanan pribadi. Kita akan segera bisa menghitung berapa kota, berapa negara, yang dia kunjungi tahun ini. Atau dimana dia bulan lalu? Dengan siapa dia bertemu? Lengkap dengan foto-fotonya. Dari tulisan-tulisan yang ada pembaca juga bisa menemukan privilege Ilham Bintang yang tidak semua wartawan bisa mendapatkannya karena bergitu luas pergaulannya dan begitu lama kiprahnya di dunia jurnalistik.
Ini buku kesekian Ilham, diawali dari “Salam dari Meruya, Mengamati Daun-Daun Kecil Kehidupan” kumpulan catatan Ilham di media miliknya CeknRicek yang diterbitkan tahun 2007. Dan sejak itu tidak pernah berhenti menulis dan menulis kemudian menyortirnya dan menjadikannya buku. Ilham yang bersentuhan langsung dengan wartawan-wartawan kawakan Indonesia seperti Rosihan Anwar, Jakob Oetama, Sabam Siagian, benar-benar menyadari jati diri wartawan, ya buku.
Percuma mengaku wartawan jika tidak punya karya berupa buku, entah itu ditulis secara khusus ataupun kumpulan tulisan. Walau pada kenyataannya, dari sekian banyak wartawan yang “ngetop” mereka yang menulis buku kalau dihitung tidak sampai hitungan jari.
Saya mengenal Ilham karena ketika dia menjadi Wakil Ketua Bidang Organisasi PWI Jaya, saya aktif di SIWO PWI Jaya, tapi kemudian hubungan organisasi ini berlanjut ke tingkat pusat ketika sama-sama aktif di PWI Pusat. Tetapi saya juga sudah tahu kiprahnya sebagai wartawan film karena sering mendengar namanya berdasarkan informasi dari rekan wartawan Kompas seperti JB Kristanto dan Arya Gunawan. Dia wartawan dan aktivis film, seperti juga saya wartawan dan aktivis olahraga.
Kelebihan Ilham yang segera tampak dari tulisannya, menurut saya, karena dia merupakan otodidak yang baik. Tidak pernah berhenti belajar tentang apa saja, banyak referensi, dan memahami persoalan. Mungkin karena keterlibatannya di Dewan Kehormatan PWI Pusat, sejak menjadi sekretaris sampai sekarang menjabat ketua, membuat dia merasa harus tampil sesuai etika profesi. Dia juga cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi khususnya yang terkait profesi kewartawanannya. Dia aktif di platform media sosial untuk mempermudah profesinya, dan yang tak kalah penting Ilham pendokumentasi yang baik. Kalau Anda pernah pergi dengan Ilham pada suatu saat, kalau Anda tidak ada fotonya, dia pasti masih menyimpannya.
Saya berpikir-pikir mengapa Ilham membuat Nana sebagai judul bukunya. Kalau dilihat dari sisi magnitude, pastilah bukan cerita tentang surat wasiat ibu muda yang wafat setelah berjuang melawan kanker ini, yang paling menarik bagi pembaca. Tetapi bisa jadi karena cerita ini yang paling menyentuh jatidiri Ilham sebagai wartawan yang juga masih ada unsur kekerabatan dari sisi istrinya, hal yang berbeda dengan rutinitasnya yang sering berurusan dengan hal-hal “besar”, dengan tokoh, dengan persoalan sosial politik yang hangat.
Kematian yang menjemput orang muda memang sering menyentak, membuyarkan asumsi bahwa yang dipanggil terlebih dahulu biasanya orang tidak muda. Ada empati yang membuat dia memberi nilai tinggi pada peristiwa tragis itu dan lalu menjadikannya sebagai judul buku. Wajar karena kita mungkin ingat kata-kata yang diucapkan Rose Kennedy di saat penguburan anaknya, Presiden John F Kennedy,” Adalah tidak benar para orangtua menguburkan anak-anak mereka. Seharusnya (yang terjadi) adalah sebaliknya.”
Ceritanya sendiri adalah tentang ketegaran, kepasrahan menerima yang telah ditakdirkan, atas batas hidupnya. Nana sudah tahu dia takkan lama lagi dijemput maut dan menjalani sisa hidup dengan wajar. Bahkan menulis surat wasiat seperti menulis surat biasa, kepada keluarganya. Ada pula semacam kronologi saat-saat menjelang kematian, yang menggambarkan “normalnya” kehidupan Nana di tengah perjuangan beratnya menjalani hidup. Nana seperti puisi Chairil Anwar “Nisan” yang mengisahkan keihlasan nenek penyair itu dalam menerima kematian, tetapi justru menimbulkan duka bagi orang di sekelilingnya.
