Mengenal HAKI atau Hak Kekayaan Intelektual, Simak Penjelasannya!

Citayam Fashion Week (CWF) didaftarkan sebagai merek Hak Kepemilikan Intelektual (HAKI). Para influencer yang berupaya mendaftarkan tren CFW sebagai merek bikin netizen heboh. Lalu, apa itu HAKI? Simak penjelasannya dalam artikel ini.

Salah satu influencer tersebut ialah Baim Wong. Melalui perusahaannya, PT Tiger Wong Entertainment, ia mendaftarkan nama tersebut ke Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI) Kemenkumham.

Sehari setelahnya, Indigo Aditya Nugroho juga turut serta mendaftarkan nama tersebut. Keduanya sama-sama mengincar nama tersebut sebagai hak kekayaan intelektual (HKI) di kode kelas 41.

Lalu, Apa Itu HAKI?

Menurut Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (DJHKI), HAKI adalah hak menikmati keuntungan ekonomis dari hasil olah pikir yang berguna bagi masyarakat. HAKI berasal dari Intellectual Property Rights (IPR) yang telah mendapat paten di dunia Internasional melalui World Trade Organization (WTO).

Baca Juga:  Revisi UU ITE 2024: Perbaikan atau Sekadar Tambal Sulam?

Tujuan HAKI

HAKI telah diundangkan Pemerintah melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 mengenai pengesahan WTO. Karena pentingnya hak ekonomis bagi para pencipta produk intelektual, HAKI memiliki tujuan mulia yakni sebagai berikut.

  1. Untuk memberikan perlindungan hukum bagi pencipta intelektual atau olah pikir perorangan ataupun kelompok sebagai bentuk penghargaan pembuatan hasil cipta karya dengan nilai ekonomis yang terkandung di dalamnya.
  2. Melawan sekaligus mencegah pelanggaran terhadap HAKI yang menjadi hak orang lain.
  3. Mengembangkan tingkat kompetisi dalam hal komersialisasi kekayaan intelektual agar mendorong para pencipta untuk terus berkarya dan berinovasi, dan bisa mendapatkan apresiasi dari masyarakat.
  4. Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan strategi penelitian, industri yang ada di Indonesia.
Baca Juga:  Twibbon Natal dan Tahun Baru: Solusi Simpel untuk Merayakan Momen Spesial di Media Sosial

Sebenarnya, Indonesia sendiri telah mengenal istilah IPR sejak 1840. Kala itu, Belanda mengundangkan UU (UU) Merek pada 1885 dan Paten pada 1910, serta UU Hak Cipta pada 1912.

Di masa kemerdekaan, seluruh perundangan peninggalan Kolonial Belanda tetap berlaku dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta dan UU Merek tetap berlaku, tetapi tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia.

Oleh karena itu, implikasi pendaftaran suatu pemikiran atau hasil olah pikir sebagai HAKI dapat memberikan hak ekonomis pada penciptanya.

 

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU