“1926, 1927, 1933, 1936, 1945‟ tulis Ustaz Diki di papan tulis dengan spidol markernya yang telah didesain untuk menuliskan kaligrafi. Ditulisnya angka-angka itu besar-besar berurutan ke bawah.
Para santri masih terdiam memperhatikan. Tidak biasanya selepas mengucap salam dan Tawasul Ustaz Diki bersikap seperti ini. Biasanya ia akan mulai pembicaraan dengan pembukaan hamdalah, sholawat dan tanya kabar sebagaimana yang sudah menjadi protokoler resmi, layaknya pengajian-pengajian ustaz-ustaz kesohor di majelis pengajian besar.
“1926 adalah tahun lahirnya?” teriak Ustaz Diki menggantung menunggu jawaban. “NU” sorak beberapa santri.
“1927?” tanya Ustaz Diki memancing.
“Persebayaaa” jawab seluruh santri bersamaan. Menciptakan gaung di ruangan. “1933 mulailah lahir Persib yang menjadi cikal bakal munculnya Bobotoh. Lalu 1936 lahirlah?” ucapan Ustaz Diki kembali menggantung. “Persija” sambut anak didiknya mulai antusias menyimak.
“Iya. The Jack Mania mulai lahir. Baru pada tahun 1945 Indonesia merdeka” tambahnya.
“Itu artinya” jelas Ustaz Diki dengan sebentar menghela nafas.
“Persebaya yang mempergunakan logo khas warna hijau adalah terinspirasi dari bendera Nahdlatul Ulama yang terlebih dahulu dideklarasikan oleh Hadlratusy Syaikh KH. Hasyim Asy‟ari bersama para kiai lainnya. Lahirnya Persebaya sebagai tim sepak bola yang dikelola secara mandiri memotivasi daerah lainnya melakukan langkah yang sama. Selang beberapa tahun selanjutnya lahir Persib, Persija dan banyak klub sepak bola di daerah-daerah di penjuru bumi Nusantara.
Hingga puncaknya, bangsa Indonesia menyadari bahwa mereka belum memiliki Indonesia sepenuhnya. Mereka perlu membebaskan diri dari imperialisme penjajah. Tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Waktu itu hanya Negara Mesir yang baru mengakuinya. Bahkan Belanda pun masih berani kembali ke Indonesia dengan tujuan secara terang-terangan hendak menjajah, bahkan dengan agresi militernya. Karena keadaan ini KH. Hasyim Asy‟ari kemudian mengeluarkan fatwa kewajiban ikut andil berjihad bagi laki-laki muslim yang berada dalam jarak 80 km dari Jombang. Sejak keluarnya fatwa itu pada 22 Oktober 1945 para santri berdatangan ke Jombang dan melakukan gerilya perlawanan terhadap tentara Belanda yang diakhiri dengan takluknya tentara Belanda oleh pejuang Indonesia pada 10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai hari pahlawan” jelas beliau panjang lebar.
“Fakta-fakta semacam ini harus dipelajari dan wajib diketahui oleh para santri. Kemerdekaan Indonesia tidak didapatkan dengan gratis, maka pertahankan dan manfaatkanlah. Jangan bermalas-malasan dan terbuai dengan keadaan. Tetaplah belajar dan berusaha, serta buatlah bangga bangsa kita” seru Ustaz Diki memotivasi.
Beliau menyampaikan ketidaksetujuannya dengan rencana bapak menteri pendidikan yang hendak menghapuskan mata pelajaran sejarah dari kurikulum pendidikan Indonesia. Ustaz Diki menangkal bahwa pelajaran sejarah hanya akan mengingatkan generasi muda hari ini kepada pengalaman-pengalaman kelam di masa silam. Menurutnya, justru dari sejarah kita belajar untuk berubah, agar tidak lagi terjatuh ke dalam kesalahan yang sama.
Hari itu para santri tidak ada kegiatan maknani kitabnya. Mereka mendapatkan materi pengenalan sejarah yang sangat berguna. Tidak ada yang mengantuk seperti biasanya. Semua antusias mendengarkan penjelasan yang tidak ditemui di antara lembar demi lembar kitab kuning.
“Kalau hidup hanya sekadar hidup, kera di rimba juga hidup. Kalau kerja hanya sekadar kerja, kerbau di sawah juga bekerja. Yang membedakan adalah, manusia memiliki tujuan dan cita-cita” Ustaz Diki berkata-kata dengan mengutip ungkapan Buya Hamka.
“Ingatlah, innal fataa man yaqulu ha anaa dzaa, laysal fataa man yaqulu kaana abii. Sesungguhnya pemuda sejati adalah mereka yang mengatakan „inilah diriku‟, bukan yang membanggakan orang tuanya” ucapnya kembali dengan menyitir moto yang sering didendangkan anggota organisasi bahasa Arab di pesantren.
Ustaz Diki pun menutup jam pelajaran siang itu dengan bacaan Doa Kafaratul Majlis dan salam, lalu meninggalkan kelas.
***
Raut bahagia ternampak pada wajah ustaz-ustaz senior Al-Hijrah. Mereka berhasil menyelesaikan studi sarjananya. Kuliah empat tahun dengan dosen yang usianya terpaut jauh lebih muda. Ustaz Soleh dan anaknya, Ustaz Anas tampak bersua foto bersama. Keduanya diwisuda dalam satu angkatan. Ustaz Diki tampak paling muda di antaranya.
Meski rata-rata sudah melampui setengah abad, para ustaz Al-Hijrah ini mau saja berkuliah, karena memang dawuh guru secara langsung. Mbah Yai Ahmad selaku pengasuh mengharapkan agar seluruh pengajar di Al-Hijrah adalah bergelar strata satu.
“Baru terasa dawuh Yai sekarang ini. Coba awak dewe gak kuliah, gak bakalan ikut haul di Singapura” ucap Ustaz Kafi yang usianya sudah kepala enam. Beliau mengenang bahwa akhir-akhir ini pemerintah Singapura mengeluarkan kebijakan baru tentang masuknya orang Indonesia ke negaranya. Hanya warga yang sudah bergelar strata satu yang boleh ikut haul di sana.
“Beliau mendirikan sekolah tinggi juga bukan tanpa alasan. Melainkan bentuk welas beliau agar kita-kita nggak hanya belajar ilmu agama tok. Supoyo gak ketinggalan zaman” kata Ustaz yang sejak kecil memang hanya sekolah di madrasah. Beliau menyadari benar bahwa dengan kuliah menjadi terbuka cakrawala baru yang tidak dipelajari di bangku pesantren.
“Agenda upacara ini tak lain adalah sebagai upaya syukur kita akan kemerdekaan yang berhasil diraih oleh para pahlawan pendahulu kita. Marilah kita wujudkan syukur itu dengan lebih rajin belajar, meningkatkan kualitas taraf manusia, agar memiliki jiwa merdeka” lantang Ustaz Kafi ketika didaulat menjadi inspiktur dalam upacara kemerdekaan. Meski baru kali ini menjadi kembali mengikuti upacara setelah puluhan tak lamanya, pidatonya mendapat sambut pekikan merdeka penuh antusias dari para santri yang berupacara mengenakan jubah seragam sehari-hari mereka.
***
Sudah hampir delapan puluh persen santri Pondok Pesantren Al-Hijrah kembali ke asrama. Setelah menjalani proses karantina dan dinyatakan negatif dari paparan virus, para santri diperkenankan masuk ke pesantren dan kembali menempati kamarnya, setelah ditinggal setahun lamanya. Apabila kedapatan kembali sakit atau sedang dalam kondisi sedang tidak fit, maka para santri diharuskan isolasi mandiri di gedung terpisah.
Pandemi virus ini mengubah segalanya. Tradisi makan senampan empat orang kini tak lagi dijalankan. Makan dalam satu nampan merupakan langkah menyamarkan kesedihan kondisi ekonomi. Dengan makan bersama, setidaknya masih ada teman yang tetap mau bersedekah tatkala kita sedang tak berpunya.
