Kotak kosong sering muncul dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), meskipun hanya ada satu calon, karena calon tersebut masih harus menghadapi kotak kosong. Ini berarti bahwa meski calon tunggal mungkin tampak otomatis menang, kotak kosong tetap menjadi lawan yang harus dihadapi.
Keputusan terbaru Mahkamah Konstitusi tentang penurunan ambang batas pencalonan diharapkan dapat mengurangi potensi kotak kosong dan calon boneka dalam Pilkada Serentak 2024.
Apa itu Kotak Kosong Pilkada?Â
Definisi kotak kosong dalam Pilkada bukanlah kotak suara yang kosong, melainkan istilah untuk calon tunggal yang tidak memiliki pesaing, sehingga pada surat suara terdapat opsi “kotak kosong” sebagai lawan. Calon tunggal tidak otomatis diangkat menjadi kepala daerah; mereka harus bersaing melawan kotak kosong.
Menurut Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, fenomena calon tunggal pada Pilkada 2020 merupakan anomali demokrasi, yang biasanya terjadi di daerah dengan sedikit pemilih, namun sebaliknya terjadi di Indonesia dengan jumlah pemilih yang besar.
Penyebab kotak kosong bervariasi, termasuk sulitnya memenuhi syarat maju sebagai calon independen, sistem koalisi pragmatis dan gagalnya kaderisasi di partai.
Aturan Kotak Kosong dalam Pilkada
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan aturan mengenai mekanisme pemilihan di wilayah dengan pasangan calon tunggal. Aturan ini telah mengalami dua pembaruan. Awalnya diatur dalam Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dengan Satu Pasangan Calon.
Aturan ini diperbarui dengan Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2018, dan yang terbaru adalah Peraturan KPU RI Nomor 20 Tahun 2020, yang merupakan perubahan kedua atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2015.
Mekanisme Penentuan dan Contoh Kasus
Ketentuan mengenai penentuan pemenang dalam Pilkada dengan calon tunggal diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Berdasarkan undang-undang ini, pasangan calon tunggal dinyatakan menang jika berhasil memperoleh lebih dari 50 persen dari total suara sah.
Dengan kata lain, pasangan calon tunggal harus mampu meyakinkan mayoritas pemilih untuk memberikan dukungan kepadanya. Namun, situasinya menjadi lebih rumit jika kotak kosong mendapatkan suara lebih banyak daripada pasangan calon tunggal.
Menurut Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2018, jika kotak kosong memperoleh suara lebih banyak, KPU harus menyelenggarakan pemilihan ulang pada periode pemilihan serentak berikutnya. Pemilihan ulang ini memberi kesempatan bagi calon-calon baru untuk maju, sehingga memberikan pilihan yang lebih beragam bagi pemilih.
Pemilihan ulang umumnya dijadwalkan pada tahun berikutnya atau sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan tujuan memastikan proses pemilihan berlangsung sesuai prinsip demokrasi.
Fenomena kotak kosong semakin mendapatkan perhatian publik, terutama setelah beberapa kasus di berbagai daerah. Misalnya, dalam Pilkada Kota Semarang tahun 2020, pasangan calon petahana Hendrar Prihadi dan Hevearita Gunaryanti Rahayu berhasil mengalahkan kotak kosong, menunjukkan dukungan mayoritas terhadap mereka meskipun ada opsi kotak kosong.
Sebaliknya, dalam Pilkada 2018 di Makassar, Sulawesi Selatan, kotak kosong berhasil mengalahkan pasangan calon tunggal Munafri Arifuddin dan Rachmatika Dewi Yustitia Iqbal. Ini adalah kali pertama dalam sejarah Pilkada di Indonesia di mana kotak kosong unggul atas pasangan calon tunggal.
Kemenangan kotak kosong ini menjadi simbol perlawanan terhadap calon tunggal dan mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pilihan yang ada. Keberhasilan di Makassar ini menyoroti keinginan masyarakat untuk melihat kompetisi yang lebih sehat dan lebih banyak pilihan dalam Pilkada. (SRY)