//Bukan kematian benar menusuk kalbu/keridlaanmu menerima segala tiba/ tak kutahu setinggi itu atas debu/Dan duka maha tuan bertahta//
Bagi Chairil kematian neneknya itu sesuatu yang menimbulkan perenungan, ternyata manusia hanyalah debu, suatu yang tak ada apa-apanya dibanding kekuasaan Sang Pencipta. Bagi Ilham kematian Nana menimbulkan kekaguman pada sosok manusia muda, yang ihlas pergi ke dunia fana walaupun baru punya bayi berusia dua bulan, dan tentu pada akhirnya memberi kesadaran yang sama, bahwa kematian itu akan datang pada siapa saja yang tidak kita ketahui waktunya.
Jadi meskipun tampaknya cerita ini tentang seseorang, tetapi sebenarnya menyangkut semua orang. Ada artikel lain berisi obituari di buku ini, tentang BJ Habibie, Ani Yudhoyono, Alex Kumara, August Parengkuan, Arswendo Atmowiloto, tetapi tidak ada yang ditulis seperti kisah Nana.
Tulisan Ilham di buku ini hampir tidak beda dengan buku sebelumnya “Jalan-jalan Ala Ilham Bintang” yang diluncurkan dalam Hari Pers Nasional di Padang, 2018, berisikan kisah jurnalistik ketika diundang menghadiri suatu acara seperti ke Jepang untuk liputan otomotif, ke Kuala Lumpur terkait kerjasama wartawan Indonesia Malaysia, ataupun ketika melakukan kunjungan pribadi seperti menjenguk anaknya ke Australia atau melakukan perjalanan ritual ke Saudi Arabia.
Untuk mereka yang tertarik dengan bagaimana kondisi Habib Rizieq Shihab di Mekah, ceritanya ada di buku ini. Ilham menggambarkan keseluruhan proses mulai dari mengurus agar dapat bertemu dia sampai dengan mengajukan pertanyaan yang bersifat kritis, dan menggambarkan pribadinya yang mungkin tidak pernah diketahui masyarakat. Pertemuan itu sendiri walaupun tidak sampai dua jam, menjadi kisah orisinal yang tidak semua wartawan dapat melakukannya.
Ilham menulis banyak hal, seperti kegusarannya pada tindakan aparat kepolisian dalam menangani berbagai kasus, menyampaikan sikapnya mengenai peristiwa politik, beropini tentang keputusan pemerintah tentang penangan demonstrasi, dan sebagainya.
Bedanya dia dengan wartawan lain, mungkin, Ilham suka berterus terang, tidak ragu menyampaikan pendapat pada hal yang tidak sejalan dengan pikirannya, dan tentu itu hak konstitusi sebagai warga negara. Saya sendiri berpendapat dia sebagai wartawan bersikap independen, dan dalam karya jurnalistiknya bisa dipertanggungjawabkan. Media sebagai medium memang mestinya menjadi tempat berbagai pandangan, sikap, kecenderungan muncul untuk diperdebatkan, meski tetap dalam koridor kode etik yang menjadi landasan operasional media.
Di buku inilah juga tergambar sosok Ilham yang sering dikaitkan dengan dunia hiburan karena dia pencetus dan pemilik berbagai saluran hiburan, di televisi, media cetak, Youtube, ternyata juga suka melakukan perjalanan ke pondok pesantrean, menulis tentang hal-hal yang bersifat keagamaan.
Dia berkunjung ke Pesantrean Ustaz Abduh Tuasikal di daerah Gunung Kidul, lalu menghadiri tabligh akbar Ustaz Syafiq Basalamah bersama selebiritas yang kini berhijrah lebih mendekatkan diri ke Sang Pencipta seperti Eva Arnas, Cici Tegal.
Ada pula tulisan tentang peristiwa umroh ke Mekkah dan Madinah yang sudah kerap dijalani Ilham bersama keluarga, tetapi selalu bisa diolah menjadi tulisan yang memikat apalagi bagi yang belum pernah umroh.
Oleh: Hendry Ch Bangun- Wakil Ketua Dewan Pers