Kini masing-masing santri diwajibkan makan dengan piring pribadi. Tampak seperti keegoisan diri memang, tapi setidaknya ini adalah upaya agar tetap sehat dan kuat menghadapi pandemi yang tak kunjung minggat. Santri tidak boleh terlalu banyak beraktivitas yang melelahkan dan beristirahat secukupnya. Selain iman, imun juga harus tetap terjaga.
Yang masih tetap bertahan adalah kegiatan sholat berjamaah di masjid yang sekarang hanya diikuti oleh santri saja. Tidak ada keramaian anak-anak kecil warga sekitar pesantren seperti tahun sebelum-sebelumnya. Yang diperkenankan masuk ke
dalam area pesantren hanyalah para santri dan para asatid yang telah mendapatkan vaksin tahap kedua.
Santri ibarat satu keluarga dengan pesantren sebagai bahtera besar yang menampungnya.
Andre termasuk santri yang diuntungkan dengan adanya corona. Setidaknya setelah lima tahun di pesantren, tahun ini ia merasakan persamaan nasib sebagaimana santri lainnya. Ia termasuk santri luar provinsi yang memang jarang disambangi keluarga. Kini semua santri sama-sama tidak boleh sama sekali bertemu dengan orang tua. Kehidupannya berlangsung di lingkungan pesantren itu-itu saja.
Yang dikecewakannya adalah kenyataan bahwa sandal swallownya tetap hilang juga. Ia sudah sangat dekat dengan sandalnya. Sudah setahun lamanya sandal itu menemaninya di rumah. Ia memilih tidak berangkat ke pesantren karena pemberitaan media yang sedemikian mencekamnya menginformasikan corona. Sandalnya telah diukir dengan gambar sosok Naruto dengan harapan mampu dengan mudah mendeteksinya. Tapi ternyata trik ini masih tak berguna.
***
“Jajannya dikurangi dulu mas yaa. Mungkin baru bulan depan ayah baru akan ngirim. Nunggu ayamnya laku terjual” kata Ibu Adam di telepon.
“Nggeh, Buk” ucap Adam pasrah. Baru saja ia hendak mengabarkan kondisi keuangannya yang sudah agak kritis di rumah, namun berbalas informasi dari ibunya yang tidak mendukung. Ia harus menghemat sekuat tenaga. Pengeluaran tetap berjalan sebagaimana mestinya, tapi masukan sama sekali tak ada.
Pandemi ini mengajarkan untuk menjadi santri sejati. Tidak ada kesempatan untuk ke mana-mana. Pos-pos strategis dijaga oleh security yang hanya diperbolehkan dilewati oleh mereka yang memiliki kebutuhan mendesak dan mendapatkan tugas langsung dari pondok.
Tidak ada lagi kongkow santri keluar dari area pesantren. Tidak juga aktivitas orang yang dapat berziarah ke makam seperti biasanya. Kegiatan manaqiban juga tak semeriah dulu lagi. Setidaknya ini menjadi kesempatan bagi santri untuk lebih dekat dengan santri lainnya. Kekeluargaan dan kebersamaan mereka lebih terpupuk sebab pandemi.
“Ingat rek, nelayan yang hebat tidak terlahir dari lautan tenang, melainkan dia yang mampu menaklukan ombak besar di tengah lautan. Anggaplah ini ujian agar menjadi lebih hebat. Saya yakin kelak, dari balik sarung buluk yang kalian pakai itu, akan lahir generasi terbaik negeri ini” ucap Hadi dengan penuh semangat menirukan kata-kata Ustaz Diki di kelas.
Di pesantren, kita jumpai kehidupan berjalan sebagaimana mestinya. Duka dan cita tetap ada. Keduanya hal wajar yang dialami manusia. Tapi, saling tolong menolong dan bahu membahu menjadi tradisi yang tak bisa dibuang di sana. Perbedaan tak menjadi alasan untuk bisa berjalan beriringan bersama. Di sana ajaran Al-Qur’an dan hadits berusaha ditegakkan setegak-tegaknya. Juga nilai-nilai Pancasila.